Loading...
ANALISIS
Penulis: Sampe L. Purba 00:00 WIB | Jumat, 24 Februari 2017

Seputar Divestasi Saham Freeport

Persoalan PT Freeport makin memunculkan banyak misteri. Salah satunya soal divestasi saham yang diatur dalam Kontrak Karya. Tetapi kenapa sampai sekarang itu belum juga terealisasikan?

SATUHARAPAN.COM - PT Freeport Indonesia (PTFI) adalah Perusahaan berbentuk PT dengan akta pendirian tanggal 26 Desember 1991 dan terdaftar di Kementerian Kehakiman keesokan harinya. Saham Perusahaan ini sepenuhnya dimiliki oleh Freeport-McMoran Copper & Gold  -  Perusahaan terbuka yang sahamnya tercatat di New York Stock Exchange dengan kode FCX. PTFI merupakan penerus dari FII (Freeport Indonesia Inc.) mengoperasikan konsesi Kontrak Kerja Blok A (Kontrak Karya I) tahun 1967. Kontrak Karya Generasi II meliputi wilayah Blok A (sudah berproduksi)  dan Blok B (masih wilayah kerja eksplorasi) yang kontraknya ditanda tangani tanggal 30 Desember 1991, untuk jangka waktu 30 tahun ( hingga tahun 2021) dengan opsi dapat memohon perpanjangan 2 x 10 tahun. 

Badan Hukum dalam konstruksi hukum adalah subjek hukum (rechtpersoon) yang dapat mendukung hak dan kewajibannya di depan pengadilan, memiliki harta kekayaan dan kewajiban hukum yang terpisah dari pemiliknya, serta didirikan berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku (saat ini Undang undang no. 40 tahun 2007). PT memiliki Neraca dan Laporan Keuangan yang menggambarkan posisi harta, kewajiban, dan hasil operasi. Harta dapat berupa Aktiva berwujud dan juga tidak berwujud seperti hak cipta, hak paten, konsesi dan sebagainya.

Berdasarkan News Release FCX, kinerja keuangan konsolidasi untuk tahun 2016, antara lain memuat informasi berikut: Total aset $37.317 juta, total hutang $28.060 juta, dan modal $ 9.257 juta. Penghasilan $14.830 juta, setelah diperhitungkan dengan biaya biaya, mencatat rugi per lembar saham $3.16. Per 21 Pebruari 2017 harga saham per lembar adalah $14.13 turun 5.23% dari hari sebelumnya. Nilai kapitalisasi sahamnya di bursa adalah $20.347.200.000. Terkait hal ini Menteri ESDM dikutip membandingkan bahwa nilai kapitalisasi pasar FCX berada di bawah BCA yang $29 milyar, atau TelKom yang $29 milyar, dan jauh di bawah  Exxon yang $355 milyar.

Karena PTFI bukan perusahaan terbuka yang sahamnya tidak  diperdagangkan di bursa, pada dasarnya publik tidak tahu persis apa saja dan berapa harta perusahaan ini. Tetapi tentu saja ada Laporan Keuangannya yang disampaikan kepada Pemerintah utamanya untuk perhitungan pajak-pajaknya.

Berdasarkan Kontrak Karya, PTFI harus divestasi 10% sahamnya pada tahun ke 10, dan hingga 51% pada tahun ke 20. Divestasi tersebut harus dengan permintaan Pemerintah, berdasarkan harga saham di Jakarta Stock Exchange, atau atas dasar harga pasar yang wajar, baik atas saham baru yang dijual atau yang berasal dari pemegang saham luar negeri. Dalam laporan ke NYSE ternyata per 31 Desember 2016, kepemilikan saham PTFI oleh FCX masih 90,64%

Pada titik ini terdapat serentetan pertanyaan yang memerlukan klarifikasi. Mengapa divestasi itu tidak tuntas selesai di tahun 2011? Mengapa PTFI tidak menjadi perusahaan terbuka yang sahamnya diperdagangkan di bursa Jakarta? Siapakah Indonesia Nationals yang berhak mendapatkan saham dimaksud? Apakah perorangan, Perusahaan Daerah, Perusahaan Nasional, BUMN atau Penyertaan Langsung Pemerintah?

