Loading...
HAM
Penulis: Kartika Virgianti 20:04 WIB | Selasa, 13 Mei 2014

Seniman Bicara HAM: Orang Bilang Isu HAM Tidak Seksi

Para narasumber dalam acara diskusi “Seniman Melawan Lupa”, (kiri ke kanan) Chiko Hakim, Glenn Fredly, Suciwati Munir, Happy Salma, Toety Heraty, Melanie Subono, Stand Up Comedy-an, Sammy sebagai MC. (Foto: Kartika Virgianti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Omah Munir berkolaborasi dengan perkumpulan Indonesia Muda untuk Indonesia Baru, dan beberapa seniman Tanah Air menggelar acara bertajuk “Seniman Melawan Lupa”, berupa diskusi dan pemutaran film tentang hak asasi manusia (HAM).

Mereka menyatakan isu HAM tidak "seksi" lantaran tidak pernah ada yang bisa diselesaikan.

Kasus HAM senantiasa menjadi pekerjaan rumah terbesar bagi bangsa, pasalnya, pelaku kekerasan HAM pun tidak pernah ada yang diadili. Bahkan menurut mereka permintaan maaf dari mulut pemerintah tak pernah sekalipun terlisankan.

Istri almarhum aktivis HAM Munir, Suciwati Munir yang sekaligus menjadi pejuang HAM dari Omah Munir, dengan tegas menyatakan supaya rakyat Indonesia tidak memilih pemimpin yang dianggap melanggar HAM.

“Jangan pilih pemimpin pelanggar HAM,” kata Suciwati di “Seniman Melawan Lupa” di Galeri Museum, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (12/5).

Acara itu dihadiri Melanie Subono, Happy Salma, Glenn Fredly, Chiko Hakim dari perkumpulan Indonesia Muda untuk Indonesia Baru, Sammy comic dari stand up comedy sebagai MC acara, serta Toety Heraty selaku pemilik Galeri Museum. Masing-masing dalam kesempatan tersebut membagikan pengalamannya sebagai seniman yang concern terhadap masalah HAM.

“Isu HAM dianggap tidak 'seksi'. Bahkan ada yang bilang tidak penting. Mengapa bisa mengatakan tidak penting? Banyak kasus pelanggaran HAM yang masih belum dapat dibongkar. Saya selalu percaya, memaafkan itu penting, namun hanya bisa datang setelah ada pengakuan atas kesalahan. Hal ini yang akan kami kejar terus dari pemerintah,” ungkap Chiko.

“Ketika para korban, keluarga korban, teman, dan para pendukung korban berdiri di depan Istana Negara selama satu jam, hampir selama delapan tahun, sampai ganti instansi negara, bahkan ganti presiden, sekali pun persoalan itu tidak pernah selesai,” kata Suciwati.  

Suciwati menyesalkan ketika ada orang yang dengan gagah berani, menculik bilang mengamankan, mengamankan tetapi malah menyiksa, kemudian ketika korban dibebaskan dan selamat, pelakunya tidak mendapat hukuman. Para pelaku itu kebanyakan bersembunyi di benteng partai menurut dugaannya. Pelaku itu sudah menculik, menembak mahasiswa, dan saudara kita di daerah berkonflik lainnya. Hutang sejarah itu menurut Suciwati sampai sekarang belum selesai. 

Happy Salma, aktris dan pemain film, yang dalam kesempatan itu menampilkan karya yang naskahnya ia tulis sendiri, berupa film pendek tentang harapan akan terselesaikannya kasus HAM di Indonesia. Film yang berdurasi lebih kurang 12 menit itu berjudul “Kamis Ke-300”.

“Karya ini mungkin hanya sebutir debu di angkasa, tetapi melalui ini saya ingin mengajak kepada rakyat Indonesia, jangan diam saja, supaya semua mau bicara. Dan khususnya bagi para pejuang HAM, jangan pernah lelah,” ujar Happy rendah hati.

Musisi Melanie Subono, seorang seniman yang cukup concern terhadap masalah HAM. Dirinya bahkan didapuk menjadi duta anti perbudakan. Dirinya mengakui pada awalnya ia hanya diperkenalkan dari seorang teman, namun ternyata ia justru merasa jatuh hati untuk aktif terlibat di dalam isu HAM di Indonesia.

Toety Heraty turut menceritakan pengalamannya. Dulunya ia adalah kader Partai Amanat Nasional (PAN). Namun di sana banyak peristiwa yang dia alami. Setelah ia bersama teman-temannya masuk ke partai itu, Amin Rais selaku pemimpinnya justru mengubah dari partai nasionalis menjadi partai Islam, bukan hanya itu, seluruh sistem di dalam partai turut berubah. Lantaran tidak setuju, Toety memutuskan keluar.

“Jika kita mau masuk ke suatu sistem, kita harus mau mengubah sistem itu, tapi kalau tidak berhasil keluarlah secara dramatis, secara radikal,” tegas Toety.

Berbeda halnya dengan pengalaman musisi Glen fredly. Sekitar tahun 2000, penyanyi dan penulis lagu ini pulang ke Ambon, Maluku, kampung halamannya. Saat ia tiba telah terjadi kerusuhan. Belum lagi ada masalah ketidakberpihakan media, yang hanya condong ke satu agama tertentu.

“Kondisi saya waktu turun pesawat, KTP diperiksa, saya Kristen ke kanan, Islam ke kiri, untung ada di agama di KTP saya, kalau tidak, saya tidak tahu ke mana,” urai Glenn sedikit bercanda.

Lima tahun setelah kerusuhan terjadi di Ambon, Glenn dan rekan-rekannya dalam bermusik membuat konser di tengah reruntuhan kota Ambon pasca konflik, di mana sekitar 450.000 lebih manusia ada di sana.

“Di sana music matter, musik menjadi alat rekonsiliasi untuk berbicara tentang HAM di Indonesia Timur,” ungkap Glenn penuh haru.

Mungkin bagi pemimpin Indonesia, di tengah masyarakat kita yang semakin pragmatis dalam artian semakin instan dalam memandang suatu masalah. Masalah krisis pangan, perekonomian, pengentasan kemiskinan, dan lain sebagainya, adalah jauh lebih penting ketimbang mengurus HAM. Meskipun dikatakan perekonomian Indonesia masuk ke dalam 10 besar dunia, namun demokrasi kita masih menjadi suatu pertaruhan besar, seperti disimpulkan Glenn. 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home