Loading...
DUNIA
Penulis: Eben Ezer Siadari 08:42 WIB | Selasa, 26 Mei 2015

Wakil PM Irak Akui Rakyatnya Setengah Hati Melawan ISIS

Wakil Perdana Menteri Irak, Saleh al-Mutlaq (Foto:pukmedia.com)

ATLANTA, SATUHARAPAN.COM – Dalam sebuah wawancara dengan CNN, Wakil Perdana Menteri Irak, Saleh al-Mutlaq, mempertanyakan mengapa tentara Irak dengan cepat membiarkan kota Ramadi di Irak jatuh ke tangan kelompom ekstremis Negara ISlam Irak dan Suriah (ISIS). Padahal, pasukan itu sudah cukup lama dilatih oleh Amerika Serikat dan merupakan salah satu unit terbaik di ketentaraan Irak.

Berbicara kepada Frederik Pleitgen yang mewawancarainya, Mutlaq menyatakan ia terkejut dengan cara jatuhnya Ramadi ke tangan ISIS.

"Tidak jelas bagi kita mengapa unit tersebut, yang sudah dilatih oleh Amerika selama bertahun-tahun, dan seharusnya menjadi salah satu unit terbaik di tentara, menarik diri dari Ramadi sedemikian rupa," kata dia.

"Ini bukan tentara yang kita harapkan," kata dia.

Al-Mutlaq, seorang Sunni yang memimpin partainya sendiri dan sering mengeritik Perdana Menteri Irak, Haider al-Abadi, berbicara kepada CNN  sehari setelah kritik pedas bernada serupa diarahkan kepada militer Irak oleh Menteri Pertahanan AS Ash Carter.

"Mereka (tentara Irak) tidak kalah jumlah," kata Carter  kepada Barbara Starr dari CNN dalam sebuah wawancara eksklusif. "Bahkan, mereka jauh lebih banyak dari lawan mereka.  Namun mereka gagal untuk melawan. Mereka menarik diri dari arena."

"Dan ada yang mengatakan kepada saya, dan saya pikir bagi sebagian besar dari kita,  kita memiliki masalah dengan kehendak rakyat Irak."

Sementara itu Al-Abadi mengatakan kepada BBC pada hari Senin bahwa Carter "mendapat informasi yang salah."

Al-Mutlaq, di sisi lain, tampaknya menguatkan apa yang dikatakan menteri pertahanan AS yang menganggap warga Irak tidak melihat adanya masa depan bagi negara mereka.

"Jika mereka tidak melihat masa depan bagi mereka di Irak, saya tidak berpikir mereka akan melawan Daesh (ISIS), dengan cara yang kita inginkan. Akan ada beberapa pertempuran, tapi kita ingin tekad nyata, upaya nyata, seperti yang kita lihat pada tahun 2007, 2008, ketika mereka berjuang karena mereka berpikir mereka bisa memiliki masa depan."

Dengan mengatakan hal itu, Al-Mutlaq mengacu pada kebangkitan Sunni, di mana Sunni Irak, yang didukung oleh Amerika Serikat, bangkit melawan al Qaeda.  Gerakan perlawanan itu  dulunya dimulai di provinsi Anbar, yang beribukotakan Ramadi.

"Orang-orang Sunni, mereka tidak dengan ISIS, ini pasti."

Tapi "mereka tidak yakin jika mereka bisa melawan ISIS, dan jika mereka melawan ISIS, setelahnya apa? Sebeanrnya, ada banyak sekali kekhawatiran di kalangan mereka --dan di antara kita juga --  tentang apa yang akan terjadi setelah ISIS.

"Apa setelah itu? Apakah mereka akan tinggal di daerah yang akan dibangun kembali? Apakah akan ada rekonsiliasi? Apakah mereka akan dimasukkan dalam pemerintahan? Apakah  akan ada  pemerintah yang inklusif? Apakah akan menjadi rekonsiliasi nyata di negeri ini? Ini adalah tanda tanya kami. Tanpa menjawab mereka, maka akan sangat sulit untuk melihat akhir ISIS dalam waktu singkat. "

Ada harapan di antara Irak Sunni, al-Mutlaq mengatakan, bahwa al-Abadi akan menjadi pemimpin yang lebih inklusif dari pendahulunya, Nuri al-Maliki, yang telah banyak disalahkan karena menciptakan suasana sangat sektarian baik di dalam pemerintah dan negara pada umumnya .

"Orang-orang, mereka kehilangan harapan bahwa pemerintah yang nyata (dapat) menjalankan Irak dengan cara bahwa setiap warga Irak akan melihat dirinya memberikan kontribusi."

"Meskipun kita merasa bahwa niat Abadi baik, tapi apa yang kita lihat di lapangan sampai sekarang tidak cukup untuk meyakinkan kita bahwa hal-hal itu akan bekerja dengan cara yang tepat."

Misalnya, kata dia, meskipun ia adalah anggota dari pemerintah al-Abadi, Sunni masih absen dari aparat keamanan.

"Tanpa memiliki solusi politik untuk masalah di Irak, tanpa rekonsiliasi di negara itu, sisi militer pertempuran tidak bisa bekerja sendiri," katanya.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home