Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben E. Siadari 08:12 WIB | Senin, 25 Juli 2016

Tertinggal dari Umat Lain Muslim hanya Kuasai 12 Persen Ekonomi RI

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri. (Foto: mb.ipb.ac.id)

CIREBON, SATUHARAPAN.COM- Rapat Pleno Pengurus Besar Nahdlatul Ulama  (PBNU) di Pondok Pesantren Kempek Cirebon yang berlangsung pada hari Minggu (24/7) menyoroti  ketimpangan ekonomi di Indonesia yang dinilai masih parah.

Pembicara kunci, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Prof Rokhmin Dahuri, mengungkapkan data yang mengejutkan yang mengatakan bahwa umat Muslim Indonesia yang mayoritas dalam jumlah, ternyata hanya menguasai 12 persen ekonomi.

"Faktanya bahwa umat Islam Indonesia itu jumlahnya 87 persen total penduduk Indonesia. Tapi hanya menguasai 12 persen total ekonomi Indonesia," kata dia (24/7).

Umat Muslim, menurut dia, masih menganggap urusan ekonomi dan bisnis bukan yang utama. Hal ini menyebabkan ketertinggalan di bidang ekonomi dibanding umat agama lain.

Di sisi lain, ia juga menilai tingkat pendidikan dan penguasaan IPTEK umat Muslim rendah. Pada gilirannya ini membuat  inovasi dan entrepreneurship juga rendah.

Faktor lainnya adalah karena  kebijakan pemerintah dan kekuatan modal global kurang atau tidak berpihak. Ia menunjuk akses ke sumber dana di perbankan, teknologi, infrastruktur, dan informasi pembangunan serta bisnis usaha.

Salah satu solusinya menurut dia, umat Islam mau tidak mau harus meningkatkan iman taqwa kepada Allah.

"Ini juga dibarengi dengan peningkatan tingkat pendidikan, IPTEK, kreativitas, inovasi, dan entrepreneurship," ujar Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) ini, sebagaimana dilansir dari republika.co.id.

Di bagian lain paparannya, ia menekankan bahwa  Islam sangat menghargai kewirausahaan karena Rasulullah sudah belajar menjadi wirausahawan sejak usia delapan tahun ketika ia diajak pamannya berdagang.

Namun, kata dia, banyak faktor yang menyebabkan tidak tumbuhnya entrepreneurship. Salah satunya adalah sistem yang tidak mendukung rakyat kecil untuk berusaha.

Misalnya, ia menyebut soal sulitnya mendapat kredit, sementara ada kelompok tertentu yang dengan mudah mendapatkan pinjaman dari bank dengan mudah, bahkan tanpa agunan untuk jaminan pinjaman seperti Edy Tansil.   

"Bukannya rakyat Indonesia yang malas, tetapi sistemnya tidak mendukung," tandasnya, sebagaimana diberitakan oleh nu.or.id.

Bukan hanya kali ini Rokhmin melancarkan keprihatinan akan ekonomi kaum Muslim. Dalam khotbah Idul Fitri di Masjid Kompleks BI, belum lama ini, ia juga menyoroti hal ini."Seharusnya, bangsa Indonesia yang umat Islam-nya telah melaksanakan ibadah puasa Ramadhan sebanyak 71 kali sejak merdeka pada 1945, sudah menjadi bangsa yang penuh berkah Allah SWT, maju, adil, makmur, damai dan berdaulat seperti janji Allah," kata Rokhmin

‎Faktanya, yang terjadi justru sebaliknya. Kehidupan umat Islam pada umumnya terpuruk hampir di semua bidang kehidupan. Dalam pengelompokan negara produsen teknologi, Indonesia menempati peringkat 60 dari 63 negara yang masuk kelompok 'Technology Adaptor Countries' atau negara yang mampu sedikit mengadopsi teknologi. Padahal, kelompok negara ini merupakan kelompok negara ketiga dalam penguasaan dan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Di bidang ekonomi, ujar dia lagi, kondisinya juga tidak kalah memilukan. Meskipun dikaruniai kekayaan alam, sampai sekarang Indonesia hanya berstatus negara berkembang dengan angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi.

Selain angka kemiskinan, kesenjangan kaya dan miskin semakin lebar, daya saing ekonomi juga masih rendah. Indeks daya saing bangsa Indonesia berada pada urutan ke-37 dari 148 negara yang disurvey. Indonesia masih tertinggal jauh dari negara di ASEAN lain seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Rokhmin mengatakan, padahal janji Allah pasti benar. "Pasti karena kegagalan kita umat Islam di dalam memahami dan melaksanakan Islam secara 'kaffah' (menyeluruh) dan 'Ittiba' (mengikuti sunah Rasullullah SAW)," kata dia, sebagaimana dikutip oleh republika.co.id.

Sementara itu Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj yang berbicara dalam pembukaan Rapat Pleno PBNU, menekankan perlunya pemerintah tidak hanya fokus mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menekankan pada aspek pemerataan.

Ia mengutip data Bappenas yang menunjukkan rasio gini yang merupakan indikator ketimpangan ekonomi antarpenduduk per akhir 2015 masih cukup tinggi, yatu mencapai angka 0,413.

