Loading...
ANALISIS
Penulis: Trisno S Sutanto 20:28 WIB | Senin, 20 Oktober 2014

Safari Politik Jokowi

Politik sebagai seni bernegosiasi yang membuka banyak kemungkinan tak terduga
Pertemuan menentukan: Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Foto: ISTIMEWA

SATUHARAPAN.COM – Hanya beberapa hari menjelang pelantikannya, Jokowi memperlihatkan kepiawaiannya. Melalui serangkaian manuver “safari politik” cerdik, dalam sekejap ia mampu mencairkan suasana dan ketegangan yang menghantui sebelumnya.

Jum’at (10/10) lalu, Presiden terpilih itu menemui Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPR Setya Novanto dan Ketua DPD Imam Gusman. Padahal pemilihan ketiga tokoh itu sebelumnya justru kerap dilihat sebagai keberhasilan KMP (Koalisi Merah-Putih) merebut posisi-posisi kunci di legislatif dan MPR yang akan “mengunci” permainan politik sang Presiden nantinya.

Tetapi Jokowi bermain cepat. Hari Selasa (14/10), giliran Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie, salah satu tokoh utama KMP, disambangi Jokowi. Komunikasi politik yang sempat memanas pun mulai mencair. Dan puncaknya, Jum’at berikutnya (17/10), Jokowi menemui rival terberatnya, Ketua Umum Partai Gerindra dan sekaligus capres saingannya, Prabowo Subianto. Pada hari itu, Prabowo secara resmi mengucapkan selamat kepada Jokowi.

Manuver selama sepuluh hari terakhir yang dilakukan Jokowi itu sungguh di luar dugaan banyak pihak. Sebab, sebelumnya, banyak orang mulai bertanya-tanya, apakah Jokowi akan mampu menghadapi kepungan KMP dan membangun pemerintahan yang efektif. Bahkan suhu politik sempat memanas karena beredar isu, terutama lewat jejaring media sosial, bahwa MPR tidak akan melantik Jokowi. Jika ini terjadi, maka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat mengeluarkan dekrit untuk memperpanjang masa kekuasaannya.

Pangkal soalnya terletak pada kerancuan bunyi UUD 1945 dan aturan main yang ditetapkan KPU (Komisi Pemilihan Umum). Seperti disebut Andi Arief, Staf Khusus Kepresidenan,  “Kalau kita baca tahapan pemilu yang dikeluarkan KPU, tanggal 20 itu Jokowi hanya akan mengucapkan sumpah/janji sebagai presiden. MPR hanya membacakan keputusan KPU tentang Penetapan Presiden dan Wakil Presiden terpilih.” Padahal UUD 1945 masih menggunakan kata pelantikan. Hanya saja maknanya sudah tidak sama di masa lalu, saat Presiden masih merupakan mandataris MPR.

Keterangan Andi Arief itu memancing berkembangnya isu negatif dan membuat suhu politik makin panas. Apalagi situasi poltik memang mulai resah, sebagai akibat kegagalan komunikasi politik SBY dengan Megawati Soekarnoputri yang disusul dengan aksi walk out Fraksi Demokrat dan disahkannya RUU Pilkada tak langsung. Belum lagi ditambah keberhasilan KMP menyabet seluruh komposisi Ketua DPR dan MPR, sehingga orang mulai khawatir bahaya laten Orde Baru sudah mulai mengintip.

Syukurlah Presiden SBY, lewat akun resmi Twitternya (@SBYudhoyono) cepat memberi tanggapan terhadap isu itu.  “Diisukan bhw MPR tidak akan melantik Presiden terpilih @jokowi_do2 dgn cara dibuat tidak "kuorum". Jadi tidak memenuhi syarat," kata SBY dalam tweetnya Jum’at (10/10). "Lebih lanjut diisukan, dgn tidak dilantiknya @jokowi_do2 , SBY bisa memperpanjang masa jabatannya sbg Presiden.”

Menurut SBY, isu itu sudah “keterlaluan”. Berbeda dengan masa lampau, kini Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Itu berarti Presiden tidak lagi merupakan mandataris MPR seperti sebelumnya. Maka, dengan itu pula, MPR tidak berhak untuk membuat tidak sahnya Presiden yang sudah dipilih langsung oleh rakyat.

Kita bersyukur karena penegasan SBYdan manuver Jokowi membuat suhu politik menurun dengan cepat. Harus diakui, manuver Jokowi itu dilakukan dengan kalkulasi politik yang cerdik. Tanpa beban sama sekali, sebagai “pemenang” pilpres lalu, Jokowi mau mengambil inisiatif untuk menemui rival terberatnya, Prabowo, sembari merayakan ulangtahunnya. Keluwesan dan momen yang dipilih Jokowi tersebut mengundang decak kagum banyak kalangan.

Pada saat bersamaan, Prabowo juga memakai momen yang sama guna memperlihatkan citranya sebagai seorang patriot yang berjuang dalam koridor demokrasi. Dalam suratnya yang beredar luas setelah pertemuan, Prabowo menyebut Jokowi sebagai “patriot” yang menginginkan “yang terbaik untuk Indonesia”. Karena itulah, Prabowo tidak segan “membangun silaturahmi” sembari menegaskan, “kalau nanti dalam perjalanan Pemerintahan beliau ada kebijakan-kebijakan yang kurang menguntungkan rakyat, apalagi melanggar Pancasila dan UUD 1945, maka kami tidak akan ragu-ragu menyampaikan kritik terhadap Pemerintah.”

Tentu saja, manuver safari politik itu tidak akan menyelesaikan seluruh persoalan. Apalagi the real struggle baru akan berlangsung pasca 20 Oktober: Jokowi masih harus berhitung dan bersiap diri menghadapi KMP di parlemen. Namun jika melihat keluwesan dan kalkulasi politik yang cerdik yang diperlihatkan Jokowi sepuluh hari terakhir, agaknya orang bisa berharap pemerintahan baru nanti memang mampu berjalan baik. Bukankah politik adalah seni bernegosiasi yang membuka berbagai kemungkinan tak terduga? Jokowi sudah memperlihatkan kepiawaiannya dalam soal ini. Mungkin itu akan jadi tontonan paling asyik sepanjang pemerintahannya.

Selamat datang pemerintahan baru! Selamat bekerja, pak Jokowi!

 

Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGI

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home