Loading...
EKONOMI
Penulis: Melki Pangaribuan 20:10 WIB | Rabu, 20 April 2016

Anwar Nasution: Tingginya Indeks Gini Suburkan Ekstremisme

Anwar Nasution (kiri) dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar Badan Anggaran DPR RI, di Gedung Nusantara II, Komplek Parlemen, Jakarta, tahun lalu. (Foto: Dok. satuharapan.com/Melki Pangaribuan)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Anwar Nasution, mengatakan tingginya indeks gini atau gini ratio yang menunjukkan parahnya ketimpangan pendapatan di Indonesia dapat memicu kerusuhan sosial dan juga menyuburkan ekstremisme. 

Hal ini dia katakan menjawab pertanyaan satuharapan.com, pada hari Rabu (20/4). Dia mencontohkan, salah satu akibat dari kecemburuan sosial karena ketimpangan adalah munculnya sosok seperti bom Bali 2002, Amrozi, yang menjadi bagian kelompok ekstremis.

“(Jadi) bukan saja kerusuhan tapi juga ekstremisme. Coba tempat kan diri (kita) pada Amrozi yang membom cafe di Bali. Pendidikan rendah, lapangan kerja tidak ada sehingga dengan mudah dapat digoda oleh kelompok ekstremis,” kata Anwar Nasution.

Pada hari Senin (18/4), BPS mengumumkan tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang ditunjukkan oleh indeks gini sebesar 0,40 persen pada September 2015. Angka ini menurun sebesar 0,01 poin dibandingkan dengan gini ratio Maret 2015 sebesar 0,41 persen. Namun, masih dianggap cukup tinggi oleh para pengamat.

Menurut BPS, indeks gini 0,0 menunjukkan pemerataan sempurna. Sedangkan indeks gini 1,0 menunjukkan ketimpangan sempurna. Ada pun indeks gini 0,3-0,5 dikategorikan ketimpangan pendapatan sedang. Sementara lebih dari 0,5 merupakan ketimpangan tinggi.

Gini ratio adalah indikator untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan. Gini ratio mempunyai nilai antara 0,0 sampai 1,0. Indeks gini 0,0  menunjukkan pemerataan sempurna dan 1,0 menunjukan ketimpangan sempurna,” kata Suryamin.

Suryamin mengatakan,  gini ratio kurang dari 0,30 artinya ketimpangan rendah, sedangkan indeks gini  0,3-0,5 menunjukkan ketimpangan sedang. Ada pun indeks gini lebih dari 0,50 menunjukkan ketimpangan tinggi.

"Jadi gini ratio nasional 0,40 menunjukkan ketimpangan sedang yang mengarah ke ketimpangan kecil,” kata Kepala BPS.

Menurut Anwar Nasution  salah satu penyebab ketimpangan yang cukup tinggi karena sistem pajak tidak berfungsi sebagai instrumen pemerataan.

“Sudah wajib pajaknya kecil, dan rasio penerimaan pajak rendah, diumbar pula dengan amnesti bagi penggelap Pajak,” kata dia.

Mantan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia juga mengatakan ketimpangan pendapatan indeks gini dapat mengakibatkan kecemburuan sosial di masyarakat antara yang miskin dengan yang kaya.

“Jelas akan terjadi kecemburuan antara pengangguran dengan yang bisa bekerja, antara yang miskin dengan orang kaya. Karena terbatasnya pajak dan penghasilan BUMN membatasi kemampuan negara membantu orang miskin,” dia menegaskan.

Lampu Kuning

Sebelumnya pada bulan Januari, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan gini ratio Indonesia menyentuh angka rata-rata 0,43. Jika berkaca dari Arab Spring (kebangkitan dunia Arab), situasi di Indonesia sudah di tahap 'lampu kuning'.

"Sekarang lampu kuning, bisa berbahaya bagi kehidupan bangsa. Yang bisa mengubahnya adalah kebijakan pemerintah," kata JK, seperti diberitakan Metro TV, saat memberikan orasi ilmiah di Universitas Paramadina, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, hari Rabu (13/1).

JK mengatakan, dunia telah mengalami perubahan setelah perang dingin. Dulu, ideologi menjadi akar masalah pertentangan antarnegara. Kini, justru bergeser ke ekonomi.

JK melihat kasus yang terjadi di Timur Tengah. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah tak seluruhnya bisa digunakan dengan baik. Kondisi ini berbahaya, apalagi pertentangan terus terjadi di Timur Tengah seolah tak ada habisnya.

Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim ingin memberikan contoh yang baik. "Bahwa Islam Indonesia dapat menjadi contoh di dunia, bukan pertegangan tapi saling mengisi dan menghormati. Islam rahmatan lil alamin," kata JK.

Seiring dengan itu, untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan gini ratio, Indonedia harus memiliki kebijakan yang seimbang agar memiliki inovasi teknologi. Tak hanya itu, ketersediaan lapangan kerja juga penting untuk menjaga keseimbangan antara si kaya dan miskin.

"Pada akhirnya adalah kemajuan kesejahteran dapat diukur melaui ekonomi dan lapangan kerja. Mencapai kemakmuran, pertumbuhan untuk stabil harus sekitar tujuh persen, karena penuduk naik 1,5 persen. Menyerap kebutuhan masyarakat," katanya.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home