Loading...
OPINI
Penulis: Beril Huliselan 00:00 WIB | Kamis, 04 Juni 2015

65 Tahun PGI: Apanya yang Mandek?

SATUHARAPAN.COM – Tema HUT PGI ke-65, yaitu “Keesaan Gereja dalam Aksi: Keluar dari Kemandekan Gerakan Ekumene”, dapat menimbulkan perdebatan mengenai “apa yang dimaksud dengan mandek?”, lalu “di mana letak kemandekan tersebut”. Saya yakin, tidak sedikit orang yang menolak anggapan bahwa gerakan ekumene mandek. 

Di satu sisi, saya sepakat bahwa gerakan ekumene tidak sepenuhnya mandek; dalam arti berhenti total, tidak ada pergerakan, dan karenanya tidak memperlihatkan progress sama sekali. Lihat saja peran PGI sebagai ecumenical meeting point di tengah keberadaan gereja-gereja yang terpisah secara geografis dengan basis identitas (etnis, teritori dan garis denominasi) yang berbeda-beda. Rasanya sulit dibayangkan bahwa di tengah-tengah kemajemukan yang begitu rumit di Indonesia, gereja-gereja bisa bertemu dalam satu meja ekumenis baik di tingkat wilayah maupun nasional. Dan lihat saja, begitu banyak isu yang digumuli oleh gereja-gereja – dengan sejumlah rekomendasi yang telah dihasilkan – dalam rangka misi bersama (common mission) bagi gereja-gereja di Indonesia. 

Kita juga bisa mencatat bagaimana PGI mendorong gereja-gereja keluar dari ghetto-nya (isolated area) untuk saling terhubung satu dengan lain dalam membaca Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah pelayanan. Dan karena itu, setiap gereja memandang gereja lain sebagai bagian integral dari the whole church of Christ di mana saling mendukung (daya, dana dan teologi) dalam rangka misi menjadi gerak bersama. Bukankan ini merupakan anugerah, sekaligus memperlihatkan adanya harapan dalam gerakan ekumenis di Indonesia. Bahkan, ada sejumlah aktivitas yang dilaksanakan baik oleh badan-badan pelayanan sinode maupun lembaga-lembaga lintas gereja dalam rangka advokasi isu-isu keadilan dan lingkungan hidup. 

Beberapa catatan di atas membuat saya, di satu sisi, meyakini bahwa gerakan ekumenis di Indonesia tidak sepenuhnya mandek. Namun di sisi lain, saya juga menyakini bahwa memang ada kemandekan dalam arak-arakan ekumenis di Indonesia. Dalam artian, tidak ada progress lebih lanjut. Betul ada progress, tapi seperti mentok pada titik tertentu. 

 

Kemacetan tingkat lokal?

Ada sejumlah catatan penting yang bisa dirujuk dalam penelitian Biro Litkom PGI tahun 2013 mengenai potret dan tantangan gerakan ekumenis yang baru saja diterbitkan (BPK Gunung Mulia, 2015). Namun, dalam tulisan ini, saya hanya ingin memotret kemandekan dengan mengambil titik berangkat dari kemacetan wadah-wadah lintas gereja dalam mengelola meja ekumenis di berbagai level. Bagi penulis, kemacetan wadah-wadah lintas gereja bukan sekedar masalah teknis. Namun, menggambarkan semakin melemahnya common life in Christ yang seharusnya menjadi nafas gerakan ekumenis. Ini seperti memukul kesadaran kita sebagai gereja (koinonia) dalam arak-arakan ekumenis. Apabila demikian, lalu di mana letak kemandekan tersebut?

Pertama, lemahnya peran wadah-wadah lintas gereja untuk mendorog konvergensi teologi sehingga berakibat menguatnya kesenjangan antargereja. Ini terjadi baik di level lokal maupun nasional. Kondisi ini diperparah dengan pengentalan proses institusionalisasi dalam kehidupan gereja-gereja sehingga masing-masing gereja akhirnya berusaha mengamankan “pekarangannya” – sebagai buntut kesenjangan teologi – dengan menggunakan “palu” institusi. Wadah-wadah ekumenis tampaknya kesulitan menembus kemandekan tersebut.

