Loading...
ANALISIS
Penulis: Eugenia Mardanugraha 00:00 WIB | Senin, 22 Februari 2016

Upaya Jokowi-JK Turunkan Bunga: Intervensi Berlebihan?

Eugenia Mardanugraha (Foto: Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Suku bunga kredit perbankan di Indonesia dianggap terlalu tinggi oleh pemerintah. Dalam hal ini Presiden Joko Widodo dan secara lebih intens Wakil Presiden Jusuf Kalla, mengemukakannya kepada publik. Suku bunga yang dianggap cukup rendah adalah single digit atau di bawah 10 persen.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk dapat menurunkan suku bunga ini. Kredit Usaha Rakyat (KUR) disalurkan melalui bank BUMN pada tingkat suku bunga 9 persen. Pemerintah percaya bahwa penurunan suku bunga akan memutar roda perekonomian dengan lebih cepat, sehingga tingkat pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan akan segera tercapai.

Bagi bank, penurunan suku bunga tidak dapat dilakukan semudah itu. Bank mengelola risiko kredit yang sangat tinggi, selain itu biaya pengelolaan juga sangat tinggi, diantaranya ditunjukkan oleh gaji direksi dan manajer bank yang fantastis dan promosi yang menghabiskan uang tidak sedikit.

Struktur kepemilikan perbankan Indonesia terdiri dari: Bank Milik Pemerintah/BUMN (BRI, Mandiri, BNI, BTN), bank swasta nasional devisa (dapat melakukan transaksi valas dengan kepemilikan asing maksimum 99 persen), bank swasta nasional non devisa (tidak dapat melakukan transaksi valas), Bank Pembangunan Daerah/BPD (dimiliki oleh pemerintah daerah), Bank Asing (100 persen milik asing), dan Bank Campuran (patungan antara asing dan Indonesia). Indonesia juga memiliki Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Syariah yang tidak termasuk dalam struktur kepemilikan bank umum.

Pemerintah memiliki bank dengan tujuan agar bank tersebut dapat berperan sebagai agen pembangunan. Demikian pula halnya dengan pemerintah daerah, diharapkan BPD berperan sebagai agen pembangunan di daerahnya. Oleh karena itu bank BUMN terus menerus dikapitalisasi oleh pemerintah sehingga dapat menjadi market leader di Industri perbankan dalam negeri. Bahkan pemerintah Indonesia berambisi agar bank mandiri menjadi market leader di ASEAN.

Keputusan bisnis bank BUMN diharapkan diikuti oleh perbankan lainnya, sehingga seluruh tindakan perbankan dapat mengarah pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih tinggi, pada akhirnya membawa kemakmuran bagi rakyat.

Sayangnya persaingan usaha industri perbankan sangat ketat. Untuk menghimpun dana, bank harus menetapkan suku bunga tabungan/deposito yang lebih tinggi dibandingkan dengan bank lain. Apalagi pada zaman teknologi canggih ini dimana uang sudah tidak mengenal batas antarnegara, perbankan Indonesia harus menetapkan suku bunga deposito yang lebih tinggi dibandingkan dengan bank-bank di luar negeri, agar dana investor dari luar negeri masuk ke perbankan Indonesia.

Masyarakat Indonesia yang kebanyakan berusaha secara informal dan pengetahuannya mengenai sektor keuangan masih sangat minim, membuat risiko kredit perbankan menjadi tinggi. Tidak sedikit pelaku usaha mikro yang menganggap bahwa kredit KUR adalah pemberian tidak harus dikembalikan. Sifat konsumtif dan pengelolaan keuangan rumah tangga yang buruk membuat kredit konsumsi berisiko tinggi. Perbankan menjadi serba susah. Di satu pihak ditekan oleh pemerintah untuk menurunkan suku bunga kredit, di lain pihak memerlukan sumber dana besar serta harus harus mengelola risiko kredit yang tinggi.

