Loading...
ANALISIS
Penulis: Trisno S Sutanto 07:24 WIB | Kamis, 10 April 2014

Analisis: Meraba-raba Koalisi

Hasil hitung cepat Pemilu Legislatif 2014 dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Rabu (9/4) menunjukkan PDI Perjuangan memimpin pengumpulan suara dengan 19,77 persen. (Foto: Elvis Sendouw)

SATUHARAPAN.COM – Siapa pemenang sebenarnya pemilu legislatif yang barusan berlalu? Tentu, kalau berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) sementara – karena hasil final masih menunggu pengumuman resmi KPU nanti di akhir bulan – tiga partai menempati posisi teratas, dengan urutan PDIP, Golkar, dan Gerindra.

Tidak terlalu mengejutkan, tetapi tetap saja mengejutkan, sekaligus memberi beberapa sinyal yang memberi harapan. Mari kita lihat satu per satu.

Hasil itu tidak terlalu mengejutkan, karena sudah cukup banyak survei dan analisis yang menduga, bahwa ketiga partai itu akan mengungguli partai-partai lainnya. Suka atau tidak, ketiganya memberi tawaran alternatif yang mencerminkan arus perubahan dalam masyarakat kita dewasa ini.

Sebab, hasil hitung cepat pemilu legislatif itu memperlihatkan fakta penting ini: rakyat sudah “menghukum” Partai Demokrat dan kepemimpinan SBY. Dari partai peraup suara mayoritas dalam pemilu 2009, Demokrat “terjun bebas” ke kisaran di bawah 10%, setingkat dengan newbie Nasdem maupun PKB.

Dan ini menjadi sinyal tentang kedewasaan rakyat dalam berdemokrasi yang menggembirakan. Bukankah demokrasi merupakan mekanisme damai reward and punishment bagi pemimpin oleh rakyatnya, yakni pemegang sejati kedaulatan? Pemilu legislatif kemarin adalah contoh konkret bagaimana punishment itu diberikan.

Sinyal kedua tentang kematangan berdemokrasi diperlihatkan oleh kenyataan, bahwa partai-partai berdasarkan agama tidak menarik simpati banyak kalangan. Sekalipun berkoar mampu menjadi tiga besar, posisi PKS – setelah diterpa aneka skandal – terbukti melorot lumayan signifikan. Yang menarik dari partai-partai agama ini adalah PKB. Ia mampu menyalip baik PPP maupun PKS. Boleh jadi itu karena faktor “Ksatria Bergitar” yang digadang-gadang jadi capres PKB.

Dengan hasil ini pula makin kentara, apa yang dulu pernah dirumuskan oleh alm. Nurcholis Madjid sungguh-sungguh mencerminkan realitas masyarakat kita: “Islam Yes, Partai Islam No!” Partai berdasarkan agama, atau mereka yang suka mengobral agama dalam kampanye – misalnya ungkapan yang sempat beredar pada masa kampanye, “Pilih partai anu, dijamin masuk sorga!” – tidak banyak diminati masyarakat. Pun oleh masyarakat Muslim yang menjadi mayoritas di negeri ini.

Karena itu, suara masyarakat umum menggumpal pada tiga partai berdarah nasionalis: PDIP, Golkar dan Gerindra. Ketiga partai papan atas inilah yang diduga akan menjadi “poros” kekuatan di mana partai-partai lain berputar.

Satu hal yang tetap mengejutkan dari hasil pemilu legislatif adalah fakta bahwa tidak ada partai yang suaranya meraup lebih dari 20%, apalagi mencapai 25%, sehingga mampu maju sendirian mengusung calon presiden dan wakil presiden mereka. Itu berarti koalisi antar-partai menjadi keharusan, bukan lagi kemungkinan. Dan masing-masing dari ketiga partai itu, yang selisih suaranya tidak terlalu besar, dapat menjadi poros dengan menggaet partai-partai lain.

Dan di sini, suka atau tidak, orang harus mengacungkan jempol pada Golkar. Partai itu memperlihatkan kinerja mesin politik yang masih kuat dan bekerja bagus, walau banyak isu tidak sedap menerpa Abu Rizal Bakrie yang dijagokan sebagai calon presiden mereka. Malah, dengan posisi kedua dan perolehan suara yang signifikan, Golkar dapat memainkan peran menentukan pada koalisi antar-partai menjelang pemilihan presiden nanti.

Bagaimana koalisi antar-partai yang akan dibangun, tentu saja masih terlalu dini untuk diperkirakan sekarang. Ada banyak faktor yang masih perlu dipertimbangkan. Apalagi koalisi itu tidak saja dalam urusan bursa pencalonan presiden dan wakilnya, tetapi juga harus mempertimbangkan stabilitas kekuatan politik di parlemen. Itu sebabnya, walau Jokowi Effect diperkirakan akan lebih menentukan saat pemilihan presiden nanti ketimbang pemilihan legislatif sekarang, PDIP sebagai pemenang pemilu legislatif tetap harus membuka pintu koalisi dengan partai lain.

Di situ ada banyak kemungkinan. Apakah PDIP mau “koalisi gendut” yang melibatkan banyak partai (PKB, PAN, Nasdem, dan bahkan Demokrat), atau sebaliknya “koalisi kurus”. Kalau pilihan kedua ini diambil, bukan tidak mungkin kita akan melihat koalisi PDIP-Golkar atau bahkan PDIP-Gerindra.

Semua kartu itu ada di tangan Megawati.

Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGI, Jakarta.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home