Loading...
OPINI
Penulis: Riduan Situmorang 13:00 WIB | Kamis, 28 Juli 2016

Terorisme dan Masalah Budaya Korban

Terorisme yang merebak di mana-mana kerap dipicu oleh, salah satunya, budaya korban. Mereka menjadi korban, lalu berusaha membalas dendam dengan mengorbankan lainnya. Di situ perkara siapa yang bersalah jadi sumir.

SATUHARAPAN.COM - Bom bunuh diri baru-baru ini di Solo tidaklah mengejutkan. Sebab, adalah sudah semacam hal biasa di mana berbagai gerakan radikalisme belakangan ini semakin vulgar menunjukkan eksistensinya, baik itu di taraf internasional maupun di tingkat nasional.

Di tingkat internasional, kita menyaksikan ISIS yang semakin berpencar dan mengakar. Mereka berhasil keluar dari kandang. Beberapa tempat yang dulunya dinilai aman mendadak menjadi tak jaminan. Pesawat komersial Rusia ditanami bom, Paris dihujani peluru, Amerika dikejutkan berbagai penembakan, Turki berkali-kali diguncang, sudah menjadi contoh akurat bahwa kini kenyamanan sudah sungsang.

Menanggapi berbagai kekerasan itu, negara-negara hebat sekelas Amerika, Rusia, Uni Eropa, bahkan beberapa negara besar dari Timur Tengah, seperti Israel dan Arab sebenarnya sudah berkali-kali membombardir sarangnya, mulai dari darat, laut, dan udara, tetapi ISIS tak tertaklukkan. Yang ada, ISIS semakin digdaya dan meraja lela. Berkali-kali mereka dikabarkan lemah, tetapi berkali-kali juga mereka mengancam.

Andai Jurgensmeyer, peneliti teror atas nama Tuhan, tidak keliru, ISIS sudah sangat-sangat berhasil menyampaikan pesan yang sangat luar biasa. Apalagi kini, di tengah era digital, berbagai pemenggalan, aksi mutilasi, pembakaran tahanan, dan kekejian-kekejian sengaja diekspos luas ke media. Jurgensmeyer mengatakan bahwa kelompok-kelpompok radikal sering menggunakan aksi kekerasan di luar batas kemanusiaan untuk menarik perhatian khalayak agar pesan yang disampaikan mencapai sasaran (Terror in the Mind of God, 2000: 262-4). Dan, pesan itulah yang kini mendarat dengan apik di masyarakat.

 

Serba Salah

Pesan itu, misalnya, ditujukan kepada para simpatisan, para musuh, dan juga kepada masyarakat dunia secara keseluruhan bahwa mereka masih tetap eksis meski sudah dibombardir negara-negara kuat. Pesan ini bahkan menjadi bias. Pertama, para simpatisan semakin tergugah yang lalu mendukung ISIS secara on air. Kedua, simpatisan tadi mencari anggota-angota baru agar semakin kukuh. Itulah sebabnya seperti yang kita dengar bahwa mereka bisa merekrut ribuan orang dalam waktu sebulan.

Pesan yang lebih istimewa lagi adalah berita semakin fenomenalnya ISIS di tengah kepungan berbagai negara merupakan pesan menarik bagi para pengagum ISIS. Mereka akan semakin simpati karena ISIS merupakan sebuah kekuatan yang pantas dibela lantaran kekuatannya. Bahkan, tak runtuhnya ISIS oleh serangan negara-negara adidaya mengantarkan simbol bahwa yang adidaya itu sebenarnya adalah ISIS, bukan AS, Rusia, atau Uni Eropa.

Serba salah memang dan inilah yang membuat dunia lemah. Berita kalau kemudian ISIS terdesak sudah pasti bukan berita baik. Tuan Besar, yaitu ISIS, harus dibela sehingga simpatisan di berbagai dunia merasa terpanggil untuk menyerang. Celakanya, simpatisan ini sangat fanatis. Mereka tak butuh perintah. Mereka bergerak tanpa pamrih, tetapi gerakannya sangat apik dan terkoordinasi sehingga tak terdeteksi. Tiba-tiba, bom sudah meletus, gedung sudah hancur, pesawat tumbang, nyawa-nyawa tak berdosa berjatuhan.

Sungguh ini sebuah fanatisme dan pengabdian yang sangat luar biasa. Mereka nyata-nyata sangat berdedikasi tinggi. Jika pantas disebut nasionalisme, nasionalismenya sudah berada pada titik didih. Tak akan tergoyahkan lagi. Mereka rela melakukan apa pun. Tidak hanya materi, tetapi juga nyawa, berikut tenaga dan pikiran. Tak tanggung-tanggung, seorang PNS kita yang boleh dibilang sudah mapan untuk urusan keuangan, eh, tiba-tiba pergi berjuang dengan ISIS.

Pernah juga seorang dokter dikabarkan hilang karena mengikuti Gafatar. Ini mementahkan teori yang menyatakan bahwa orang berpendidikan tinggi dan berkecukupan akan menolak gerakan radikalisme. Memang agak boleh dikatakan sebagai fakta bahwa para pelaku bom bunuh diri itu adalah orang “buangan”. Tetapi, kita harus membuka mata bahwa musuh terbesar bukan “orang buangan” itu, melainkan orang yang berhasil membujuk “orang buangan” tadi agar rela menyabung nyawa.

