Loading...
RELIGI
Penulis: Sabar Subekti 08:24 WIB | Jumat, 08 November 2013

Sidang WCC: Gereja dan Tantangan Memancarkan Perdamaian

Teolog Korea, Dr Chang Yoon Jae, berbicara tentang perdamnian di Semenanjung Korea (Foto: oikoumene.org)

BUSAN, SATUHARAPAN.COM - Perspektif pembangunan perdamaian, upaya mencurahkan cahaya bagaimana perdamaian bisa mencapai komunitas, masyarakat dan bangsa menjadi fokus pada pleno sidang raya ke-10 Dewan Gereja-gereja Dunia (World Council of Churches / WCC) di Busan, Korea Selatan.

Pada pleno ini ditampilkan pemenang Nobel Perdamaian asal Liberia, Leymah Gbowee, dan teolog Korea, Dr Chang Yoon Jae, hari Kamis (7/11).

Sesi ini mengangkat refleksi tentang apa artinya perdamaian bagi masyarakat dan gereja di dunia yang dirusak oleh konflik, kekerasan dan konsumerisme , dan Dr Thabo Makgoba menjadi moderator pada sidang tersebut. Tema sidang WCC ini adalah "Allah kehidupan, bombing kami menuju keadilan dan perdamaian."

Gbowee, yang memimpin gerakan perempuan dan mendorong diakhirinya perang sipil di Liberia pada tahun 2003, menyebutkan bahwa inspirasi untuk bekerja bagi perdamaian sebagai "panggilan Allah."

Kemarahan yang dialami dalam kehidupannya di tengah konflik bersenjata di Liberia, digunakannya sebagai kekuatan untuk mekerja membangun perdamian melalui perlawanan dengan cara non kekerasan.

Kemarahan yang dialami itu akibat kekerasan oleh tentara dan ancaman kekerasan, serta banyaknya anak-anak yang direkrut sebagai tentara. Hal itu mengancam nilai-nilai kehidupan masyarakat tradisional Afrika, kata  Gbowee.

Gbowee mengatakan bahwa inspirasi dan pengenalan akan perjuangan perdamaian dia dilacak ke sebuah gereja Lutheran di Liberia.

Namun Gbowee juga menantang gereja yang hanya menjadi pengamat di tengah kekerasan atau menjadi "terkooptasi" oleh pemerintah. Dia mengatakan bahwa tindakan gereja-gereja tersebut adalah sikap yang "putus asa."

Kekristenan dan Senjata Nuklir

Sementara itu, Chang berbicara tentang perdamaian di Semenanjung Korea, tentang tantangan dan keuntungan di balik perjanjian gencatan senjata Korea tahun 1953. Sebab, setelah itu orang Korea terus hidup di tengah "ketakutan perang."

 Dia mengatakan bahwa masih perlu ada transisi dari "perang yang belum selesai" menuju   “perdamaian yang permanen."

Chang menambahkan, untuk mencapai perdamaian, dia membayangkan "dunia bebas dari pembangkit listrik tenaga nuklir dan senjata nuklir." Sejak sidang raya WCC terakhir di India pada tahun 1961, Chang menunjukkan, jumlah negara di wilayah tersebut yang memiliki nuklir  menjadi lebih dari dua kali lipat.

Meskipun akibat yang diderita oleh Hiroshima dan Nagasaki akibat bom atiom begitu mengejutkan, kata dia, beberapa uji coba nuklir masih terus dilakukan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat lokal.

"Senjata nuklir tidak dapat hidup berdampingan dengan damai dan iman Kristen," kata Chang.

Chang juga mengundang peserta untuk mengheningkan cipta dalam kegelapan, kemudian menyalakan lilin sebagai tindakan simbolis untuk mengingat ketergantungan manusia pada listrik,  yang antara lain diproduksi di pembangkit listrik tenaga nuklir.

Setelah diskusi, Agata Abrahamian dari Gereja Apostolik Armenia di Iran dan Fabian Corrales, seorang sarjana interdisipliner dalam studi tentang kecacatan di Kosta Rika, berbagi pengalaman dari masyarakat mereka.

Mereka  berbicara tentang realitas lokal dan upaya untuk memancarkan upaya membangun perdamaian. Cerita pengalaman itu difasilitasi Stanley J. Noffsinger, Sekretaris Jenderal Gereja Brethren  yang berbasis di Elgin, Illinois, Amerika Serikat. (oikoumene.org)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home