Loading...
DUNIA
Penulis: Prasasta Widiadi 08:34 WIB | Selasa, 13 Oktober 2015

Tiongkok Ajukan Perempuan Penghibur PD II ke UNESCO

Ilustrasi: Huang Youliang (usia 88 tahun) adalah salah satu dari delapan dari perempuan penghibur asal Hainan (Foto: xinhuanet.com)

BEIJING, SATUHARAPAN.COM – Kementerian Luar Negeri Tiongkok akan mempertimbangkan pencalonan para perempuan  penghibur di masa penjajahan Jepang pada era Perang Dunia II, ke program UNESCO (Organisasi Pendidikan, Kebudayaan dan Sosial milik PBB) yakni “Ingatan Tidak Terlupakan Dunia” (Memory of the World Register).

“UNESCO memberi peluang kepada Tiongkok dan negara lainnya yang memiliki perempuan yang dipekerjakan paksa sebagai perempuan penghibur di Perang Dunia II untuk didaftarkan di program tersebut,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Hua Chunying pada konferensi pers reguler di Beijing, Senin (12/10).

Program Memory of the World Register dibentuk UNESCO pada tahun 1992 untuk memfasilitasi pelestarian dan meningkatkan kesadaran dokumen warisan dunia.

Tiongkok menominasikan para “perempuan penghibur di era Perang Dunia II” ke UNESCO dalam dokumen berjudul Nanjing Massacre pada Jumat (9/10).

Komite Penasehat Internasional Memory of the World Register UNESCO mendorong negara-negara untuk bersama-sama mencalonkan "perempuan penghibur" dan akan ditetapkan di sidang UNESCO tingkat pusat. 

"Tiongkok akan mempertimbangkan pendapat seperti itu dengan cermat dan serius,” kata Hua.   

Menurut Su Zhiliang, pengajar di Shanghai Normal University yang mempelajari sejarah perempuan penghibur, sekitar 200.000 perempuan di Tiongkok dipaksa menjadi budak seks selama perang.  Dia mencontohkan di Hainan, Tiongkok yang diserbu dan diduduki oleh Jepang selama enam tahun mulai dari 1939 sampai dengan 1945, sekitar 10.000 perempuan dipaksa untuk menjadi  perempuan penghibur.  

Kebanyakan dari mereka berasal dari kelompok etnis Li dan Miao. Selama enam tahun, kebanyakan dari mereka meninggal karena penyiksaan yang mereka terima, sementara  kurang dari 100 dari mereka yang masih hidup, hingga kini masih menderita trauma baik secara fisik dan mental.

“Banyak korban tidak lagi secara fisik mampu membuat hidup Beberapa dari mereka juga memandang rendah oleh orang lain, terutama mereka yang tahu sedikit tentang penderitaan mereka,” kata Su.

Sebagai contoh, Huang Youliang (usia 88 tahun) adalah salah satu dari delapan dari perempuan penghibur asal Hainan. Dia telah lama memiliki penyakit rematik yang serius dan tidak bisa berjalan tanpa bantuan tongkat.

Sejak aktivitas Huang terbatas di tempat tidur dengan penyakitnya selama bertahun-tahun, ia menginginkan  permintaan maaf resmi dari pemerintah Jepang.

Ia bertutur kepada Su beberapa tahun lalu bahwa dia ditangkap tentara Jepang pada tahun 1941, dia ditangkap di wilayah otonom Lingshui tempat dia tinggal. Huang yang kala itu masih berusia 14 tahun  ditangkap oleh patroli tentara Jepang saat dia bekerja sendirian di sebuah peternakan.  Setelah diperkosa dan dipukuli di rumah bordil milik tentara Jepang setiap malam selama hampir tiga bulan, dia  menderita traumatis kekerasan seksual dan psikologis.  

"Mereka (tentara) hanya datang ke ‘rumah bordil’ dan menunggu dalam antrean memperkosa saya. Kini, saya tidak ingat berapa kali saya dianiaya setiap hari," kata Huang.

Dia menyebut tidak punya pilihan lain selain  tunduk ke tentara Jepang, atau tentara akan membunuh orang tuanya.

Pada bulan Juni tahun 1944, ia akhirnya lolos dari markas penyiksaan seksual tentara Jepang dengan berbohong bahwa dia harus buru-buru kembali untuk pemakaman ayahnya.

Huang dan keluarganya mencoba untuk menjalani hidup baru dengan pindah ke kota lain, Baoting yang berjarak lebih dari 100 km dari rumahnya. Tapi dia takut dia akan ditangkap kembali.

Putra bungsu Huang, Hu Yaqian, harus menghadapi caci maki di sekolah karena pengalaman ibunya sebagai perempuan penghibur. Keadaan ini masih berlangsung hingga hari ini.  

Kisah lain dituturkan Chen Yabian, mantan perempuan penghibur dari wilayah Lingshui, yang menderita enam kali keguguran sebelum memiliki anak satu-satunya.

Dia mengatakan bahwa selama bertahun-tahun ia menolak untuk mengatakan apa-apa kepada keluarganya tentang keadaannya saat tertawan sebagai perempuan penghibur dalam kurun waktu antara  1941 sampai dengan 1943.

"Saya sering terbangun dan menangis di malam hari," kata dia berurai air mata.

“Saya selalu sakit, secara fisik dan mental. Tidak ada yang bisa membantu saya menyembuhkan rasa sakit ini,” dia mengisahkan. (xinhuanet.com)

Ikuti berita kami di Facebook

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home