Kedua, ketidakmampuan wadah-wadah lintas gereja memperdalam dan memperkuat kesadaran akan satu wilayah pelayanan. Hal ini membuat konflik-konflik berbasis identitas (tumpang tindihnya rasa etnis, teritori dan garis denominasi) tidak sanggup dikelola dalam meja ekumenis di berbagai level. Gereja-gereja seperti “bertarung” untuk memperluas wilayah pelayanannya dan berkontribusi negatif terhadap penguatan meja ekumenis di tingkat lokal. 

Ketiga, wadah-wadah lintas gereja – sebagaimana mencuat dalam laporan penelitian Biro Litkom PGI – tampak memiliki peran yang lemah di wilayah jejaring kerja dan penguatan meja ekumenis dalam konteks misi bersama di tingkat lokal. Ini memperlemah kemampuan gereja-gereja untuk menggumuli secara bersama-sama tantangan maupun friksi yang terjadi di wilayah kehadiran mereka. 

Keempat, keterbatasan wadah-wadah lintas gereja untuk menangkap ataupun menggerakan inisiatif ekumenis di tingkat jemaat. Kita bisa melihat bagaimana jemaat-jemaat di berbagai lokasi hidup tanpa meja ekumenis di lokasi tersebut; dalam rangka menggumuli common life in Christ. Kalaupun ada, biasanya karena ada persoalan kerusuhan atau penutupan gereja; itu pun tidak bertahan lama. Ini memukul salah satu kesadaran di dalam gerakan ekumenis bahwa batu uji gerakan ekumenis sesungguhnya berada di tingkat lokal. 

Kelima, badan-badan pelayanan sinode maupun wadah yang bergerak lintas gereja – termasuk yang digerakan oleh individu-indvidu – kadang terlihat sibuk dengan programnya masing-masing, tetapi landscape ekumenis tetap crowded. Artinya, kesibukan wadah-wadah tersebut (seperti dalam isu keadilan dan lingkungan) tidak menghasilkan kontribusi positif terhadap penguatan meja ekumenis di berbagai level; masing-masing seperti berusaha mengamankan program dan akses dananya sendiri-sendiri. Terkadang, muncul kegiatan-kegiatan yang didanai lembaga dari luar negeri, namun berlangsung tanpa partnership dengan wadah ekumenis di level nasional sampai level lokal. 

Akibatnya, ecumenical partnership melemah di berbagai level dan kita semakin bingung dengan  arsitektur ekumenis yang ada. Kita juga, sejauh yang penulis ketahui, tidak memiliki guiding principles dalam ecumenical partnership. Padahal, ecumenical partnership menggambarkan keyakinan bahwa gereja-gereja, dan berbagai wadah lintas gereja, berada dalam gerakan ekumenis yang satu (the one ecumenical movement). Selain itu, melemahnya ecumenical partnership menunjukan melemahnya kesadaran kita sebagai koinonia (persekutuan Allah dengan seluruh ciptaan) dalam gerakan ekumenis.

Keenam, di tengah-tengah medan ekumenis yang semakin kompleks, PGI sepertinya tetap bergerak dengan model old structure; model di mana konvergensi di wilayah teologi, misi dan liturgi cenderung bertumpu pada struktur tunggal. Model seperti ini membuat banyak gereja, khususnya yang tidak atau kesulitan menjadi anggota PGI, merasa seperti terpinggir (tidak menjadi subjek) dalam gerakan ekumenis yang digumuli oleh PGI. Hal ini pada gilirannya akan menjadi bumerang terhadap PGI mengingat resistensi yang ditimbulkan oleh model old structure tersebut. Tentu, dalam konteks tantangan di wilayah ecumenical structure, PGI berperan dalam melahirkan wadah seperti Forum Umat Kristiani Indonesia (FUKRI). Namun, wadah tersebut kenyataannya tidak efektif (mandek). Akibatnya, gerakan ekumenis yang didorong oleh lalu PGI seperti mentok (mandek) pada model old structure.

Dalam konteks ini, ungkapan “Keluar dari Kemandekan Gerakan Ekumene” dapat dibaca juga sebagai tantangan kepada gereja-gereja untuk menemukan kembali kesadaran  akan the whole church of Christ yang teraktikulasi dalam penguatan wadah-wadah ekumenis di berbagai level, khususnya di level lokal. Hal ini mengingat ujian terhadap berbagai agenda dan program gerakan ekumenis jsutru berada di level lokal. Dan karena itu, penguatan partnership menjadi penting di mana gereja-gereja semakin memperdalam panggilan bersamanya dalam satu kesatuan wilayah pelayanan.

 

Penulis adalah staf Komisi Pengkajian Teologi GKI

 

BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home