Loading...
SAINS
Penulis: Martha Lusiana 07:55 WIB | Selasa, 21 Juli 2015

Studi: Perempuan Afrika Hadapi Stigma HIV/AIDS, Hambat Pencegahan

Seorang gadis Kenya berusia 16 tahun dengan HIV-positif, yang ibunya meninggal karena komplikasi terkait AIDS, menceritakan pengalamannya pada kondisi stigma di masyarakatnya, di lingkungan kumuh Korogocho dari Nairobi, Kenya, Senin 16 Februari 2015. (AP Photo / Ben Curtis/VOA)

SATUHARAPAN.COM – Sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa perempuan Afrika yang menderita HIV/AIDS masih menghadapi stigma dan diskriminasi. Lebih lanjur, studi ini mengatakan bahwa keadaan seperti itu memengaruhi upaya pencegahan penularan virus AIDS dari ibu ke anak, seperti dilansir VOA.

Penelitian tersebut diselenggarakan oleh Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO) dan dilaksanakan di Kenya, Namibia, dan Nigeria oleh International Community of Women Living with HIV (ICW) dan The Global Network of People Living with HIV.

Margaret Happy, petugas advokasi ICW yang bebasis di Kampala, Uganda, mengatakan, stigma dan diskriminasi justru terjadi akibat kalangan penyedia layanan kesehatan sehingga menghampat diagnosis HIV pada bayi secara dini.

“Stigma masih ada karena informasi. Ketika saya berbicara mengenai informasi, ada dua cara yang terkait, yakni terkait penyedia layanan kesehatan dan masyarakat yang hidup di lingkungan HIV, dalam hal ini saya terfokus pada perempuan yang hidup dengan HIV,” kata dia.

Happy mengatakan, penyedia kesehatan gagal melakukan upaya pencegahan HIV, misalnya dari penggunaan obat antiretroviral (ART) untuk mencegah infeksi.

“Mereka (perempuan Afrika) sudah tahu bahwa pengobatan adalah pencegahan. Meski sebagian besar telah mendengar bahwa pengobatan ART untuk mencegah penularan, mereka masih berpikir bahwa seseorang yang melakukan uji HIV masih bisa menulari mereka. Jadi karena kurang informasi dan karena informasi yang terbatas oleh penyedia kesehatan sehingga stigma itu masih ada,” ujar Happy menjelaskan.

Happy juga mengatakan, ada masalah sikap di antara banyak petugas kesehatan. "Sikap negatif, yakni persepsi negatif oleh penyedia layanan kesehatan, juga memicu parahnya stigma."

Seorang wanita Nigeria mengatakan dalam laporan bahwa ketika berbicara dengannya, seorang perawat malah berteriak dan tertawa kepadanya karena status HIV.

Happy menjelaskan, perempuan hamil sering diantar oleh kerabatnya ketika pergi ke fasilitas kesehatan atau saat melahirkan. Kerabatnya tersebut mungkin belum mengetahui perempuan itu postif mengidap HIV sampai petugas kesehatan menguji anaknya.

"Hal ini bisa menimbulkan pujian atau justru menyebabkan kekerasan dan perceraian. Dan sekarang situasinya lebih buruk dengan adanya lingkungan hukum yang tidak memungkinkan. Lingkungan hukum tersebut malah mengkriminalisasi penyakit HIV seperti di Kenya, Uganda, Tanzania dan negara-negara lain," kata dia.

Happy mengungkapkan, perempuan dengan positif HIV sering memaksakan stigma pada diri mereka sendiri karena ketergantungan ekonomi pada laki-laki, baik sebagai anak perempuan, maupun pasangan. Prasangka perceraian dan kekerasan dapat mencegah perempuan untuk mengungkapkan status HIV mereka.

Laporan ini berjudul Early Infant Diagnosis: Understanding the Perceptions, Values and Preferences of Women Living with HIV in Kenya, Namibia and Nigeria (Diagnosis Awal pada Bayi: Memahami Persepsi, Nilai dan Preferensi Perempuan dengan HIV di Kenya, Namibia dan Nigeria). Studi ini dirilis di Kongres Komunitas HIV Internasional (International AIDS Society Conference on HIV Pathogenesis, Treatment and Prevention ) ke-8 di Vancouver, Kanada.

WHO kini sedang mempertimbangkan rekomendasi baru berdasarkan penelitian. Salah satunya, akan menguji bayi yang lahir dari ibu penderita HIV pada saat lahir dan kemudian uji lanjutan dilakukan empat sampai enam minggu kemudian. Studi ini mengatakan, bahwa cara tersebut akan mengurangi kecemasan perempuan tentang kesehatan bayinya. Rekomendasi lain akan mengajarkan perempuan Afrika cara merawat dan memberi makan bayi sejak dini.

Studi tersebut menyerukan, perempuan penderita HIV akan diberi informasi mengenai pilihan pengujian, yakni dengan memberi mereka waktu untuk menentukan kapan dilakukan pengujian. ICW mengatakan, pilihan tersebut harus dihormati dan merupakan hak asasi manusia bagi ibu yang harus dilindungi.

UNICEF, Organisasi Anak-Anak di PBB, melaporkan, sekitar 900 anak-anak baru terinfeksi HIV setiap hari. Hampir semua dari mereka berada di sub-Sahara Afrika. Sebanyak 57 persen perempuan hamil penderita HIV telah menerima ART untuk mencegah virus ke bayi mereka. Namun, UNICEF juga mengatakan, hanya 35 persen bayi yang lahir dari ibu pengidap HIV di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah diuji untuk virus dalam dua bulan pertama usianya.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home