Membujuk bukan perkara mudah. Dibutuhkan kharisma dan intelegensi yang dalam dan ini hanya didapatkan dari orang yang berpendidikan. Mereka inilah yang mampu membujuk sehingga orang rela mati, seperti yang baru terjadi di Solo. Mereka inilah yang mampu sehingga bisa menarik anak bangsa ke ISIS. Mereka ini pulalah yang jaya sehingga mampu dan rela menjual tanah, seperti yang dipraktikkan Gafatar. Ironisna, mereka ini teramat pintar sehingga mereka lebih sering memosisikan diri sebagai korban ketidakadilan.

ISIS mentereng bukan salah ISIS karena mereka hanya korban ketidakadilan, begitu mereka berkelit. Gafatar merekah itu bukan salah Gafatar karena mereka juga korban. Inilah yang menjadi sumbangan oksigen secara tak langsung sehingga mereka merasa bahwa kehadiran mereka adalah karena ketidakadilan. Alih-alih musuh, mereka malah merasa sebagai pahlawan kehidupan sehingga tanpa merasa bersalah, mereka rela mati dan mematikan. Inilah budaya yang menganggap dirinya korban.

Secara historis dapat dibeberkan budaya korban yang demikian. Sekte Zealot yang hidup di Palestina yang kemudian dinilai masyarakat sebagai teroris pertama, misalnya, hadir karena korban ketidakadilan dari kolonialisme Romawi. Pembunuhan brutal kepada Julius Caesar pada 44 SM oleh bangsa jajahan juga terjadi karenya mereka menganggap sebagai korban. Budaya korban juga menjadi pembenaran bagaimana pemerintah Perancis dan rakyatnya pada masa Revolusi Perancis saling memerangi. Rakyat tak mau lagi menjadi korban sehingga mengorbankan darah negara. Budaya inilah yang tetap awet hingga sekarang.

 

Fokusnya Menjadi Liar

Efek yang lebih mengejutkan dari budaya ini adalah mereka merasa dilegitimasi untuk berbuat kekerasan. Apalagi konon, mereka diartikan sebagai bidak-bidak catur yang digerakkan oleh orang pintar secara konspiratif. ISIS, misalnya, katanya diciptakan oleh barat dan Amerika sehingga jadilah ISIS yang “dibela”. Gafatar atau gerakan semacamnya lahir karena ketidakadilan pemerintah sehingga jadilah mereka yang “benar”. Inilah budaya korban. Karena korban, alih-alih dipojokkan, mereka justru dibela sehingga gerakan-gerakan semacamnya tak pernah tamat. Mati satu, tumbuh yang lain. Bisa saja nama mereka berbeda dan berubah, tetapi semangat ideologinya tetap identik.

Tragis memang. Skemanya membuat kita menjadi prihatin: gerakan radikal yang lahir karena sebagai korban terpaksa memilih orang lain sebagai korban. Efek dari prihatin ini pelan-pelan membuat kita berwajah muram pada penyelenggara negara. Pada tingkat yang lebih ekstrem, kita “mengatakan” bahwa aktor utama di balik ini semua adalah negara.

Begitulah budaya korban menjerat. Perihal siapa yang bersalah menjadi sumir. Apalagi kita memahami dan mengamini, seperti yang dicuatkan Djoko Subinarto, bahwa para korban itu adalah mereka yang tidak mampu mengelola, mengendalikan, dan mengatur kehidupan sendiri. Mereka tidak pernah memiliki kerangka utuh lewat mana bisa melihat dan mengenali diri serta memahami dunia sekitar.

Nah, budaya korban inilah yang membuat mereka semakin eksis. Selain kita merasa prihatin, mereka juga merasa tak bersalah, apalagi bertanggung jawab. Mereka merasa benar sebagai bukti dari pembelaannya. Pembelaan yang melekat dalam hati mereka adalah bahwa mereka hanya korban ketidakadilan, korban dari keluarga berantakan, keluarga dari negara yang kacau, korban dari keluputan perhatian, korban dari perlakuan sewenang-wenang, atau mungkin korban perasaan dari parapemuka agama.

Ketika mereka yang adalah “anak buangan” melakukan aksi, bertumbanganlah korban-korban lainnya. Di sini, budaya korban semakin mengilap. Ada organisasi yang merasa korban mengorbankan “anak buangan” dan “anak buangan” tanpa bersalah mengorbankan orang lain di lapangan melalui bunuh diri. Ketika korban terakhir jatuh, yaitu masyarakat, kita menyalahkan negara sebagai aktor di baliknya. Kata kita sekaligus menghakimi negara, beri keadilan supaya tidak ada terorisme. Fokusnya pun menjadi liar: lebih menyalahkan negara daripada menyalahkan terorisnya! Begitulah budaya korban!

 

Penulis adalah pegiat sastra dan budaya di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) Medan

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home