Loading...
ANALISIS
Penulis: A. Setyo Wibowo 00:00 WIB | Senin, 25 Juli 2016

Supaya Ahok Tetap Ahok

Jakarta, Satuharapan.com - Sebaiknya Ahok maju lewat jalur parpol atau jalur independen? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh Ahok sendiri. Namun berbagai pengamat menyodorkan berbagai argumentasi pro dan kontra. Bagaimana menempatkan berbagai argumen ini?

Kelompok pertama mengatakan lebih baik Ahok tetap di jalur independen karena harus konsisten dengan niat awalnya mengumpulkan sejuta KTP. Bila kata-kata ini keluar dari mulut relawan Ahok tentu tidak akan ditafsir macam-macam. Sudah barang tentu, konsisten dengan sikap awal yang “mencurigai parpol”, apalagi Ahok memang bukan tipe orang yang fanatik dengan parpol, maka Ahok sudah semestinya maju secara independen guna memberi alternatif baru figur seorang politisi yang benar-benar manifestasi kehendak rakyat untuk demokrasi dan kesejahteraan. 

Penting bagi Ahok membuktikan diri bahwa ia pemimpin yang benar-benar bekerja untuk rakyat dan didukung secar riil oleh rakyat. Kalau Ahok ingin berlanjut terus eksis di dunia politik Indonesia, ini adalah momen yang penting baginya untuk membuktikan diri.

Namun, bila kata-kata seperti itu – anjuran supaya Ahok konsisten di jalur independen - muncul dari mulut orang parpol, apalagi PDIP, tentu maknanya menjadi sedikit lain. Mengingat aturan verifikasi KTP dukungan yang berpotensi besar menyulitkan Ahok, maka anjuran politisi tersebut bisa jadi adalah ungkapan sinis: “Maju lu sana, biar nyahok”. Tak bisa dipungkiri bahwa yang paling kesal dengan jalur independen ini adalah PDIP. Partai ini begitu prosedural banget sehingga tidak mampu melakukan lobby secara normal seperti partai-partai besar yang biasa. Ketika akhirnya Ahok diambil oleh 3 partai lainnya, maka “sesal kemudian tidak berguna”.

Kelompok kedua mengatakan lebih baik Ahok maju lewat jalur parpol, karena sudah ada tiga parpol dengan jumlah anggota di DPRD yang mencukupi untuk mendukungnya. Jalur parpol adalah jalan tol yang gampang bagi Ahok saat ini,  bahkan bebas bayar. Dijamin tidak ada gardu bayar dengan harga yang aneh-aneh yang menghadangnya. Apalagi kalau Ahok lantas mau merendahkan diri mendatangi PDIP dan sowan meminta dukungan PDIP! Wah, ini skenario luar biasa karena Ahok akan meraup lumayan banyak parpol di belakangnya.

Namun para teman Ahok dan Ahokers tentu kecewa dengan jalur parpol. Sudah terbukti bahwa parpol di Indonesia tidak bisa menjadi lahan kaderisasi. Parpol sukanya melakukan head hunting sekedar demi tujuan jangka pendek (mendapatkan kursi sebanyak-banyaknya untuk para cantrik mereka). Tak bisa dijamin bahwa setelah Ahok nanti terpilih lewat jalur parpol ia akan masih bisa independen.

Terakhir, di golongan ketiga, ada pengamat yang lebih santai. Ah sudahlah, mau jalur parpol kek, mau jalur independen kek, yang penting Ahok jadi gubernur lagi. Indonesia ini rumit, tapi juga simpel. Biar pakai jalur apa pun , tidak masalah. Yang penting Ahok jadi gubernur dulu, bekerja dengan bagus, dan setelah itu 2019 bolehlah dilanjut lebih tinggi lagi.

Bagi para easy goers ini, musuh utama mereka adalah kalangan ideologis yang suka mewacanakan “siapapun orangnya, asal bukan Ahok”. Orang ini Cina dan kafir, sehingga dari kodratnya sudah pasti akan menjadi penghuni kerak neraka. Apa pun yang ia buat di muka bumi ini, entah berhasil membangun ini itu, entah anti korupsi, dll, gue tidak peduli. Dia kafir. Titik. Maka apa pun yang dibuat kafir pasti tidak halal.

