Loading...
RELIGI
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 16:30 WIB | Jumat, 06 Juni 2014

Amar Maruf Nahi Munkar adalah Kemanusiaan, Transfromasi dan Humanisasi

Siti Musdah Mulia, Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). (Foto: Diah A.R)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Siti Musdah Mulia, ketua umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) berpendapat bahwa istilah amar maruf nahi munkar merupakan kerja-kerja kemanusiaan untuk melakukan upaya kemanusiaan, transformasi dan humanisasi.

“Saya sangat mengapresiasi buku ini karena telah melakukan kerja-kerja amar maruf nahi munkar,” kata dia pada saat menghadiri acara peluncuran buku “Pelanggaran HAM dan Pelanggaran HAM Berat dalam Kasus-kasus Kebebasan Beragama, Berkeyakinan dan Beribadah di Indonesia”, di Hotel Akmani, Jakarta, Rabu (4/6).

“Kerja-kerja inilah yang membuat masyarakat itu lebih baik lagi dan menjadi lebih manusiawi. Karena tujuan akhir dari sebuah agama itu adalah memanusiakan manusia. Tapi sayangnya, slogan amar maruf nahi munkar itu selalu tertera di belakang punggung FPI. Saya membaca laporan ini dan menangkap bahwa yang ditulis dalam laporan ini semuanya sudah cukup baik. Tetapi persoalan yang mendasar mengapa hal itu terjadi belum diungkap.”

Musdah menganggap bahwa persoalan tersebut terjadi karena pada saat mendirikan republik ini, pemerintah tidak pernah tuntas menjelaskan negara ini sebagai negara apa. Pada zaman Soeharto jelas dideklarasikan bahwa bangsa Indonesia bukan berdasar pada negara agama dan bukan negara sekuler.

Menurutnya, relasi antara negara dan agama yang tidak jelas inilah yang menimbulkan berbagai macam konflik antaragama yang terjadi di Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut, Musdah Mulia juga menyebutkan bahwa pemerintah juga ikut andil dalam melakukan tindak diskriminasi dan intoleran berupa pemberlakuan peraturan daerah (Perda) yang menyudutkan perempuan, pelanggaran HAM dan diskriminasi terhadap non-Muslim.

Dia menceritakan bahwa di daerah tertentu ada aturan yang mewajibkan pegawai negeri perempuan untuk memakai jilbab. Ada seorang non-Muslim yang selalu terintimidasi hanya karena dia tidak memakai jilbab. Semua pekerjaannya tidak dipandang baik. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk memakai jilbab walaupun dia non-Muslim. Sejak saat itu, dia tidak terintimidasi oleh atasan dan teman kantornya dan pekerjaannya kini lebih dihargai.

Menurut Musdah, hal ini sangat melanggar hak asasi manusia dan diskriminasi untuk non-Muslim. “Bayangkan saja Anda bukan seorang Muslim dan terpaksa memakai busana yang tidak sesuai dengan iman Anda. Ini merupakan pelanggaran HAM,” kata dia.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home