Loading...
FOTO
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 06:13 WIB | Kamis, 01 Agustus 2019

Sakato Gelar Pameran Seni Rupa “Bebas”

Sakato Gelar Pameran Seni Rupa “Bebas”
Karya berjudul Disleksia (Agung Santosa/depan) dan karya berjudul Skeptical Angel (Taufik Ermas/belakang) pada pameran bertajuk “Bebas” di Jogja Gallery Jalan Pekapalan, Kraton-Yogyakarta. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Sakato Gelar Pameran Seni Rupa “Bebas”
Preman – kain perca, cat minyak di atas kanvas – 160 cm x 140 cm – Stefan Sixio Kresonia – 2019.
Sakato Gelar Pameran Seni Rupa “Bebas”
Cactus – cat akrilik-duko di atas fiberglass – 40x60x95 cm – Benny Kampai – 2019.
Sakato Gelar Pameran Seni Rupa “Bebas”
Daun Hidup (instalasi) – kayu jati – 150 cm x 250 cm – Ali Umar – 2019.
Sakato Gelar Pameran Seni Rupa “Bebas”
Pengunjung sedang berfoto di depan karya Looking for Balance (depan/merah/Jhoni Waldi) dan Semesta Intuisi (belakang/9 panel/Gusmen Heriadi), Selasa (30/7).
Sakato Gelar Pameran Seni Rupa “Bebas”
Rajah Mantra #1 (gambar paling kiri) - 125 cm x 100 cm - akrilik di atas kanvas - Jumaldi Alfi - 2018.
Sakato Gelar Pameran Seni Rupa “Bebas”
Tumpukan Lapis Tampak Isi: Laras 6 - resin/nylon/plastik/kaca/lampu neon - 30 cm x 100 cm - Fika Ria Santika - 2019.
Sakato Gelar Pameran Seni Rupa “Bebas”
Bumi Ingklusi - 100 cm x 150 cm – hardboard cut - Dodi Irwandi - 2019.
Sakato Gelar Pameran Seni Rupa “Bebas”
Suasana pameran “Bebas” dari lantai atas dengan latar belakang karya Action #2-Semangat (Yogi Delvian).
Sakato Gelar Pameran Seni Rupa “Bebas”
The King – fosil/kayu/logam/ijuk – 40x100x225 cm – Bazrisal Al Bara – 2016.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Delapan puluh delapan seniman-perupa yang tergabung dalam Sakato Art Community (SAC) kembali mempresentasikan karya di Jogja Gallery. Pameran yang mengangkat tajuk “Bebas” dibuka oleh sutradara muda Angga Dwimas Sasongko, Rabu (24/7) malam.

Pemilihan tajuk “Bebas” menjadi menarik ketika pada tujuh perhelatan sebelumnya SAC mengusung tema-seri Bakaba, pada pameran kali ini seolah menjadi jeda dari tema-seri Bakaba. Kata “bebas” yang dipilih sebagai tajuk dalam penyelenggaraan pameran bersama anggota Sakato (SAC) kali ini adalah sebuah upaya untuk menampilkan SAC secara lengkap ke ruang publik. Kurang lebih dua dekade lamanya Sakato eksis dalam kancah seni rupa nasional hingga internasional. Kekuatan personal yang kuat di setiap anggotanya membuat komunitas ini tumbuh dan menjadi penting dalam sejarah perkembangan seni rupa Indonesia.

Dalam catatan pengantar pameran Rizki Yanuar memaparkan bahwa bebas merupakan analogi dari cara hidup, berpikir, dan laku orang minangkabau pada umumnya. Warisan budaya seperti surau dan lapau telah meluhurkan tradisi berpikir kritis dan berdiskusi (musyawarah). Warisan budaya tersebut mengantarkan personal masyarakat Minangkabau dalam sebuah keberagaman cara pikir yang independen dan idealis, sejarah mencatat bahwa tokoh-tokoh yang berasal dari Minangkabau selalu mengambil posisi penting sebagai penggagas ideologi kebangsaan, baik yang berhaluan kanan maupun kiri.

Dalam catatan lain Rijal Tanmenan menuliskan, bebas yang menjadi pintu masuk meramu aspek visual dan tematik kerupaan (representasi visual) ini, merupakan daya pemantik kreativitas. Hal tersebut secara tajam mampu memunculkan ‘potensi terbaik’ dengan merujuk pada esensi dan estetika yang bersumber dari pendalaman dan pengolahan; terkait relevansinya dengan konteks visual yang dicapai.

Pemaknaan “bebas” menjadi upaya menghadirkan karya-karya seni dengan pengayaan cara ungkap yang mampu menembus kebuntuan dan mencairkan sekat, lalu mewujudkannya dalam penciptaan karya seni kreatif. Cara ini menjadi basis utama terhadap orientasi bersama (seniman). Rijal memberikan tekanan “bebas” menawarkan berbagai analogi serta paparan kreatif dalam memahami realita yang ada.

Tema “Bebas” menjadi rajutan kesadaran reflektif, pemikiran konseptual, serta bahasa visual yang representatif dituangkan ke dalam karyanya. Dalam tema Bebas, seniman-perupa diberikan kebebasan untuk menggali seluruh ide kekaryaan yang dituangkan dalam proses berkarya. Kalaupun ada seikit pembatasan lebih pada dimensi karya dalam ukuran maksimal 150 cm x 200 m mengingat keterbatasan ruang pamer yang ada di Jogja Gallery untuk mengakomodasi pen-display-an karya kedelapan puluh delapan seniman terlibat.

