Loading...
BUDAYA
Penulis: Ignatius Dwiana 06:51 WIB | Senin, 06 Januari 2014

Scene of An Era: Permenungan Taufan S Chandranegara

Scene of An Era: Permenungan Taufan S Chandranegara
Yesus dengan wajah yang tampak berseru. (Foto-foto: Ignatius Dwiana)
Scene of An Era: Permenungan Taufan S Chandranegara
Yesus dan Bunda Maria.
Scene of An Era: Permenungan Taufan S Chandranegara
Yesus bermahkotakan duri terpaku di salib.
Scene of An Era: Permenungan Taufan S Chandranegara
Perjamuan terakhir.
Scene of An Era: Permenungan Taufan S Chandranegara
Kain surjan, caping, dan rosario menempel pada gedeg.
Scene of An Era: Permenungan Taufan S Chandranegara
Pengunjung pameran Scene of An Era.
Scene of An Era: Permenungan Taufan S Chandranegara
Salib besar yang berdiri tegak di depan Galeri Cipta II TIM selama pameran.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Seniman multi talenta Taufan S Chandranegara mengangkat permenungannya yang sudah lama ke dalam karya seni rupa ‘Scene of An Era’. Permenungannya itu mulai sejak 2007.

Ketika manusia hidup di era modern,  adakah orang seperti Dia sekarang ini?, bunyi permenungan  Taufan. Dia yang dimaksud adalah Yesus dari Nazaret.

Yesus seorang  berani meperjuangkan kebenaran sendirian.  Bagi Taufan, kisah Yesus itu “mengingatkan diriku sendiri, teman-teman, orang banyak.“

Dia mengaku bahwa Yesus terus mengusik hati dan pikirannya. Bahwa ada kebenaran sendirian, melawan imperium besar. Tetapi tidak ada semacam nazar atau janji dibuatnya untuk membuat pameran yang mengisahkan Yesus dari Nazaret.

Tidak ada yang kebetulan

Taufan mengaku sejak awal ini tidak terpikirkan. Awalnya dia melukis secara marathon. Tidak ada tanda-tanda yang nampak untuk mengarahkannya ke ‘Scene of An Era’. Semua mengalir dalam pameran seni rupa sebelumnya. Tetapi dia merasa ada yang membimbing.

Tanda-tanda yang diterimanya itu kemudian ditampilkannya dalam delapan belas karya yang dipamerkan dengan berurutan di ‘Scene of An Era’. Ada lukisan ekpresionis hingga penyaliban Yesus, meja perjamuan dengan 12 roti, salib besar, dan video kisah penyaliban.

“Tanda-tanda menuju ini semua. Makanya jadi seperti ini, kapel kecil, di sana ada Injil.” Kata seniman yang aktif di Skenografi Teater Koma ini.

Dia mengaku merasakan hukum ilahiah sedang bekerja. Menurutnya, hukum ilahiah itu tidak terasa tetapi ada. Tidak perlu direka-reka.

“Tiba-tiba kamu ujug-ujug jadi wartawan. Ujug-ujug lahir ke bumi. Gak pernah terbayang lho kalau aku sekarang pakai topi ketemu sampeyan. Inilah kehebatan dari kekuatan Allah. Kamu ketemu aku terus kita ngobrol.” Kata Taufan ketika berbicara dengan satuharapan.com.

Masa lalu bersama kakek, eyang, di Malang juga ditampilkan. Kain surjan, caping, dan rosario menempel pada gedeg, dinding dari anyaman bambu.

“Aku punya masa kecil, punya orang tua, eyang yang begitu sangat bijaksana. Membuat saya jadi berpikir lebar. Kenangannya gak bisa aku buang. Gedeg itu adalah kenangannya.”

Harapan Menyambut Pergantian Tahun

Menyambut pergantian tahun dari 2013 menuju 2014, Taufan dalam harapannya sederhana saja. Dia ingin menjalani hidup menjadi orang benar dan baik di tengah ketidakpastian.

“Aku pikir kita akan lebih baik. Karena banyak hal lebih penting untuk hidup yang lebih panjang. Harapanku cuman itu.”

Kalau dalam menjalani hidup seseorang dapat berjalan lurus, menurutnya tidak perlu mengambil jalan berbelok-belok. “Sederhana, dan hidup mengalir aja.”  

Hidup baginya dijalani saja, walau masa depan masih kabur.  “Mlaku aja kalau orang Jawa bilang. Dilakoni wae. Tetapi itu sangat dalam ya?”

Dalam pameran ‘Scene of An Era’ dari Selasa (17/12) hingga Selasa (31/12) yang berlangsung di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta ini, mantan wartawan majalah Medika ini berharap karyanya, “Semoga bermanfaat aja buat kemanusiaan.”

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home