Loading...
EKONOMI
Penulis: Ignatius Dwiana 00:50 WIB | Senin, 16 Desember 2013

AJI Indonesia: Frekuensi Publik Bukan Milik Partai Politik

Logo AJI Indonesia.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pelbagai praktik pelanggaran dilakukan sejumlah stasiun televisi, terkait siaran politik. Baik dalam bentuk karya jurnalistik maupun non-jurnalistik. Hal ini disampaikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia di Jakarta dalam pernyataan pers pada hari Minggu (15/12).

Praktik pelanggaran dalam bentuk karya jurnalistik muncul melalui program berita, program khusus hingga siaran langsung di lembaga penyiaran yang dimiliki pengusaha yang khususnya berafilisasi ke partai politik. Program non-jurnalistik sangat mencolok dengan iklan-iklan di sejumlah televisi yang hampir setiap saat  mempromosikan calon presiden dan partai milik pemiliknya. Sedikitnya, enam lembaga penyiaran dinilai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak proporsional dalam penyiaran karena berlebihan menayangkan iklan politik dan mengandung unsur kampanye. Enam lembaga penyiaran itu adalah RCTI, MNC TV, Global TV, ANTV, TV One, dan Metro TV.

Pelanggaran RCTI

Beragam pelanggaran di lembaga penyiaran publik seakan tidak pernah berhenti. Masyarakat tidak melihat negara hadir untuk melindungi ranah publik sejak peristiwa rapat politikus yang merencanakan penggunaan frekuensi RCTI dan Indovision, bocor di media sosial pada Mei 2013 lalu. Sebaliknya, dalam periode tujuh bulan terakhir, kondisinya tak beringsut karena pidato-pidato sepihak, siaran hajatan partai tertentu, iklan politik, bahkan kampanye berkedok kuis, memenuhi langit penyiaran Indonesia.

Kasus terakhir adalah dugaan rekayasa sebuah kuis yang ditayangkan RCTI pada 7 Desember 2013 pukul 09.00 WIB, yang kemudian dikenal dengan episode ‘Istana Maimun’ dan ‘MT Haryono’. Cuplikan tayangan tersebut belakangan diblok dengan dalih hak cipta, meski masyarakat merekamnya dari tayangan di ranah terestrial (free to air).

Kuis ini menampilkan inisial dan motto pasangan capres dari partai tertentu, serta memasang para calon anggota legislatifnya sebagai pembaca soal atau tim pemandu acara. Kuis ini lalu memberikan iming-iming hadiah bagi masyarakat dengan memasang nomor telepon yang bisa dihubungi secara langsung (live) di layar kaca. Tapi yang terjadi kemudian, ternyata pihak penyelenggara sudah punya calon pemenang, yang dalam kasus episode ‘Istana Maimun’ maupun ‘MT Haryono’ memberikan jawaban mendahului pertanyaan kuisnya.

Di sinilah jutaan penelepon yang berharap bisa beruntung tersambung dan menjawab pertanyaan (serta mendapat hadiah), mestinya merasa dibohongi dan dirugikan. Sama sekali tidak ada informasi ihwal penelepon sudah terdaftar sebelumnya. Lagipula proses pemilihan calon peserta kuis tidak dapat diikuti oleh penonton di layar, sebagaimana kuis-kuis lain sebelumnya, di mana komputer mengacak nomor telepon penonton, dan calon peserta dihubungi saat itu juga: baik yang teleponnnya sedang aktif atau tidak. Baik sedang menonton televisi atau tidak.

Indikasi memanfaatkan frekuensi publik secara sistematis untuk kepentingan politik, juga didapati di program jurnalistik dan bantuan kemanusiaan. Salah satu contohnya adalah apa yang direkam oleh masyarakat dan diunggah ke media sosial pada 10 Desember 2013, dan menjadi perbincangan umum bersamaan dengan kasus kuis.

Sebuah cuplikan berita program Seputar Indonesia Pagi di RCTI tanggal 8 Desember 2013 menunjukkan gambar pemberian bantuan RCTI Peduli untuk pengungsi Gunung Sinabung di Sumatra Utara. Bersamaan dengan itu, ditayangkan juga kardus-kardus bantuan dengan stiker pasangan capres dari partai tertentu.

