Loading...
HAM
Penulis: Sabar Subekti 16:01 WIB | Jumat, 22 Mei 2015

2015: Tahun Terburuk untuk Anak-anak

Utusan Khusus PBB untuk Pendidikan Global, Gordon Brown. (Foto: UN//Loey Felipe)

SATUHARAPAN.COM – Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memperingatkan bahwa tahun 2015 bukan tahun baik untuk anak-anak, tetapi tahun ketakutan, karena tingginya angka anak-anak yang berada dalam situasi darurat.

"2015 adalah tahun terburuk sejak tahun 1945 bagi anak-anak yang terlantar, tahun terburuk bagi anak-anak menjadi pengungsi, tahun terburuk bagi anak-anak yang melihat sekolah mereka diserang," kata Gordon Brown, Utusan Khusus PBB untuk Pendidikan Global, Kamis (21/5) di New York.

Dia menyebutkan meningkatnya jumlah perempuan dan anak laki-laki yang berisiko akibat konflik di Suriah, Turki, Lebanon, Yordania, Irak, Burundi, Sudan Selatan, Sudan, Nigeria dan juga bencana alam di Nepal.

Dia mengungkapkan setengah dari 38 juta pengungsi internal (IDP) yang merupakan rekor dunia adalah anak-anak. Sekitar 16,7 juta pengungsi di dunia adalah anak-anak.

Lebih dari 825.000 anak-anak diperdagangkan setiap tahun, dan 8,6 juta lainnya dalam perbudakan. Diperkirakan lima juta anak perempuan menikah sebelum usia 15 tahun lalu, dan sekitar 168 juta pekerja di dunia adalah anak, dengan 85 juta di antara mereka dalam pekerjaan yang berbahaya.

"Hari ini di beberapa tempat yang paling bermasalah di dunia itu merupakan ‘musim yang terbuka untuk pedagang’, dengan gadis-gadis yang diambil dari jalan-jalan di Nepal, remaja dipaksa menikah di Suriah, Lebanon, Turki dan Yordania," kata dia.

Brown mengatakan anak-anak adalah korban terbesar dari bencana, krisis dan konflik yang terjadi seperti yang dilihat di kalangan pengungsi Suriah di Yordania dan Libanon. Di Sudan Selatan, anak-anak menjadi tentara.

Di Nepal, gadis-gadis yang kehilangan tempat tinggal akibat gempa berada pada risiko pedagang manusia. ‘’Pekan ini radio pemerintah Nepal mengkonfirmasikan apa yang sudah kita ketahui," kata utusan itu. Setengah juta anak perempuan Nepal sekarang di jalan-jalan, dan orangtua harus berhati-hati terhadap geng yang mencoba merekrut mereka untuk keluar negeri.

Dia mengatakan bahwa jawaban atas masalah itu terbaik adalah pendidikan, mengembalikan harapan mereka melalui sekolah. "Tidak hanya menawarkan sekolah kesempatan dan tempat yang aman," katanya. "Ini mengembalikan harapan anak-anak untuk merencanakan masa depan yang lebih baik."

Dia menunjuk sebuah "rencana berani" yang diusulkan oleh PBB bersama pemerintah dan mitra internasional Lebanon untuk membantu 500.000 anak Suriah kembali ke sekolah, dengan menyediakan dana US$ 500 (sekitar Rp 6,5 juta) per anak.

"Bukti menunjukkan bahwa ketika anak perempuan di sekolah, pernikahan anak dan kekerasan terhadap anak secara dramatis berkurang," katanya. "Sayangnya, hanya satu persen dari anggaran kemanusiaan digunakan untuk membawa mereka ke sekolah."


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home