Loading...
OPINI
Penulis: JC Pramudia Natal 00:00 WIB | Kamis, 12 November 2015

Revolusi Mental: Kembalikan Pendidikan Pada Keluarga!

Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada Yang Kuasa
Cinta kita di dunia selamanya

Nidji – Laskar Pelangi

SATUHARAPAN.COM - Cuplikan lirik lagu di atas adalah gambaran karakter manusia yang diimpikan setiap kebudayaan dan peradaban. Kemampuan untuk terus berkarya dan bervisi di dalam ketidaksempurnaan dunia. Kelegaan untuk terus bersyukur dalam berbagi dan menerima cinta kasih, apapun bentuknya.

Bila karakter di atas adalah sebuah tujuan, maka kita perlu berefleksi, dan bahkan berintrospeksi apakah cara kita mencapainya telah tepat guna. Sebagai objek refleksi dan introspeksi tersebut adalah lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang pembentukan manusia dan segala kemampuannya, lembaga pendidikan dan terutama lembaga pendidikan dasar dan menengah mengingat karakter adalah sesuatu yang dibentuk pada masa pra-dewasa manusia.

 

Revolusi Mental – Langkah Awal dan Kilas Balik

Jargon Revolusi Mental diusung Presiden Jokowi saat ia masih berstatus calon presiden, dan ketika ia benar-benar terpilih langkah pertamanya adalah memilih menteri yang memiliki latar belakang kuat dan relevan dengan setiap bidang yang mereka layani. Dalam bidang pendidikan, ia memilih Anies Baswedan. Walau melanjutkan pola bahwa Menteri Pendidikan umumnya adalah Rektor Perguruan Tinggi, namun pilihan Jokowi ini menunjukkan ciri khas revolusi mental yang diusungnya, yaitu radikal atau langsung kepada akar permasalahan (radix – akar), guru.

Pendidikan dasar Indonesia telah memiliki sistem kurikulum yang rapih dalam mengatur materi pembelajaran, namun justru sistem ini selalu gagal dalam merawat dan mengembangkan bagiannya yang paling penting, guru. Anies, berbeda dengan para pendahulunya yang lebih banyak aktif dalam pengajaran dan pendidikan di perguruan tinggi, mendayung di dua arus. Selain merupakan rektor Universitas Paramadina (rekor termuda Se-Indonesia) beliau juga telah meninggalkan warisan dan jejak dalam pengembangan pendidikan dasar dan menengah di daerah-daerah tertinggal Indonesia melalui lembaganya Gerakan Indonesia Mengajar.   

Modal pemahaman terhadap manajemen pendidikan dasar di daerah tapal batas membuat langkah perdana Anies lebih pragmatis dan rasional. Terhadap sistem ujian berstandar yang masih diperdebatkan Anies semakin memperkecil proporsinya sebagai penentu kelulusan murid dan terhadap komponen pelaksana pendidikan Anies; guru-murid, kepala sekolah, dan orang tua, secara tegas merevitalisasi esensi peran mereka. Revitalisasi peran pelaksana pendidikan dinyatakan melalui pembentukan Komite Orang Tua dan juga perencanaan bersama dengan Kementerian Agama untuk mengadakan Lokakarya Pendidikajn dan Pengajaran bagi orang tua.

 

Revolusi Mental – Menatap Masa Depan

Berkaca dari dua langkah perdana Anies di atas tulisan ini bertujuan menelaah dan menawarkan langkah lanjutan yang mengelaborasi lebih kuat penerapan revolusi mental di dalam lembaga pendidikan dasar dan menengah, terutama terkait dua dari tiga komponen pelaksana pendidikan yaitu guru-murid dan kepala sekolah. Beberapa langkah tersebut antara lain penguatan kolaborasi sekolah-keluarga, rekonstruksi kurikulum dan semangat kurikulum nasional, dan yang terakhir adalah pelatihan dan lokakarya berkesinambungan mengenai praktik manajemen kelas. Tiga langkah ini secara reflektif berpulang kepada dasar dan identitas bangsa Indonesia, Pancasila.

Penguatan kolaborasi sekolah-keluarga secara konseptual berpulang kepada semangat Sila Ke-3 Pancasila, Persatuan. Secara praktis langkah ini bertitik berat pada peran dan fungsi kepala sekolah sebagai pengatur (manajer) sekolah dan mediator antara guru-murid (sekolah dan KBM) dan orang tua (keluarga dan komunitas basis). Dengan pemahaman tersebut kepala sekolah bersama guru-guru merumuskan kebijakan-kebijakan sekolah yang secara khusus dalam mengundang, merangkul, dan melibatkan orang tua di dalam proses pendidikan dan pengembangan anak mereka.