Hasilnya beberapa seniman-perupa melakukan eksplorasi-eksperimentasi diluar kebiasaan berkesenian. Seniman foto Nofria Doni Fitri misalnya yang kerap mempresentasikan karya foto dengan obyek-obyek abstrak, dalam pameran kali ini menampilkan dua lukisan panel berjudul Kesan Sekejap dalam medium cat akrilik di atas kanvas berukuran masing-masing 150 cm x 100 cm.

Dalam jeda sejenak dari rangkaian Bakaba sebelumnya dengan mengangkat tajuk “Bebas” memberikan keleluasaan bagi seniman-perupa yang terlibat. Dalam eksperimen memanfaatkan medium utama kaca dan lampu hias meteor-neon, Fika Ria Santika membuat karya instalasi dengan ilusi optik yang dihasilkan dari pendaran lampu di atas tumpukan kaca. Spektrum warna yang dihasilkan dari karya berjudul Tumpuk Lapis Tampak Isi Laras 6 hanya bisa dinikmati dari jarak agak jauh. Dalam jarak dekat hanya tampak visual berupa lampu hias di atas tumpukan kaca. Tahun lalu Fika Ria Santika membuat karya berjudul Tumpuk Lapis Tampak Isi Bayang 2 dalam panel-panel yang terpisah.

Pada karya berjudul Disleksia, perupa Agung Santosa bermain-main dalam banyak isu pada karya tiga matranya berbahan polymer resin dalam balutan warna hitam. Pada obyek kaki yang dibuatnya, Agung menambahkan grafis tiga garis (three stripe) dalam bentuk yang mudah dikenali sebagai merk apparel terkenal. Di bawah logo three stripe tersebut Agung menambahkan kata “dadais”. Meskipun ditulis dalam susunan yang salah, alam bawah sadar seseorang akan mendorong untuk membaca sesuai nama yang selalu ada di bawah logo three stripe. Pada karya Disleksia setidaknya Agung menawarkan dua pembacaan yakni disleksia yang diakibatkan oleh kesalahan penulisan (typo) baik yang disengaja atau tidak serta berada di posisi manakah aliran dadais pada seni rupa hari ini. Masihkah dadais menempatkan dirinya secara efektif-frontal-satire dalam merekam kekerasan yang terjadi hari ini?

Dua karya fotografi dipresentasikan dalam sajian yang menarik. Pada karya panel foto berjudul Iconic Indonesia Heroes, Muhammad Halim membuat kolase foto dari pahlawan nasional KH Agus Salim, Moh. Hatta, Jenderal Soedirman, dan Kartini dalam sentuhan yang berbeda satu sama lain. Sementara Muhammad Alfariz dalam karya fotografi berjudul Pulang dengan dua layer foto yang digabungkan.

Seniman-perupa muda dengan kekuatan tangan (craftmanship) pada karyanya menawarkan visual karya yang menarik. Karya Kamuflase yang dibuat Melta Desyka memanfaatkan teknik bordir/sulaman tangan di atas kanvas menjadi sebuah karya lukisan bertekstur-kontur yang dihasilkan oleh sulaman benang. Sulaman dan tenun Minang adalah salah satu karya seni kriya khas Nusantara. Sulam tangan dan bordir Minang mudah dikenali dengan warnanya yang lebih dominan warna merah, hijau dan pink yang juga mengarah ke warna alam. Dengan teknik sulaman serta pemilihan warna, Melta cukup berhasil mengembalikan ingatan pada kekuatan sulam tangan Minang.

Ricky Qaliby yang beberapa waktu lalu membuat karya eksperimen dengan basis fotografi dengan mencampurkan sperma manusia dengan lem G yang disimpan selama satu tahun yang dipotret secara mikroskopik dengan menggunakan kamera digital (DSLR), pada karya berjudul Hidden Ricky bermain-main dengan simbol pada karya lukisan dua matra tersebut. Sementara seniman-perupa muda Dery Pratama dengan medium plywood masih terus mengembangkan project karyanya berjudul 643-06-WS.

Irwandi Dodi yang biasanya menggunakan teknik drypoint untuk memunculkan impresi karya, pada karya berjudul Bumi Ingklusi Dodi membuatnya dalam teknik hardboard cut di atas kanvas memotret realitas keberagaman yang tumbuh di bumi nusantara. Pematung Syahrizal Koto menggambarkan Tepian Lembah dalam karya lukisan abstrak cat akrilik di atas kanvas.

Dalam tajuk pameran “Bebas”, banyak seniman-perupa yang melakukan eksperimen dalam hal teknis maupun medium. Hal tersebut justru memunculkan banyak karya dengan visual yang artistik ketika dalam eksperimentasinya lebih memperhatikan detail. Pengalihrupaan maupun pengalihmediaan juga membuka peluang bagi pengembangan ide serta kebaruan karya. Pada karya berjudul Entahlah, Tommy Wondra merekonstruksi pola karya Piet Mondrian ke dalam karya instalasi berbentuk skets ruangan tiga matra.

Pameran seni rupa dari Sakato Art Community bertajuk "Bebas" dibuka setiap akan berlangsung di Jogja Gallery Jalan Pekapalan, Kraton-Yogyakarta hingga 24 Agustus 2019.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home