Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 11:03 WIB | Selasa, 05 Juli 2016

2016: Ramadhan Paling Berdarah?

SATUHARAPAN.COM – Sebuah artikel yang dimuat di situs berita Al Arabiya hari Senin (4/7) berjudul: Has Ramadan 2016 been one of the bloodliest in moderen history? (Ramadhan 2016 salah satu yang paling berdarah dalam sejarah moderen?) yang ditulis oleh Sigurd Neubauer dari The Arab Gulf State Institute di Washington Amerika Serikat.

Tulisan itu mengambarkan bagaiman selama bulan Ramadhan ini justru terjadi serangan teroris yang terjadi di banyak negara, sementara letusan senjata dan ledakan bom terus terjadi di negara-negara konflik, setidaknya di Irak dan Suriah.

Serangan Bom bunuh diri terjadi sejak awal Ramadhan, dimulai di perbatasan Jordania dengan Suriah pada 4 Juni dengan menargetkan militer negara itu, tujuh anggota militer tewas. Kemudian disusul serangan di sebuah kelab malam di Orlando, Amerika Serikat pada 12 Juni, 49 orang meninggal.

Pada 14 Juni komandan polisi di Prancis dibunuh, dan pada 27 Juni serangan bom bunuh diri di beberapa tempat di kota dengan penduduk mayoritas Kristen, Qaa, Lebanon, menewaskan lima orang. Sehari kemudian serangan bom yang besar di bandar udara Ataturk, Istanbul, Turki, menewaskan 49 orang.

Serangan yang menggambarkan kebrutalan terjadi di Dhaka, Bangladesh, pada 1 Juli memakan korban meninggal 22 orang, dan disusul serangan lebih mengerikan di Baghdad, Irak yang diperkirakan membunuh lebih dari 200 orang.

Sehari menjelang akhir Ramadhan serangan di beberapa tempat di Arab Saudi, bahkan di dekat masjid Nabawi di Madinah dengan tiga pelakunya tewas. Dan pagi hari Selasa (5/7) Indonesia juga dikejutkan dengan ledakan di kantor Mapolesta Solo, Jawa tengah, korbannya adalah pelaku serangan.

Menjangkau Para Penghasut

Serangan itu sebagian diklaim dilakukan oleh kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (NNIS atau ISIS), namun sejumlah serangan diyakini oleh kelompok radikal setempat, dan yang lain belum jelas siapa pelakunya dan dari kelompok mana.

Serangan ini, bahkan sampai mendekati wilayah paling disucikan oleh umat Muslim, masjid Nabawi di Madinah. Perkembangan ini mendorong Mufti Besar Mesir, Shawki Ibrahim, menyatakan dengan keras bahwa pemimpin agama yang menganjurkan radikalisme sebagi tidak layak disebut sebagai ulama Islam. Dia mengindikasikan sumber radikalisme justru pada lingkaran pemimpin agama.

Sejauh ini serangan teror ditolak oleh para ulama Muslim di seluruh dunia, Abubakr Al Baghdadi yang mengkalim sebagai kepala khalifah pun ditolak sebagai Muslim. Namun serangan ini memang sangat jelas mencerminkan akar radikalisme sektarian. Pernyataan Shawki Ibrahim mencerminkan bahwa masalah yang paling mendasar adalah masih banyak pemimpin agama yang menanamkan benih radikalisme di kalangan anak muda.

Kasus di Indonesia, radikalisme dalam aksi yang mematikan, maupun aksi yang menyerang secara sosial dalam tindakan intoleransi pada kelompok penganut keyakinan lain, juga masih bersumber pada leluasanya para penghasut tersebut.

Sejauh ini, baik di beberapa negara maupun di Indonesia, masalah terorisme terus merundung keamanan masyarakat, karena pemerintah dan hukum belum menjangkau para penghasut ini. Keleluasaan para penghasut ini yang membuat benih kebencian tumbuh menjadi tindakan intolerasi, dan kemudian menjadi ledakan tindakan yang mematikan. Namun tindakan hanya dilakukan ketika radikalisme diekspresikan dalam tindakan mematikan.

Hasutan yang diduga terkait serangan terpisah di berbagai negara diduga bersumber dari juru bicara ISIS, Abu Muhammad Al-Adnani, yang menyebut Ramadhan sebagai bulan penaklukan dan jihad, dan mengajak menjadikannya bencana di mana-mana. Namun masalahnya adalah bagaimana hasutan ini dibiarkan disampaikan dan ditanamkan oleh penghasut lokal.

Para penghasut ini yang disebut-sebut gigih menyebarkan glorifikasi atas serangan mematikan yang justru dikutuk di seluruh dunia. Oleh karena itu, menjangkau dengan tegas para penghasut ini menjadi titik masuk penting melawan terorisme.

Mensyukuri Keindonesiaan

Mencatat serangan-serangan mematikan di sejumlah negara, yang membuat bulan Ramadhan  bersimbah darah, berlinang air mata dan kedukaan, situasi di Indonesia, negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, patut disyukuri. Ledakan di Solo, diharapkan tidak mengurangi rasa syukur pada bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri tahun ini.

Satu bulan umat Muslim berpuasa, ibadah yang juga bermakna pengendalian diri, dan membangun relasi yang makin dekat dan makin baik dengan Allah, Sang Khalik. Juga membangun relasi dengan sesama yang ditandai antara lain dengan berzakat bagi yang kurang mampu. Spirit ini juga tercermin pada antusiasme mengunjungi keluarga, sekalipun di tempat yang jauh.

Situasi ini patut disyukuri karena keindonesiaan kita yang dilandasi tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang equal dan didominasi sikap saling menghargai bagi seluruh warga. Landasan ini dan implementasinya merupakan titik perbedaan dibanding negara-negara yang dirundung konflik sektarian yang kronis dan mematikan.

Sejauh ini situasi di Indonesia selama bulan Ramadhan patut disyukuri, bahkan bukan hanya oleh umat Muslim, tetapi oleh seluruh warga bangsa. Dan besok pagi, hari Rabu (6/7) seluruh umat Muslim Indonesia akan mengikuti shalat Ied. Kita berharap situasi ini tidak dinodai oleh kekejian seperti sederetan serangan teror itu.

Ramadhan tahun ini yang secara global mungkin bisa disebut yang paling berdarah dalam sejarah moderen, namun bagi bangsa Indonesia tahun ini termasuk yang paling aman. Maka hikmah terbesar dari Ramadhan ini adalah bagaimana menciptakan setiap momen religi menjadi rahmatan lil alamin. Menanamkan perilaku saling menghargai dan saling menolong di antara warga bangsa, dengan tidak memberi ruang tumbuh benih kebencian dan radikalisme atas dasar keyakinan, ras dan golongan.

Selamat merayakan Idul Fitri 1437 Hijriah, semoga meraih fitrah sebagai manusia yang mulia di hadapan Allah, Sang Khalik, dan mulia bagi sesama. Jajaran redaksi satuharapan.com memohon maaf lahir dan batin, jika dalam layanan kami terjadi kesalahan.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home