Untuk menempatkan berbagai silat wacana di atas, Aristoteles akan sangat membantu. Aristoteles membedakan tiga jenis ilmu: theoriea (ilmu teoretis seperti Fisika, Matematika dan Metafisika/Teologia), praxis (ilmu tindakan, misalnya ilmu Etika dan ilmu Politik), serta teknis (ilmu arsitektur, ilmu membuat gerabah, ilmu kedokteran, dll.). Kelompok ketiga adalah orang-orang yang berdebat di level teknis versus teoretis.

Kaum easy goers berpendapat bahwa yang penting adalah hasilnya, perkara jalannya tidak penting. Seperti saat sepeda motor kita rusak, kita tidak pedulu bagaimana teori atau tindakan si tukang bengkel, yang kita minta adalah motor kita jalan lagi. Kehebatan ilmu teknis diukur dari hasilnya, bukan teori atau integritas moral atau agama si tukang bengkelnya. Apakah untuk memperbaiki motor, Anda masih berdiskusi dulu menanyakan agama si tukang bengkel, atau moralitas pabrik pembuat ban yang akan Anda pakai? Pertanyaan retoris yang bodoh sehingga tidak perlu dijawab.

Di level teknis orang tidak peduli dengan Ahok itu apa atau seperti apa. Yang penting hasil kerja dia bagus, titik. Ini satu-satunya kriteria untuk  menilai Ahok. Perkara metode kerjanya mungkin membuat orang senewen, perkara kata-katanya keras, perkara ia Cina, atau apa pun, yang bisa diukur objektif adalah hasilnya. Soal kebenaran teori atau integritas moral sebuah tindakan tidak menjadi faktor penentu. Kaum penganut ilmu teknis ini sering dilabeli sebagai orang-orang pragmatis.

Sebaliknya kaum teoretis adalah kaum ideologis yang mementingkan kebenaran teori tertentu (agama atau doktrin) dan demi kebenaran itu membutakan diri dengan soal integritas moral pelaku tindakan. Memakai argumen teologis mereka membuat silogisme sederhana: a) Ahok adalah Kafir, b) Apapun perbuatan orang kafir tidak halal, c) kesimpulan: apapun yang dibuat Ahok tidak halal.

Bagi kaum ideologis, politik dipraktikkan seperti matematika. Kalau kafir artinya nanti masuk neraka, maka di muka bumi ini, karena nasibnya nanti sudah jelas, ya dia tidak layak hidup, apalagi dipilih jadi Gubernur. Manusia teoretis suka sekali dengan kebenaran, dan itu dihayati secara mutlak seperti 2+2 pasti harus selalu di mana pun hasilnya 4. Manusia teoretis tidak peduli bahwa de facto Ahok bekerja transparan, defakto Ahok suka mengunjungi orang yang mantenan dan menyumbang dari uang pribadinya. Semua apa yang disebut integritas moral dibuang sebagai tidak benar karena Ahok tidak mengikuti agama yang benar. Sikap teoretis dekat dengan sikap ideologis. Ia tertutup pada akal sehat.

Kelompok kedua dan pertama mencerminkan dengan benar teori Aristoteles bahwa politik adalah ilmu praxis (ilmu tindakan, action). Sebagai ilmu praxis, tidak ada kebenaran atau kesalahan mutlak di situ. Memilih independen atau parpol atau bahkan dua-duanya merupakan pilihan-pilihan yang harus diambil bukan demi “hasil akhir” bukan pula demi “sebuah kebenaran”. Benar tidaknya pilihan akan ditentukan oleh “desire” yang ada di dalam diri Ahok sendiri. Ahok harus memilih dengan pertimbangan rasional dan sesuai dengan habitus (character yang selama ini sudah ia bangun).

Dalam soal praksis, seorang politikus bisa diibaratkan seorang pemain bola yang akan bermain bola dengan penuh hasrat dan cantik tanpa peduli bagaimana hasil akhirnya. Dan ini tidak mudah. Ia harus berhadapan dengan pilihan-pilihan sulit. Namun kita percaya, pemain bola yang sejati akan bermain dengan indah. Semua orang mengagumi Messi, namun ketika final Piala Dunia dan final Copa America gagal diraih, Messi menjadi frustrasi dan mundur dari timnas Argentina. Meski Messi sedih, namun toh kita semua, pecinta Messi, tidak pernah meragukan kehebatan Messi dan sumbangan Messi dalam memperindah dunia persepakbolaan.

Ahok hanya akan menjadi Ahok lewat pilihan-pilihan yang tidak mudah. Kita sudah tahu karakter dia. Hanya sejarah yang nanti akan mencatat siapa Ahok bagi kita.

 

Penulis adalah pengajar di STF Driyarkara, Jakarta

 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home