Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 10:33 WIB | Rabu, 04 Juni 2014

Intoleransi Tidak Selamanya Bersumber dari Konflik Luar Negeri

Johny Nelson Simanjuntak (kanan) saat memberi tanggapan atas pemaparan Benedict Rogers dan Ahmad Suaedy, Selasa (3/6). (Foto: Prasasta)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Mantan komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Johny Nelson Simanjuntak, di Utan Kayu, Jakarta, pada Selasa (3/6) siang, mengatakan tindakan kekerasan berlatar belakang intoleransi antarkepercayaan tidak selamanya dipicu dari konflik di luar Indonesia.

Ia menyanggah pernyataan Kepala Christian Solidarity Worldwide (CSW) wilayah Asia Tenggara, Benedict Rogers, yang meluncurkan laporan mendetail tentang rangkaian kekerasan dan anarkisme berlatar belakang kebencian antarumat beragama di Indonesia.

“Jangan dianggap intoleransi datang melulu dari luar negeri, tetapi kini kita harus pastikan umat beragama di Indonesia merupakan orang yang sudah pasti berperilaku saleh, sopan santun baik secara moral, politik, dan sosial. Ini harus kita lihat dan pelajari dulu dengan baik,” kata Johny.

Benedict Rogers mengemukakan sejumlah fakta bahwa hak dasar manusia untuk berkeyakinan di Indonesia berada dalam ancaman serius. Ia mengungkapkan kemungkinan besar penyebabnya terpicu dari konflik Rohingnya, Myanmar, beberapa tahun yang lalu.    

Johny mencontohkan semasa menjabat di Komnas HAM, bersama rekan kerjanya ia pernah melakukan mediasi pihak berkonflik,  salah satunya penutupan paksa HKBP Filadelfia, Bekasi, oleh sekelompok massa intoleran di daerah tersebut.

“Salah satu dari mereka (anggota massa intoleran, Red) komplain, menolak rumah ibadat di wilayah tersebut karena mereka menganggap kehadiran HKBP Filadelfia menganggu situasi sosial yang sudah harmonis,” lanjut Johny.

“Misalnya saat (HKBP Filadelfia, Red) beribadah sangat menggangu ketenangan warga sekitar,” kata Johny.

Johny mengartikan bahwa ada kebiasaan beberapa orang dari suku tertentu di Indonesia yang sulit untuk dilepaskan dan telah menstigma di masyarakat sehingga penduduk sekitar menganggap pendatang tersebut tidak dapat menciptakan ketenangan sosial.

“Karena saat berpindah, atau transmigrasi, atau urbanisasi, dia tidak akan lupa dengan kebiasaan adat suku asalnya masing-masing,” lanjut salah satu mantan anggota Komnas HAM tersebut.

Intoleransi antarumat beragama di Indonesia memang masih dalam tingkat wacana. Johny mengemukakan pendapatnya dengan melihat gagalnya sikap pemimpin agama dalam memberi contoh konkret kepada para umatnya.

“Sekarang, coba kita lihat, toleransi yang didengung-dengungkan di stasiun televisi itu hanya sebatas omongan, dengan kata lain toleransi yang diomongkan oleh orang-orang hebat di kota ini masih mengawang-awang, belum mengakar rumput, jadi masyarakat kelas bawah saat ini masih mudah disusupi gagasan-gagasan untuk bertindak anarkis intoleran atas nama agama oleh pihak lain,” tutup Johny.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home