Loading...
INDONESIA
Penulis: Francisca Christy Rosana 19:30 WIB | Jumat, 21 Agustus 2015

Tarik Ulur Relokasi Kampung Pulo Kepentingan Siapa?

Dua warga Kampung Pulo saat melintas diantara bangunan rumah yang telah ditertibkan oleh petugas dalam aksi penertiban yang dilakukan pada Kamis (20/8) kemarin masih berjumlah sekitar lima bangunan dan saat ini penertiban terhadap bangunan yang lain sedang berlangsung. (Foto: Dok. Satuharapan.com/Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sejak Joko Widodo (Jokowi) menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, ia bersama rekan sejawatnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang semasa itu didaulat sebagai wakilnya telah berjanji tak akan melakukan penertiban hunian sebelum pemerintah menyiapkan rumah susun (rusun). Penertiban hunian di bantaran kali dimaksudkan untuk mengentaskan masyarakat miskin dari banjir dan kemiskinan.

Kini, Ahok yang menjabat sebagai gubernur menggantikan Jokowi tengah mendapat kecaman dari warga Kampung Pulo, Jakarta Timur karena mendorong mereka untuk angkat kaki dari bantaran kali tersebut. Warga ‘berteriak’ karena janji pemerintah mengganti rugi dengan unit rusun 1,5 kali lipat dihitung dari luas bangunan tak sesuai dengan janjinya.

Sementara, Ahok menjelaskan, bangunan yang akan diganti rugi dengan nilai yang fantastis ialah bangunan yang bersertifikat dan memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Sedangkan mayoritas warga hanya memiliki surat pembelian lahan yang kepemilikannya berbunyi milik pemerintah.

Menengok ke belakang, sebagian besar bangunan yang telah berdiri sejak 50 tahun lalu di atas lahan milik pemerintah telah diketahui oleh kedua belah pihak. Baik pemerintah maupun warga sama-sama tahu lahan tersebut milik negara. Gesekan kebutuhan dan iming-iming aliran rupiah  membuat bantaran kali yang hakikatnya menjadi lahan hijau disulap menjadi petak-petak bangunan.

Di tarik pada masa 1970, saat bangunan-bangunan liar tersebut dibangun, di Jakarta tengah terjadi pembangunan masif. Pembangunan terpusat di ibu kota negara. Orang-orang daerah berbondong-bondong melakukan urbanisasi. Jakarta layaknya gula-gula yang seketika diburu jutaan semut.

Sayangnya, luas Jakarta yang hanya 740,3 kilometer persegi tak mampu menampung jutaan pendatang. Desakan kepentingan ekonomi mewujudkan segala kemungkinan. Aturan ditabrak, hukum bak dilebur, dan celah-celah kepentingan mucul. Banjir, hunian tak layak, bau anyir, tumpukan sampah tertimbun kepentingan. Kepedulian lambat laun menguap.

Saat rupa Jakarta hendak dibenahi dan normalisasi digalakkan, semua pihak seperti berebut kepentingan. Tarik ulur relokasi pun terjadi. Isi kepala kedua belah pihak tak tersampaikan dengan baik. Rencana-rencana yang dijabarkan di strata atas pemerintahan tak sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan.

Buntutnya, bentrok dan baku hantam terjadi. Ahok menyadari adanya permainan menahun aparat daerah masa lalu yang dampaknya dirasakan saat ini. Berkali-kali ia menyatakan telah memafkan kesalahan masa lalu. Djarot juga tak menampik jika permainan itu terjadi di level pemerintahan.

“Yang penting kita mengimbau secara persuasif supaya mereka suka rela dibongkar,” kata Djarot kepada satuharapan.com

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home