Loading...
HAM
Penulis: Ignatius Dwiana 08:27 WIB | Kamis, 15 Mei 2014

Sandyawan Sumardi: Komnas HAM Harus Diberi Wewenang Lebih

Ignatius Sandyawan Sumardi. (Foto: Ignatius Dwiana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ignatius Sandyawan Sumardi menyebutkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) harus diberi wewenang lebih untuk menuntaskan kasus hak asasi manusia tragedi Mei 1998 dan kasus hak asasi lainnya.

Aktifis HAM ini menuturkan supaya Komnas HAM diberi wewenang yang pasti untuk mengadakan penyelidikan, penyidikan, dan membentuk peradilan HAM ad hoc.

“Kelemahan saat ini “Komnas HAM tidak diberi wewenang extra ordinary. Misalnya, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bisa mengadakan penyidikan, bukan hanya menyelidiki. Komnas HAM harus diberi investigator-investigator yang luar biasa dan sistem kerjanya juga diubah. Hasil investigasinya langsung bisa diadakan penyidikan tersendiri. Bisa bekerja sama dengan pihak kepolisian, Kejaksaan Agung, dan sebagainya. Tidak seperti sekarang. Sekarang hanya penyelidikan dan masih harus dilempar ke pihak yang tidak berwenang secara hukum seperti DPR, Komisi III, baru ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sementara di Kejakgung selalu dikembalikan. Dikatakan belum memenuhi syarat,” katanya kepada satuharapan.com pada Rabu (14/5).

Lanjutnya, “Perdebatannya selalu ini pelanggaran HAM berat atau tidak. Ini masuk crimes against humanity atau tidak? Karena crimes against humanity itu prasyaratnya harus terencana, sistematik, lalu korbannya juga banyak. Bagaimana kalau korban hanya 30, lalu itu bukan pelanggaran hak asasi. Kacau sekali cara pandangnya. Mau berapa itu jumlahnya? Orang satu meninggal itu sudah pembunuhan, pelanggaran hak asasi. Bukan berarti tidak diinvestigasi. Ini saya kira salah kaprah dalam menafsirkan hukum yang sangat elementer, hukum universal hak asasi manusia. Sementara para pelakunya malah ada yang menjadi pejabat, malah ada yang menjadi Presiden.”

“Kalau tidak maka negara selalu menghindar terus. Ini situasi darurat pelanggaran hak asasi manusia. Sudah terbukti dengan tidak ditanganinya tragedi Mei maka reproduksi kekerasan masih berlangsung. Seperti kasus Mesuiji, Kopassus membunuhi orang di penjara Yogyakarta, pelanggaran hak asasi terhadap anak-anak dan perempuan di mana-mana. Karena memang tidak ada kepastian hukum di dalam hal itu,”

Dia menyebutkan banyak salah persepsi dalam ranah publik bahwa korban tragedi Mei 1998 hanya empat mahasiswa yang ditembak di Trisaksti. “Itu salah besar. Karena pada 12-15 Mei itu ada seribu lebih kaum miskin kota yang meninggal di Jakarta akibat kekerasan politik pada waktu itu. Belum lagi korban-korban perempuan yang menjadi korban kejahatan seksual.”

Tragedi Mei 1998 dilatari kerusuhan saat itu. Banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amuk massa, Salah satunya terjadi di Jakarta. Amuk massa ini membuat para pemilik toko ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan ‘Milik Pribumi’ atau ‘Pro Reformasi’.

Setelah tragedi Mei 1998, Sandyawan menjadi bagian Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan aktif mendata korban dan mengungkap fakta-fakta dibalik kerusuhan itu.

“Bisa dibilang itu Tim Gabungan Pencari Fakta terbesar yang paling diakui dunia itu TGPF tragedi Mei. Karena di situ selain dikukuhkan Presiden dengan Kepres, semua lembaga negara terlibat di situ. Ada kepolisian, militer, Departemen Sosial, Departemen Dalam Negeri, Kejaksaan Agung. Semua terlibat. Waktu itu saya ikut juga. Bahkan kami bisa mengambil rahasia negara di lembaga-lembaga itu, punya wewenang. Maka semua pejabat tinggi militer dan kepolisian dipanggil dan diinvestigasi. Termasuk Wiranto, Prabowo, Kivlan Zein. Semua itu dipanggil. Tetapi begitu hasilnya keluar, tidak pernah ditindaklanjuti Kejaksaan Agung,” kata peraih Penghargaan Yap Thiam Hien ini.

Dia menyetujui langkah Pemprov DKI Jakarta sebagai upaya memorialisasi Tragedi Mei 1998. Tetapi, hal ini sebenarnya pernah digagas pada tahun 2000 dengan mengangkat ekpresi kerinduan batin para korban secara menyeluruh dan nasional.

“Mestinya Indonesia harus lebih dulu mengakui kekejaman terhadap bangsanya sendiri baru membuat memorial itu,” kata Sandyawan.

Dia menilai Indonesia harus belajar dari pengalaman korban tragedi Perang Dunia II. Jerman mengakui kekejaman yang dilakukan bangsanya peristiwa Holocaust. Karena itu di kota kecil Dachau Bavaria Jerman itu ada tugu peringatan untuk memperingati peristiwa pemusnahan orang Yahudi yang dilakukan tentara Nazi.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home