Upaya terbaru yang diluncurkan pemerintah adalah menetapkan suku bunga deposito khusus bagi dana BUMN yang tersimpan di bank. Tidak jelas apakah ini berlaku untuk dana BUMN non bank yang tersimpan di bank, atau berlaku bagi suku bunga deposito bank-bank BUMN. Karena dana BUMN non bank bisa juga tersimpan di bank-bank non BUMN bahkan, dan saya yakin dalam jumlah yang lebih besar, tersimpan di perbankan luar negeri. Nampaknya kebijakan ini berlaku untuk BUMN non bank seperti Pertamina, Antam, dll yang menyimpan dana di bank karena perusahan-perusahaan tersebut didorong untuk tidak mengendapkan dananya di bank, tetapi digunakan untuk melakukan ekspansi.

Tidak jelas juga apakah kebijakan ini berlaku juga bagi institusi pemerintah lainnya seperti sekolah dan universitas negeri, yang juga memiliki dana simpanan tidak kecil, diturunkan suku bunga depositonya. Menurut Bambang P.S. Brodjonegoro, kebijakan ini berlaku untuk seluruh uang negara. Jika demikian bukan hanyadana APBN dan APBD saja, tetapi termasuk dana BUMN, BUMD, dan seluruh dana pada institusi pemerintah.

Kebijakan ini merupakan bentuk intervensi pemerintah terhadap bank dalam menjalankan kegiatan usahanya. Direksi dan manajer bank BUMN tidak perlu memutar otak untuk menetapkan tingkat suku bunga optimal untuk memaksimumkan profit bank. Tinggal mengikuti saja arahan dari pemerintah.

Hal ini menjadi mirip dengan sistem rezim nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dimana bank sentral tidak memiliki kewenangan untuk mengatur banyak sedikitnya uang beredar dalam suatu negara. Jika kebijakan ini benar terjadi, maka manajemen bank terikat dalam menjalankan bisnisnya, apalagi jika dana yang dikelola oleh bank BUMN sebagian besar adalah milik pemerintah juga. Lama kelamaan pemerintah yang nantinya harus mengatur setiap keputusan operasional, seperti besarnya gaji direksi, manajer bahkan sampai office boy. Dalam kondisi perekonomian dunia seperti sekarang ini, hal ini memperburuk bargaining power perbankan Indonesia pada tingkat persaingan internasional.

Adalah lebih baik jika upaya pemerintah menurunkan suku bunga perbankan diaplikasikan lewat suatu unit usaha non bisnis yang berada di bawah kementerian/lembaga khusus untuk tujuan ini. Konon masyarakat dapat meminjam langsung kepada Biro kredit Bank Indonesia. Lembaga yang seperti inilah yang perlu dihidupkan lagi. Kepada perbankan nasional tetap ditawarkan secara sukarela apakah bersedia memberikan mengelola sejumlah dana pemerintah yang ditetapkan oleh pemerintah (monopsony – konsumen yang menentukan harga). Jika tidak, maka pengelolaan dana dilakukan oleh lembaga khusus tersebut yang hanya menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah saja, tidak terlibat dalam bisnis uang.

Masyarakat luas juga dengan mudah dapat mengajukan kredit pada lembaga tersebut, sama mudahnya dengan akses ke bank. Jika lembaga ini terus berkembang, maka dapat menjadi katalisator dalam perekonomian, pada akhirnya mau tidak mau bank komersial menurunkan suku bunganya untuk bersaing dengan lembaga ini.

Bank-bank BUMN di Indonesia saat ini sudah terlanjur menjadi bank komersial yang mewah dan canggih, sehingga sulit dikembalikan kepada fungsinya menjadi agen pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi. Tidak mungkin direksi dan manajer bank-bank BUMN rela diturunkan gaji dan gaya hidupnya nya demi memperkecil net interest margin (NIM) dan profitabilitas bank. 

Eugenia Mardanugraha meraih gelar doktor di bidang ilmu ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, bekerja sebagai dosen Kebijakan Perbankan dan Lembaga Keuangan Magister Perencanaan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.

 

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home