Hal ini menjadi krusial mengingat di satu sisi kepala sekolah mengatur perihal sekolah, kurikulum, KBM yang akan dijalani oleh sang anak, namun di sisi lain sekolah menghadapi nilai-nilai keluarga dan lingkungan yang dibawa oleh setiap murid. Kedua sisi ini sangat mungkin untuk memiliki perbedaan visi dan nilai yang mengakibatkan pertentangan, dan lebih jauh tekanan kepada sang muridd. Adalah peran kepala sekolah untuk memulai langkah penyelarasan nilai, praktik, dan visi ini secara berkesinambungan melalui banyak cara (di antaranya pertemuan, pelatihan dan lokakarya, halal-bihalal, eksebisi/kompetisi internal dan eksternal). Pelaku langkah-langkah di atas juga dapat divariasikan antara hanya tim administrasi (KepSek, WaKepSek) dan orang tua, hingga seluruh pelaku (tim administrasi, guru, murid, orang tua).

Rekonstruksi semangat kurikulum dan kurikulum nasional berpijak kepada Sila ke-2 dan ke-5, mengenai keadilan dan keadaban sosial. Keadilan dan keadaban adalah 2 konsep yang dalam praktiknya menuntut penguasaan kerangka berpikir yang runut dan rapih, lebih daripada kemampuan untuk berhasil mencapai suatu standar tinggi.

Sampai pra Anies Baswedan, kurikulum nasional dan semangatnya semua bernafaskan lulus UN. Baik dari pengaruh positif atau negatif, konteks lembaga pendidikan formal dan informal, UN menjadi hilir semua jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sebagai contoh, kontradiksi antara keberhasilan lulus 100% beberapa sekolah dengan hablurnya penyelesaian kasus kecurangan UN, ada pula kontradiksi antara masih rendahnya kesejahteraan guru dan sekolah Indonesia sementara di sisi lain usaha bimbingan belajar yang berharga jutaan justru semakin menjamur.

Di tengah semua hal tersebut keberhasilan untuk lulus UN menjadi intan permata yang direbutkan. Berangkat dari persoalan ini kurikulum nasional melalui langkah para ahli pendidikan di bawah koordinasi DikNas perlu mencerminkan kerangka berpikir yang adil dan beradab. Salah satu caranya adalah mempertimbangkan cara-cara menampung individu dan/atau bahkan lembaga pendidikan yang berorientasi kepada mata pelajaran yang tidak diujiankan, terutama dalam bidang seni dan olahraga.

Bentuk-bentuk akomodasi tersebut kemudian perlu dikaji secara menyeluruh mulai dari tahap ujian akhir, proporsi kurikulum, hingga langkah-langkah pengajaran dalam kelas. Dengan pemerataan kesempatan dalam menekuni dan memeroleh pengakuan atas variasi mata pelajaran di luar mapel UN, murid-murid dan lembaga dimotivasi untuk membuka pandangan dan orientasi kepada bidang-bidang baru untuk diampu. Variasi pilihan mau tidak mau menjadikan murid dan guru untuk lebih matang dan mendalam dalam merencanakan rencana pendidikan, jauh berbeda dari generasi UN yang sejak awal hingga akhir pendidikan Dasar dan Menengah hanya menempatkan UN sebagai tujuan utama. Dari generasi yang rasional dalam merencanakan pilihan langkahnya barulah akan lahir bangsa adil dan beradab secara sosial.

Konsistensi pelatihan dan lokakarya manajemen kelas bertujuan menumbuhkembangkan semangat sila 4, musyawarah & gotong royong, kepada generasi muda dan masa mendatang Indonesia. Menilik kepada akar permasalahan sebagaimana disebutkan di atas krisis pendidikan disebabkan oleh institusi pendidikan nasional yang secara nasional telah berorientasi tujuan semata, dalam hal ini lulus UN. Karena peran dan porsinya yang mengekang kelanjutan pembelajaran baik murid dan sekolah, berlaku sebuah hukum rimba dan non-verbal bawah semua praktik sah demi mencapai kelulusan 100%. Yang pertama menjadi korban tentu adalah aktivitas pembelajaran murid, pertama di kelas dan kedua di lingkungan asal mereka.

Di dalam kelas setiap kegiatan pembelajaran ‘terinspirasi’ oleh ide kelulusan UN, baik dari kelas yang akan mengambil UN hingga kelas dasar berlangsung suatu kesepakatan lisan bahwa kegiatan kelas (dan termasuk rapor pembelajaran) mengambil format dari UN, yaitu berfokus kepada pengembangan kognitif individu. Hal ini bertentangan dengan semangat Pancasila yang menekankan bahwa semua produk rasional harus melalui proses musyawarah dan gotong royong, bahkan lebih jauh dari kelahiran Pancasila di era 1930-an.

