Loading...
BUDAYA
Penulis: Francisca Christy Rosana 21:26 WIB | Jumat, 21 November 2014

Ada Apa dengan Budaya ‘Nonton’ di Indonesia?

“Orang lebih mikir untuk beli pulsa daripada beli tiket. Film sekarang ini sudah terkontaminasi dengan industri.”
Totot Indrarto, Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta pada Jumat (21/11) siang. (Foto: Francisca Christy Rosana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Budaya menonton film di Indonesia diakui Totot Indrarto, Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tengah mengalami degradasi.

“Penonton film Indonesia beberapa tahun lalu hampir 16 jt, turun lagi 13 jt, tahun ini tidak lebih dari 10jt,” ujar Totot di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta pada Jumat (21/11) siang.

Padahal pada 1970 hingga 1980, jumlah penonton film di bioskop Indonesia yang jumlahnya hampir 3000 penonton bisa tembus sekitar 120 juta orang penonton dalam satu tahun.

“Karena satu orang bisa menonton 3 – 4 kali. Itu yang namanya budaya menonton,”ujarnya.

Diakui Totot, sekarang pemutaran film bisa mendapat 20.000 penonton saja sudah masuk kriteria baik. Ada berbagai faktor yang menyebabkan budaya nonton ini kemudian memudar, di antaranya karena penonton yang homogen, kualitas film yang memburuk, dan kriteria film sebagai produk industri.

Penonton Homogen

Riset terakhir yang diterima oleh DKJ, penonton film tertinggi berada pada rentang usia SMP, SMA, dan mahasiswa.

“Ketika orang sudah menikah dan punya anak, orang sudah tidak lagi ke bioskop. Orang ke bioskop kalau ada film-film tertentu. Ini yang menyebabkan penonton bioskop saat ini homogen,” juar ketua komite film ini.

Penonton yang homogen menyebabkan film hanya dinikmati oleh kalangan tertentu dan akhirnya tidak mampu merangkul masyarakat secara keseluruhan. Film-film yang beredar, khusunya di Indonesia pun kini semakin fokus pada hal-hal yang mikro, yang hanya memproduksi cerita sesuai target pasarnya. Film bertema roman picisan, misalnya. Tema yang diangkat dari kacamata penikmat yang homogen ini akhirnya menciptakan film-film yang stereotipe, yang kadangkala kualitasnya diragukan.

Terkontaminasi Industri

Masuknya film sebagai produk budaya ke ranah industri ternyata justru menyebabkan budaya nonton di Indonesia ini melemah.

“Semua kegiatan film ini sekarang dilakukan dan dipersepsi sebagai kegiatan di bioskop-bioskop komersial dengan harga yang semakin hari semakin tinggi,” ujar Totot.

Menurutnya, harga yang harus dibayar untuk sekali nonton ini tidak dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

“Orang lebih mikir untuk beli pulsa daripada beli tiket. Film sekarang ini sudah terkontaminasi dengan industri,” katanya.

Film, menurut Totot haruslah dipandang sebagai produk kebudayaan. Jika film ditempatkan  dalam payung ekonomi kreatif, film akan dipandang sebagai bisnis. Sementara, di banyak negara yang maju, termasuk Prancis, film dianggap sebagai produk kebudayaan,” Totot menambahkan.

Di negara maju seperti Prancis, film menjadi sangat berkembang karena lembaga yang memayungi dipertahankan dengan kuat.

“Prancis ketika hacur karena perang dunia kedua, yang dipertahankan pertama kali adalah lembaga bahasa dan lembaga film karena mereka menganggap bahasa dan film adalah alat pertahanan budaya. Sementara Indonesia pada saat persamaan saat orde baru film masuk ke penerangan sehingga masyarakat langsung melihat film sebagai alat propaganda,” Totot menjelaskan.

Film, dipandang Totot akan lebih berkembang jika dinaungi oleh bidang kebudayaan.

“Sementara aspek bisnisnya ditangani oleh perdagangan, pajak, dan segala macam. Kalau kita berada di bawah ekonomi kreatif, kita bicara soal angka dan segala macamnya padahal film adalah produk kebudayaan,” kata Totot.

 

Film Mewujudkan Jakarta yang Sehat

Menikmati film dan kesenian yang lain, kata Totot adalah budaya yang sehat.

“Film di dalamnya terkandung banyak hal, ada kebudayaan, hiburan, pendidikan, dan lain-lain. Itu yang tidak ada saat ini dan hanya ada di masyarakat 70-90an. Sekarang hanya sedikit yang seperti itu,” ujarnya. Untuk itulah, tugas DKJ kini fokus mendukung film-film nonkomersial supaya tumbuh dan nantinya dapat mengakar di masyarakat.

DKJ yang pada awalnya dibangun oleh Ali Sadikin bertujuan membuat kota Jakarta sebagai kota yang sehat.

“Kota yang sehat adalah kota yang menyediakan segala macam bentuk kesenian, tapi juga harus ada kesenian yang baik. Tugas DKJ adalah menyeimbangkan supaya Jakarta menjadi kota yang sehat,” Totot memungkasi. 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home