Loading...
SAINS
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 19:18 WIB | Senin, 15 September 2014

Walhi: Nelayan Indonesia Akan Kesulitan Hadapi MEA

Ketua KPU Husni Kamil Manik (tengah) dan jajarannya bersama dengan Direktur Walhi beserta jajarannya saat memberikan keterangan kepada awak media terkait dengan tujuan menyerahkan penghargaan kepada KPU. (Foto: Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Persoalan mendasar di sektor perikanan dan kelautan yang belum dituntaskan pemerintah akan membuat nelayan Indonesia kesulitan menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015.

"Persoalan mendasar menyangkut ruang kelola sekaligus ruang hidup masyarakat pesisir belum diselesaikan pemerintah sehingga nelayan akan sulit menghadapi MEA 2015," kata Manajer Kampanye Bidang Pesisir dan Kelautan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Edo Rakhman di Jakarta, Senin (15/9).

Ia mengatakan untuk kondisi saat ini, Indonesia seharusnya tidak terlalu terburu-buru untuk berkomitmen soal pasar bebas ASEAN 2015.

Tingkat kesejahteraan nelayan yang masih berada di bawah rata-rata akan sulit jika dipaksa bersaing di level MEA.

"Bagaimana mau bersaing kalau dari sisi pangan saja masih terbilang sulit untuk bisa mapan apalagi berdaulat," ucapnya.

Ia menyoroti peluang privatisasi wilayah pesisir oleh investasi asing dan dalam negeri yang dibuka luas oleh pemerintah.

Belum lagi soal praktek-praktek "illegal fishing" yang masih merajalela yang tidak didukung dengan penegakan hukum.

Edo menilai, Undang-undang No 1 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil justru membuka ruang penguasaan serta pemanfaan sumber daya perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil dengan lebel Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan.

Selain beberapa ketentuan pasal yang diubah, sedikitnya ada 7 pasal sisipan dan salah satunya adalah Pasal 26A yang secara substansi mempertegas peluang pemanfaatan pulau-pulau kecil oleh korporasi nasional maupun asing.

Akibatnya, ada sekitar 6.000 pulau tak berpenghuni yang tersebar di perairan di Indonesia yang berpeluang diprivatisasi. Sementara sejumlah korporasi berniat mengadopsi 20 pulau di Indonesia.

Dari catatan advokasi Walhi, penguasaan wilayah pesisir oleh korporasi dipastikan akan menggangu sumberdaya komunal masyarakat pesisir. Kebijakan yang tumpang tindih atas wilayah pesisir dan kelautan juga turut memperparah situasi.

Aksi protes masyarakat atas kehadiran perusahaan tambang pasir biji besi di wilayah pesisir terjadi di Provinsi Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jogyakarta.

"Bagaimana nelayan bisa bersaing di tingkat ASEAN sedangkan ruang kelola mereka atas perairan sudah digadaikan kepada korporasi," katanya.

Sebelumnya Direktur Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Saut Hutagalung mengatakan ada 8.000 tenaga penyuluh perikanan yang akan mensosialisasikan MEA kepada nelayan.

Ia mengatakan pengelolaan sumber daya kelautan yang disosialisasikan kepada nelayan mengacu pada konsep ekonomi biru atau "blue growth" yang mengedepankan keberlanjutan dan ramah lingkungan.

"Alat tangkap ilegal harus ditinggalkan karena konsep ekonomi biru intinya berkelanjutan atau lestari," kata dia menambahkan. (Ant)

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home