Loading...
INSPIRASI
Penulis: Yustinus Yuniarto 01:00 WIB | Selasa, 16 Desember 2014

Aku dan "Aku"

Aku adalah jiwa dan raga yang sedang di sini dan di saat ini. Namun, di sana dan di saat ini ada ”aku” lain yang berbeda kondisi.
Foto: istimewa

SATUHARAPAN.COM – Suka atau tidak, hidup ini memiliki sisi ironis. Siang itu saya sedang di kantin untuk makan siang. Di kantin tersebut disediakan televisi ukuran besar agar bisa ditonton ketika pengunjung sedang melahap makanan. Di televisi ditayangkan berita tentang wawancara seorang bapak yang putri semata wayangnya menjadi korban penculikan dan pembunuhan. Si Bapak terlihat sedih dalam wawancara. Dia kecewa karena pengadilan ternyata hanya memberikan vonis 15 tahun bagi para pembunuh anaknya. ”Saya tidak berharap hukuman mati bagi mereka. Bagaimanapun anak saya tidak akan kembali ke saya. Namun, saya hanya berharap hukuman yang setimpal bagi Si Pelaku,” demikian Si Bapak pernah berharap..

Di tayangan tersebut terlihat sekali wajah sedih Si Bapak. Sementara di kantin, beragam macam kegiatan sedang berlangsung. Ada yang sedang memakan bakso dengan lahapnya tanpa memerhatikan isi televise; ada yang sedang asyik bercanda dengan temannya; ada yang memerhatikan televise, namun tidak terlalu jelas ekspresinya; tetapi ada juga yang terlihat empati dengan berita tersebut.

Hidup memang penuh ironis dan kontradiksi. Saat kita sedang menyantap makan pagi, di tempat lain ada orang yang sudah dua hari tidak makan. Ketika kita sedang merayakan ulang tahun dengan gembiranya, di tempat lain ada yang sedang berduka karena kehilangan orang yang dicintainya.

Aku adalah jiwa dan raga yang sedang di sini dan di saat ini. Namun,  di sana dan di saat ini ada ”aku” lain yang berbeda kondisi. Ketika kita sedang menikmati bercengkrama dengan keluarga di suatu Jumat petang, sebuah desa di Banjarnegara, Jawa Tengah, menjadi korban longsoran tanah. Diduga ratusan penduduk tewas tertimbun di bawah tanah.

Aku sedang berbahagia, namun ”aku” lain sedang berduka. Aku dan ”aku” menjadi terhubung ketika aku melakukan kontak atau tindakan untuk membantu ”aku” yang lain itu. Bukankah demikian hakikat hubungan antarmanusia sesungguhnya? Yaitu saling terhubung, saling merasa, dan saling melengkapi? Jika hal-hal tersebut hilang, maka kemanusiaanku pun juga hilang.

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home