Loading...
SAINS
Penulis: Sotyati 16:09 WIB | Jumat, 12 September 2014

210 Telaga di Gunung Kidul Alami Kekeringan

Telaga Kemuning di Desa Bunder, Kecamatan Patuk, Gunung Kidul, diresmikan Juni 2012, jadi wisata air andalan. (Foto: yogyakarta.panduanwisata.com)

GUNUNG KIDUL, SATUHARAPAN.COM - Sebanyak 210 telaga di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, kekeringan akibat kemarau. Kini hanya 70 di antaranya yang masih bisa mencukupi kebutuhan masyarakat.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Gunung Kidul Syarief Armunanto di Gunung Kidul, Jumat (12/9), mengatakan hanya ada 70 telaga yang masih bisa digunakan saat musim kemarau panjang.

Persebaran telaga di Gunung Kidul terdapat di 10 kecamatan, yakni Paliyan 10, Saptosari 21, Purwosari 31, Panggang 22, Tepus 32, Tanjungsari 27, Semanu 42, Ponjong 21, Rongkop 48, dan Girisubo 27.

Kurangnya daya tampung telaga pada musim kemarau disebabkan antara lain sedimentasi dan penguapan yang sangat tinggi pada musim kemarau. "Karakteristik telaga berbeda-beda. Kemampuan telaga untuk menampung curah hujan dalam jumlah cukup dapat mengimbangi kekurangan air pada musim kemarau, yang dapat diakibatkan oleh kondisi alami maupun manusia," kata Syarif.

Ia mengatakan ada 232 telaga yang mengalami pendangkalan akibat lumpur dan tanah. Upaya yang dilakukan untuk membuat telaga lebih awet dalam menampung air hujan pernah dilakukan di telaga Monggol, Saptosari, namun gagal karena air tidak bisa bertahan lama. "Sebanyak 90 persen telaga mengalami pendangkalan akibat lumpur," katanya.

Pihaknya akan melakukan pengembangan telaga yang digunakan khusus untuk air minum di wilayah pesisir selatan Gunung Kidul. Pengembangan itu digunakan untuk mengatasi kekeringan. "Tidak digunakan untuk pertanian dan mencuci, hanya khusus digunakan untuk air minum," kata dia.

Sementara itu, Wakil Bupati Gunung Kidul Immawan Wahyudi mengatakan harus ada kearifan lokal untuk membangun telaga. Sebab, masyarakat sudah mengetahui bagaimana karakteristik telaga yang sudah turun temurun digunakan, "Pembangunan telaga harus melibatkan masyarakat lokal, jadi mengetahui kondisi telaga,” kata Immawan.

Harus ada transfer pengetahuan dari pemerintah kepada masyarakat, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam melakukan revitalisasi telaga yang menyebabkan air surut pascapembangunan. "Jadi tidak akan ada cerita telaga airnya hilang setelah dibangun," katanya.(Ant)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home