"Bagi PBNU, ekonomi kerakyatan harus ditingkatkan. Jangan sampai kekayaan modal negeri ini hanya dikuasi oleh para konglomerat," tandas Said Aqil.

Menurut dia, ekonomi kerakyatan menjadi fundamental perekonomian nasional. Krisis 1998 membuktikan bahwa ekonomi kerakyatan tampil sebagai penyelamat negara dari kebangkrutan, bukan para konglomerat atau pemilik modal besar.

Ketua Panitia Rapat Pleno KH Eman Suryaman mengatakan, persoalan ekonomi, terutama ekonomi kerakyatan, menjadi bahasan utama rapat pleno.

"Rekomendasi rapat pleno akan menjadi masukan pemerintah yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama di pedesaan," kata dia.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa saat membuka Rapat Pleno PBNU mengajak jajaran warga Nahdlatul Ulama (NU) untuk membantu program pemerintah dalam mengentaskan warga dari kemiskinan

Dikatakannya, saat ini jumlah angka kemiskinan di pedesaan terbanyak ada di Jawa Timur dan yang kedua ada di Jawa Tengah yang notabene merupakan basis NU.

"Bisa jadi warga yang miskin itu adalah warga NU juga," tandas Khofifah yang juga Ketua Umum Muslimat NU.

Khofifah mengatakan saat ini banyak dana sosial yang menjadi bagian dari program pengentasan kemiskinan, terutama untuk masyarakat di pedesaan, antara lain dana desa, dana bantuan sosial (bansos), dan dana program keluarga harapan (PKH).

Pemerintah ke depan juga akan mengucurkan bantuan berupa dana-dana nontunai yang disalurkan melalui warung-warung elektronik (e-warung). Dana nontunai tersebut bisa dibelanjakan untuk kebutuhan pokok.

E-warung nantinya akan dikembangkan di desa-desa seluruh Indonesia. Saat ini sudah dibuka di Malang dan Sidoarjo, Jawa Timur. Tahun depan e-warung akan dibuka di 44 kota seluruh Indonesia.

"Makanya kami minta pondok pesantren juga bisa terlibat dalam membangun e-warung ini. Langkah itu akan sangat efektif," kata dia.

Statistik kemiskinan dan ketimpangan pendapatan Indonesia (Sumber tabel: indonesia-investments.com)

Kepala Badan Pusat Statistik, Suryamin, belum lama ini mengatakan indeks gini Indonesia  September 2015 tercatat sebesar 0,40, turun dari 0,41 pada Maret 2015. Namun, angka itu jauh di atas sasaran APBN  2016, yang menginginkan penurunan indeks gini menjadi 0,39 pada 2016 dan menjadi 0,36 pada 2019.

Indeks gini merupakan indeks yang mengukur kesenjangan pendapatan antara 20 persen masyarakat berpendapatan tertinggi dengan 20 persen pendapatan masyarakat berpendapatan terendah.

Dengan rentang angka 0,0 hingga 1,0. Indeks 0,0 indeks gini menunjukkan kemerataan pendapatan sempurna, atau tidak ada kesenjangan. Sedangkan indeks gini sebesar 1,0 menunjukkan kesenjangan sempurna.

Umumnya pakar ekonomi berpendapat era reformasi yang dalam 15 tahun terakhir diklaim sebagai koreksi terhadap berbagai praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di era Soeharto, ternyata gagal dalam mengatasi kesenjangan orang kaya dan miskin.

Data menunjukkan pada tahun 1990-an indeks gini Indonesia rata-rata ada di angka 0.30. Namun angka ini meningkat pesat menjadi rata-rata  0,39 di tahun 2000-an, dan bertahan di angka 0,41 pada rentang waktu 2011-2014, sebelum turun menjadi 0,40 pada tahun 2015, menurut data terbaru BPS.

Meluasnya ketimpangan pendapatan sudah diungkap oleh Bank Dunia dalam surveinya tahun lalu. Di satu sisi perekonomian tumbuh cukup kuat dalam 15 tahun terakhir. Namun, menurut Bank Dunia, pertumbuhan itu lebih dinikmati 20 persen masyarakat terkaya. Sedangkan 80 persen penduduk – atau lebih dari 205 juta orang – rawan merasa tertinggal.

Bank Dunia menunjukkan ketimpangan pendapatan di Indonesia melebar relatif lebih cepat  dibanding banyak negara Asia Timur lainnya.

Data Bank Dunia menunjukkan antara tahun 2003 hingga 2010, bagian 10 persen penduduk terkaya di Indonesia meningkat konsumsinya sebesar 6 persen  per tahun sedangkan 20 persen termiskin konsumsi mereka tumbuh kurang dari 2 persen per tahun.

Survei persepsi masyarakat, yang dikutip oleh Bank Dunia pada tahun 2014 mengenai ketimpangan pendapatan, menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap distribusi pendapatan di Indonesia sangat tidak setara, atau tidak setara sama sekali. (republika.co.id/Ant/nu.or.id)

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home