Loading...
BUDAYA
Penulis: Ardy Pradana Putra 00:14 WIB | Selasa, 11 November 2014

Senyap, Ungkap Suara Korban yang Dibungkam

Gambar pembuka film Senyap dalam penayangan perdana film Senyap di Graha Bhakti Budaya, TIM Jakarta, Senin (10/11) petang. (Foto: Ardy Pradana Putra)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Film Senyap atau The Look of Silence mengungkapkan suara penyintas tragedi pembantaian 1965 yang dibungkam.

“Film ini memang membuka membuka borok bangsa kita, tapi borok itu harus diobati (diungkap) agar perjalanan bangsa ini tidak terganggu” kata Bonnie Triyana, sejarahwan dan pemimpin redaksi majalah Historia, dalam acara penayangan perdana Film Senyap di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, hari Senin (10/11) petang.

Acara penayangan perdana film Senyap diprakarsai oleh Komnas HAM dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Ratusan penonton memadati pelataran Graha Bhakti Budaya sejak siang hari, karena untuk pertama kali film Senyap dipertontonkan di publik Indonesia. Tingginya antusiasme publik, yang dilihat dari jumlah penonton yang membeludak, membuat panitia menjadwalkan penayangan film Senyap sesi kedua pada Senin (10/11) malam. Panitia sebenarnya hanya menjadwalkan satu sesi penayangan.

Film Senyap telah ditayangkan di pelbagai festival film dunia, salah satunya Venice Film Festival.

Senyap, yang bergenre film dokumenter, menceritakan tokoh Adi Rukun, laki-laki paruh baya yang berprofesi sebagai tukang kacamata, mengungkap pembunuhan Ramli, kakak Adi Rukun. Ramli dibunuh dengan kejam pada tahun 1965 karena dia anggota organisasi sayap Partai Komunis Indonesia (PKI).

Rasa kemanusiaan penonton diusik ketika adegan Adi Rukun dengan wajah kosong tanpa ekspresi melihat tayangan video pengakuan pelaku pembantaian simpatisan PKI. Semua pelaku menceritakan proses pembantaian tanpa rasa bersalah dan diungkapkan dengan nada gembira, padahal proses pembantaian menggunakan metode pemenggalan, pemotongan payudara bagi perempuan dan mutilasi bagian tubuh korban.

Senyap berhasil menggambarkan Adi Rukun, sebagai simbol keluarga korban pembantaian 1965 yang mencoba menggaungkan suara penderitan yang menimpa mereka, setelah suara mereka sengaja “disenyapkan” selama puluhan tahun.

Perjuangan keluarga korban pembantaian 1965 untuk mendapatkan keadilan digambarkan dengan adegan Adi menemui dan mengonfrontasi pendapat pembunuh Ramli, yang ternyata merupakan pelanggan kacamata Adi. Semua pelaku tidak merasa menyesal membunuh Ramli, dan menjagal ratusan simpatisan PKI. Mereka menanggap semua simpatisan PKI layak dibantai karena dianggap musuh negara dan “tidak beragama”.

Alasan Adi menemui pelaku pembunuhan Ramli dan pembantaian simpatisan PKI sederhana, sebagai proses memaafkan dan memulai rekonsiliasi atas penderitaan korban keluarga pembantaian 1965. Adi Rukun lahir dua tahun setelah pembunuhan kakaknya.

Film Senyap disutradarai oleh Joshua Oppenheimer dan tokoh Anonim, seorang warga Indonesia yang namanya dirahasiakan demi keselamatannya. Film Senyap merupakan kelanjutan dari Film Jagal atau The Act of Killing, yang sama-sama bertema pembantaian 1965.

Dalam laman resmi Film Senyap, Oppenheimer menyatakan maksud pembuatan film ini sebagai penggambaran realitas penyintas pembantaian 1965, yang sehari-hari hidup dengan teror dan kebohongan. Oppenheimer menambahkan film Senyap sebagai monumen suara-suara penderitaan dan tuntutan keadilan penyintas pembantaian 1965 yang sengaja disenyapkan.

Kehadiran Adi Rukun Kejutkan Penonton

Kehadiran Adi Rukun, tokoh sentral film Senyap memberikan kejutan manis bagi penonton usai penayangan film. Sejak awal panitia tidak memberikan informasi kehadiran Adi Rukun, yang didaulat memberikan sambutan usai penayangan film.

Penonton memberikan penghormatan dengan standing ovation dan tepuk tangan meriah, ketika Adi Rukun naik panggung. Adi lantas memberikan apresiasi dan rasa terima kasih terhadap kehadiran penonton.

“Masa lalu bukanlah sekadar sesuatu yang sudah lewat dan tidak perlu diungkap. Pernyataan itu bagi pelaku pembantaian sebagai bentuk ancaman dan teror, namun bagi keluarga korban pernyataan itu sebagai rasa ketidakberdayaan dan kepasrahan. Pembantaian 1965 menghasilkan derita dan stigma negatif bagi penyintasnya, dan hingga saat ini keluarga saya masih mendapatkan stigma negatif,” ujar Adi dengan mata berkaca-kaca.

“Saya mengakui saya benci dengan pelaku pembunuhan kakak saya dan jagal-jagal lainnya. Mereka tidak hanya menolak mengakui kesalahannya, tapi tidak ada rasa penyesalan di antara mereka, padahal mereka telah membantai ratusan orang tak bersalah,” tambah Adi.

Joshua Oppenheimer, berhalangan hadir karena sedang menghadiri Denmark Film Festival.

Sementara Nurkhoiron, komisoner Komnas HAM, menyatakan film Senyap sebagai medium proses rekonsiliasi.

“Film Senyap merupakan wujud angin perubahan telah datang. Rekonsiliasi korban-korban pembantaian 1965 harus dilakukan. Negara juga harus mengubah persepsi terhadap wacana komunisme,” kata Nurkhoiron.

Pemutaran perdana Senyap telah berhasil mengusik empati dan emosi penonton. Yanuar P, mahasiswa yang hadir dalam acara penayangan perdana mengatakan film itu berhasil menggambarkan derita korban pembantaian 1965.

“Saya hampir menangis melihat film itu, melihat bagaimana suara-suara derita keluarga korban memang sengaja disenyapkan,” kata Yanuar.

Penayangan perdana Senyap merupakan rangkaian program “Indonesia Menonton Senyap” yang digagas oleh Komnas HAM. Program itu diwujudkan dengan penayangan serentak film Senyap pada 10 Desember, yang bertepatan dengan Hari HAM Sedunia.

Komunitas yang ingin mendapatkan film Senyap dapat mengisi formulir di laman www.filmsenyap.com.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home