Bagi masyarakat, kemunculan gambar ini bermakna dua. Pertama, redaksi berusaha jujur mengabarkan adanya kegiatan politik dalam pemberian bantuan kemanusiaan RCTI Peduli, atau redaksi adalah bagian dari sosialisasi kegiatan politik di tengah bencana itu.

Dalam Kasus Kuis Kebangsaan, Pedoman Perilaku Penyiaran 2012 Pasal 49 telah ditetapkan KPI tentang peraturan program kuis. Di antaranya mendapatkan izin lembaga yang berwenang, aturan main kuis jelas, lengkap, dan terbuka, serta dilarang mengandung unsur penipuan dan perjudian.

Dalam Kasus Bantuan Pengungsi Sinabung, Pedoman Perilaku Penyiaran pasal 48 juga telah mengatur tentang penggalangan dana dan bantuan. Di antaranya dana yang dikumpulkan dari masyarakat tidak boleh diakui sebagai dana lembaga penyiaran ketika diserahkan dan hasil kegiatan penggalangan dana kemanusiaan atau bencana yang dilakukan lembaga penyiaran wajib dipertanggungjawabhkan kepada publik secara transparan setelah diaudit.

Pelanggaran lembaga penyiaran publik ini tidak hanya dilakukan televisi di bawah MNC Group.

Pelanggaran ANTV dan tvOne

Data KPI menunjukkan bahwa sepanjang Oktober 2013 saja, terdapat iklan Aburizal Bakrie (ARB) hingga 430 spot. Itu mencakup iklan ARB dengan atribut Golkar di ANTV dan tvOne.

Data sampel selama 12 hari bulan November 2013 menunjukkan terdapat 128 spot iklan.

Iklan ini adalah pelanggaran Standar Program Siaran Pasal 11 Ayat 2 bahwa program siaran dilarang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran bersangkutan dan atau kelompoknya.

Pelanggaran MetroTV

MetroTV pada 11 November 2013 pukul 11.01 WIB menayangkan kegiatan pelantikan fungsionaris Partai Nasdem Kota Malang dan Kota Batu, Jawa Timur serta pidato sambutan Surya Paloh selama 3.43 menit. Berdasar data KPI, penayangan program sejenis yang memuat kegiatan Partai Nasdem dan pidato Surya Paloh sebagai Ketua Umum, juga banyak ditemui dalam pelbagai program pemberitaan dengan durasi selama 3 - 6 menit.

Tuntutan AJI Indonesia

Berkaitan pelanggaran etika politik maupun norma-norma dalam dunia penyiaran yang juga dilakukan oleh televisi-televisi lain, AJI Indonesia menyatakan menggugat penyalahgunaan frekuensi publik untuk kepentingan-kepentingan partisan. Baik kegiatan politik maupun kepentigan lain di luar aturan yang telah ditetapkan.

AJI Indonesia mendesak KPI lebih proaktif mengawasi dan menindak lembaga penyiaran yang dinilai melanggar sebagaimana rilis yang telah dikeluarkan KPI tentang adanya enam stasiun televisi yang menyalahgunakan domain publik untuk kepentingan politik praktis.

AJI Indonesia mendesak Dewan Pers mengusut dugaan pelanggaran etika pemberitaan yang dilakukan media penyiaran. Para jurnalis dan profesional praktisi media didesak kembali pada hakikat jurnalisme yang melayani kepentingan publik, dan tidak semata-mata melayani kepentingan kekuasaan.

AJI Indonesia juga mengimbau para jurnalis dan para pekerja media, agar tidak segan-segan menjadi mata dan telinga mewakili publik, dan meningkatkan kualitas jurnalistik dan dunia penyiaran yang lebih baik di masa depan.

AJI Indonesia juga mendesak pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika yang memiliki wewenang untuk mengevaluasi pemanfaatan frekuensi televisi setiap 10 tahun sekali agar tidak segan-segan mengambil tindakan tegas bagi lembaga siaran yang melanggar.

 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home