Loading...
RELIGI
Penulis: Bayu Probo 21:58 WIB | Rabu, 12 November 2014

Teater Anak Refleksikan Tema SR XVI PGI

Adegan Teater Anak Forina, Rabu (12/11) yang berusaha merefleksikan tema Sidang Raya XVI PGI di Panggung Pentas Seni. (Foto: Markus Saragih)

GUNUNGSITOLI, SATUHARAPAN.COM – Teater Forani (Forum Anak Nias) merefleksikan tema Sidang Raya XVI PGI dalam bentuk pementasan. Mereka lakukan di panggung seni, Rabu (12/11).

Rainy Hutabarat, staf peneliti pada Yayasan Komunikasi Masyarakat (Yakoma) PGI menuliskannya untuk satuharapan.com. Ia mengatakan ini karena prihatin jemaat anak dan remaja kurang dilibatkan dalam menggali tema-tema gerejawi-oikoumenis. Berikut tulisan penulis produktif di berbagai media nasional ini.

Adakah ruang bagi anak-anak dan remaja dalam merefleksikan tema-tema pertemuan oikoumenis nasional?

Tradisi gereja mencatat, tema-tema gerejawi-oikoumenis dirumuskan secara terpusat oleh para pejabat birokrasi dan penjemaatannya dilakukan sebatas melalui warta jemaat, majalah gereja, mading, atau situs daring. Penjemaatan atau sosialisasi umumnya dilakukan dalam bahasa orang dewasa dengan pola-pola komunikasi searah terutama khotbah dan publikasi. Titik pijakan refleksi warga jemaat adalah rumusan para pejabat gereja atau orang-orang tertentu yang dipandang berkompeten menuliskannya. Inilah problem “tema” gerejawi-oikoumenis: penggalian refleksinya berhenti pada pejabat birokrasi gerejawi dan model sosialisasinya searah.

Padahal, makin banyak warga jemaat termasuk anak-anak dan remaja yang menggali refleksi, makin hidup sebuah tema. Sosialisasi sebuah tema oikoumenis nasional/regional umumnya terbentur pada dua hal: penjemaatan dan penggalian refleksi masalah. Padahal sebuah tema diharapkan menjadi kerangka bersama dari arak-arakan gerejawi, mulai dari warga jemaat termasuk remaja dan pemuda hingga pengambil keputusan, dalam mewujudkan panggilan visi dan misi bersama.

Teater Forani (Forum Anak Nias) dalam rangkaian kegiatan Sidang Raya XVI PGI mencoba merefleksikan tema “Tuhan Mengangkat Kita dari Samudera Raya” dengan membidik bencana ekologis. Pementasan berupa teater mini kata, yakni.... bertajuk Asap Duka Anak-anak Negeri Batu, naskah disusun oleh Pendeta Indrianto Adiatmo dari Gereja Kristen Jawa Dagen Palur Pos Pelayanan Lintas Budaya di Yogyakarta, yang sekaligus menjadi pelatih.

Forani adalah kelompok dampingan Wahana Visi Indonesia (atau World Vision Indonesia) dan pementasan ini merupakan kerjasama antara YAKOMA-PGI dan Wahana Visi Indonesia, dua belas remaja dari Banua Niha Keriso Protestan (BNKP), Gereja Amin, Ono Niha Keriso Protestan (ONKP), Angowuloa Fa’awosa Kho Yesu (AFY) ambil bagian dalam pementasan ini.

Tujuan pementasan ini, selain membekali para remaja dengan keterampilan dan pengetahuan berteater, bekerja sama dalam tim dan lintas gereja, juga mendorong mereka memahami dan menghargai makna dan nilai budayanya.

Dengan demikian, proses-proses berteater merupakan yang terpenting, sedangkan pemahaman tema Sidang Raya adalah dampak ikutannya. Dramatisasi tema adalah salah satu metode belajar bersama sambil bermain melalui berteater.

Latihan berlangsung selama tiga hari meliputi olah vokal, olah tubuh, olah rasa, dinamika kelompok dalam gerak, serta pemahaman cerita dan pesan. Olah vokal bertujuan memampukan anak remaja mengartikulasikan kata-kata dengan jelas dan hidup; olah tubuh memampukan anak remaja menciptakan gerak sejalan penghayatan dan cerita; olah rasa mengasah kepekaan estetis dari peran, masalah dalam cerita, dan ekspresi kelompok; dan dinamika kelompok memampukan anak remaja bekerja sama dalam tim untuk tujuan bersama.

Unsur-unsur Lokal

Teater Asap Duka Anak-anak Negeri Batu mengisahkan “Negeri Batu” yang semula damai, sejahtera, dan kokoh yang dilambangkan dengan ketangguhan melompati batu hombo. Lompat batu dalam tradisi fahombo Nias melambangkan kesiapan, kematangan dan ketangguhan seseorang. Tradisi ini berakar dari kebiasaan berperang antar suku di Nias. Mampu melompati batu hombo berarti siap menghadapi medan perang.

Kini batu hombo menjadi lambang ragam kendala, masalah, kesulitan, bencana, dan tantangan. Pelompat tangguh menjadi lambang warga atau komunitas yang kuat, damai dan sentosa. Inilah salah satu adegan dari teater Asap Duka Anak-anak negeri Batu. Adegan selanjutnya dilambangkan oleh tiga raksasa merah yang membawa api.

Tiga raksasa dan api adalah lambang kekuatan penghancur, perusak, pemusnah yang memorak-porandakan kehidupan alam ciptaan termasuk kehidupan sosial manusia. Dan adegan penutup adalah kedatangan perempuan berjubah ungu sebagai lambang Penyelamat Agung diiringi orang-orang berbaju putih yang menggerakkan ke arah bumi baru dan langit baru. Semua pemeran—para pelompat batu, tiga raksasa merah, manusia berjubah ungu dan orang-orang berbaju putih, narator, pemusik—berkumpul dan bernyanyi bersama sebagai lambang pemulihan dari kekuatan-kekuatan perusak, pemusnah dan pembunuh serta pendamaian. Inilah bumi baru dan langit baru itu.

Selain Teater Forani, Sidang Raya juga dimeriahkan serangkaian pentas seni Nias mulai dari paduan suara dengan instrumen musik Nias, tari perang, dan tari-tarian lainnya.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home