Ahli pendidikan Rusia Lev Vygotsky menyatakan bahwa fungsi perkembangan sosial-budaya-kognitif seorang anak muncul di ranah sosial/publik. Berdasarkan kepada baik Sila Ke-4 Pancasila dan Vygotsky, maka seyogyanya kemampuan murid untuk mempraktikkan pengetahuan dan pemahamannya secara nyata bagi lingkungan sekitarnya (misal dalam percobaan kelompok di kelas, praktek langsung, kuliah kerja nyata) diikutsertakan menjadi komponen kelulusan. Berkaca kepada salah satu kurikulum internasional yang mulai mendunia, komponen kelulusan bagi siswa menengah pertama dan siswa menengah atasnya adalah proyek aksi yang memiliki lingkup sosial, tak hanya semata nilai ujian tertulis.

Dalam menuju tahap ini DikNas memiliki peranan krusial dalam mengadakan pelatihan dan lokakarya secara berkesinambungan yang bertujuan mengembangkan kemampuan manajemen kelas setiap guru. Kelas yang bertujuan mengembangkan karakter siswa dimulai dengan karakter guru pembelajar, guru yang terbuka dan terjaga akan berbagai potensi dan kemungkinan dari murid-muridnya. Berkaca dari sistem pendidikan Indonesia yang masih bertransisi dari fanatiK-UN peran DikNas dalam mengadakan pelatihan dan lokakarya manajemen kelas pendidikan berkarakter harus sangat ditingkatkan.

 

Mudik Pendidikan – Pada Awalnya Adalah Keluarga

Semua langkah di atas memang terbayangkan begitu ideal, namun kita semua tahu semua langkah tersebut tidak sesederhana membalik telapak tangan. Untuk melepaskan diri dari bayang-bayang prestasi nilai tinggi sehingga bisa mengincar tujuan yang lebih dewasa dan bijak membutuhkan keberanian dan integritas. Dan tentu saja keberanian dan integritas itu diharapkan dari ketiga pelaku yang telah disebutkan, guru-murid, kepala sekolah, dan terutama, orang tua.

Mengapa orang tua? Karena orang tualah yang sesungguhnya memegang kendali baik atas murid dan sekolah. Pertama-tama orang tua memegang kendali terhadap anaknya, maka orang tua perlu lebih dahulu menjadi contoh pribadi yang bijak dan tegas dalam membimbing anaknya menjadi manusia yang penuh. Penuh di sini berarti dewasa dalam memandang setiap pencapaian dan kegagalan, tidak semata mengincar ‘pintar’ dan ‘ranking’.

Dengan demikian pada tahap lebih lanjut orang tua memiliki kuasa tidak langsung kepada kurikulum sekolah yang dipilihnya. Sekolah membutuhkan keputusan orang tua, dan orang tua membutuhkan keahlian guru-kepala sekolah. Dalam proses dialog inilah seharusnya (para) orang tua bermufakat bersama akan tujuan yang lebih mulia dan dewasa bagi pendidikan, tidak semata membiarkan kurikulum yang sesat mendikte sekolah, murid, dan pada akhirnya (nilai-nilai) keluarga.

Mudik pendidikan – kembali kepada keluarga adalah pintu gerbang menuju semua langkah lanjutan yang penulis jabarkan di atas. Tanpa adanya perencanaan dan pelaksanaan oleh pemerintah terkait (Kementerian Pendidikan, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, dan Kementerian Kesehatan, dalam koordinasi Kementerian Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) maka revolusi mental dalam pendidikan bagi generasi muda Indonesia masih akan menempuh jalan terjal. Hal ini bagaikan dahulu perjuangan kemerdekaan Indonesia yang terpecah aspek geopolitik tidak berhasil mengusir penjajah, namun pasca bangkitnya keterjagaan politis yang melahirkan konsep Indonesia langkah perjuangan lebih terkoordinir dan lekas berhasil.

Inilah ketuk pintu penulis bagi para menteri tersebut dan semua pelaku pendidikan, khususnya Anies Baswedan, segenap guru-murid, segenap kepala sekolah, dan terutama segenap orang tua Indonesia. Ketuk pintu yang senantiasa teriring kerinduan menyambut generasi yang fasih menari, tertawa, dan bersyukur dalam perziarahan dunia nan menjadi.

 

Penulis adalah seorang praktisi pendidikan


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home