Pertanyaan yang paling krusial adalah berapakah harga per lembar saham PTFI yang wajar. Ingat, saham PTFI tidak sama dengan proporsi omzet atau aktiva PTFI terhadap gabungan konsolidasi Freeport (FCX). FCX bergerak di berbagai line of business yang meliputi  antara lain pertambangan tembaga, emas, perak, minyak dan gas. Konsesinya tersebar di berbagai belahan dunia di Amerika Utara, Teluk Meksiko, Afrika Selatan dan  Indonesia. Beberapa dari kelompok bisnis tersebut mencatat rugi yang signifikan (minyak dan gas) namun beberapa menghasilkan untung.

Pada kuartal terakhir 2016 misalnya, FCX mencatat total rugi konsolidasi sebesar $3.472 juta, pada hal dari Indonesia tercatat menyumbang laba sekitar $ 1.000 juta. Sementara itu pendekatan dengan nilai kapitalisasi pasarpun tidak selamanya menggambarkan kewajaran harga. Sebagai contoh, pada bulan Januari 2016 ketika Presiden Direktur PTFI mundur, harga saham FCX di bursa NYSE tercatat US$ 3,96 per lembar, menurun dari 0,59 poin dari pembukaan perdaganan di angka $4,55. Di sisi lain, pada bulan Pebruari 2017, harga saham rata-rata bertengger di $ 14 an, atau naik sekitar 200%. Suatu kenaikan yang fantastis hanya dalam satu tahun. Padahal secara fundamental, laporan keuangan 2016 tidak lebih baik  kinerjanya dibanding tahun sebelumnya. Nilai buku total aset akhir tahun 2015 adalah $46.577 juta, turun menjadi $37.317 juta atau 19,88%. Namun, rugi per lembar saham berkurang dari $ 11,31 di tahun 2015 menjadi 3,16 di tahun 2016.

Kebijakan akuntansi, metode pembukuan, aksi korporasi, financial engineering dan lain-lain akan sangat mempengaruhi nilai yang diatribusikan sebagai basis untuk menghitung harga saham PTFI. Sementara itu, kalau berdasarkan nilai buku yang wajar, catatan laporan keuangan untuk kepentingan perpajakan jauh lebih dapat dipertanggungjawabkan.

Karena itu adalah penting dilakukan uji tuntas menyeluruh (comprehensive due diligence) baik secara finansial dan legal untuk mendapatkan gambaran utuh dan prospek PTFI. Secara legal perlu dicermati hal hal yang terkait dengan struktur permodalan dan saham, perizinan perizinan, asuransi, perjanjian dengan pihak ketiga, lisensi dan kewajiban membayar paten, perkara dan sengketa dan lain-lain. Secara finansial perlu dilakukan uji tuntas untuk memastikan pencatatan yang wajar, mengevaluasi kondisi nyata fisik aset, kewajiban dan hutang maupun perpajakan. Demikian juga apakah ada aset yang dijaminkan, hutang jangka panjang atau sub ordinasi, perjanjian offtaker/ pemasaran dan lain-lain.

Dalam bentuknya yang sekarang sebagai Kontrak Karya, atau apabila berubah menjadi rezim Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sesuai amanat Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan dan Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 2019 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, kewajiban divestasi dengan 51% itu tetap ada. Dalam kasus PTFI hingga saat ini, hal tersebut belum tuntas terealisasikan.

Untuk itu, Pemerintah bersama dengan PTFI perlu duduk berkomitmen bersama menyelesaikannya, dengan semangat saling menghargai dan saling menghormati dalam koridor peraturan perundang-undangan, dan praktek bisnis yang sehat, wajar dan berkeadilan.

 

Penulis adalah Praktisi Energi, Anggota Masyarakat Energi, Sarjana Ekonomi dan Sarjana Hukum. 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home