Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 10:42 WIB | Sabtu, 19 April 2014

Analisis: Pemileg Efek, "Ramai-Ramai Menjadi Gila"

Perawat merapikan tempat tidur pasien di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Dr Soeharto Heerdjan, Grogol, Jakarta Barat, Kamis (10/4). Rumah sakit tersebut siap menerima dan merawat calon legislatif yang mengalami gangguan jiwa karena gagal terpilih menjadi anggota legislatif. (Foto: Antara)

SATUHARAPAN.COM – Ketidakmampuan seseorang memahami dirinya layak atau tidak menjadi calon anggota legislatif, menjadi pemicu gangguan jiwa. Budaya-feodal, materialis dan nepotis, dan sistem politik-demokrasi bebas terbuka serta buruknya kaderisasi dalam partai politik yang berlaku di Indonesia juga menjadi penyebab fenomena caleg gila.

Beberapa waktu sebelum Pemilu legislatif, 9 April lalu, banyak perhatian diberikan kepada isu “Jokowi Efek”. Mulai dari para pemerhati sosial-politik, lembaga survey, sampai rakyat kebanyakan, membincangkannya.  Ini tergambar pada gencarnya perbincangan topik itu di berbagai media.  Tapi dari hasil pemilu legislatif itu, tampak bahwa Jokowi tidak memberi efek yang sangat berarti seperti yang digembar-gemborkan dan diharapkan bagi perolehan suara PDIP. Malah Jokowi efek tampak lebih kurang ampuh dibanding Prabowo atau Roma Irama efek yang terbukti dari perolehan suara yang sangat  meningkat dari partai Gerindra dan PKB.

Pasca-pemilu legislatif itu, mungkin saat ini baik untuk memberi perhatian dan mengambil pelajaran dari pesta demokrasi itu, terutama efek sampingnya, atau “Pemileg Efek”. Ada dua hal penting yang menjadi efek itu. Pertama,  karena dalam pileg tersebut, tidak ada partai yang mendapat suara yang memenuhi syarat minimal persentase perolehan suara untuk dapat mengajukan calon presiden dan wakilnya pada pemilu presiden 9 Juli 2014 nanti maka partai-partai harus melakukan koalisi. (Soal baik buruk koalisi akan dibahas di kesempatan lain);  kedua, pileg itu telah mengakibatkan begitu banyak (ada yang mengatakan se-ribu-an atau lebih) calon yang menjadi stress dan bahkan gila sehingga membutuhkan pengobatan medis-mental-spiritual;  bahkan ada yang sampai bunuh diri. Ini karena mereka tidak terpilih dan gagal menjadi anggota legislatif. Jadi efek penting dari pileg itu adalah ramai-ramai calon legislative (caleg) mengalami gangguan jiwa (stress atau gila), sehingga saat ini Rumah Sakit Jiwa, pesantren, padepokan atau lembaga yang menyelenggarakan pengobatan sakit jiwa dan gila makin laku.  (Lihat Editorial, satuharapan.com, Kamis, 10 April 2014, 15.42 WIB; Yan Chrisna Dwi Atmaja, “40 "Caleg Gagal" Jalani Terapi di Lamongan”, satuharapan.com, Minggu, 13 April 2014. 17:20 WIB; dan Kompas, Selasa, 15 April 2014, h. 4).

Banyak caleg gagal mengalami stress dan gila karena mereka sebelumnya sudah punya keyakinan besar akan terpilih, tetapi ternyata tidak. Jadi soalnya di sini adalah ketidaksiapan mental; siap menang tapi tidak siap kalah, walaupun tidak berpengaruh besar pada kondisi keuangan mereka. Tetapi ada yang menjadi gila karena keikutsertaan mereka di pemilu telah menguras banyak atau bahkan habis-habisan harta mereka; bahkan ada yang berutang puluhan atau ratusan juta dan mereka tidak mampu membayarnya.  Yang aneh juga adalah ada caleg yang menjadi stres dan gila karena berhasil terpilih. Kegilaan itu disebabkan oleh ketakutannya bahwa suara yang diperolehnya akan dialihkan ke caleg lain yang mampu membayar. Jadi ada ketidakpercayaan terhadap pelaksanaan pileg ini.

Sebenarnya “menjadi gila”-nya para caleg karena gagal terpilih, atau ketakutan terhadap hasil yang akan dimanipulasi,  bukan baru muncul ketika hasil pileg diketahui, atau bukan efek kemudian pasca-pileg. Benih dan akar-akan kegilaan itu dapat dikatakan sudah tumbuh ketika mereka memutuskan untuk menjadi caleg dan ikut pileg. Betapa tidak, banyak caleg itu hanya bermodalkan pemahaman bahwa mereka punya hak itu sebagai warga negara, merasa mampu dalam hal finansial, dalam mempopulerkan diri dan menarik  pemilih.  Mereka tidak memikirkan tentang kesiapan atau kelayakannya dalam hal mental, pengetahuan, wawasan, pengalaman yang membentuk kecakapan berpolitik dan rasa nasionalisme dan kemanusiaan yang tinggi.   Dengan pertimbangan-pertimbangan prosedural dan material itu lalu “tukang” parkir, semir sepatu, ojek, tukang baso jalanan dan ibu rumah tangga, artis, atlet  yang tidak memenuhi syarat kelayakan atau kualitasnya, tetapi menjadi caleg dan ikut pileg. Memang karena berbagai sebab, ada banyak juga caleg tidak layak yang terpilih. Tetapi ini membuktikan rendahnya kualitas demokrasi di Indonesia. (Lihat  tulisan saya: “Rendah, Kualitas Demokrasi di Indonesia”, satuharapan.com, Sabtu, 12 April 2014, 12.14 WIB). 

Tidak sadarnya para calon terhadap kelayakannya dalam berpolitik, terhadap realitas perpolitikan di Indonesia dan terlalu percaya diri-nya mereka dan nekat menjadi caleg, sebenarnya sudah merupakan indikasi adanya gangguan jiwa atau kegilaan pada diri mereka. Sikap ini mirip dengan teori “gangguan jiwa” pada diri orang yang senang memfoto dirinya atau kelompoknya dan memajangnya di media sosial, walaupun buruk atau tidak layak untuk dipertontonkan. (Lihat, Diah A. Retnaningrum ”Selfie, terkait dengan gangguan jiwa”, satuharapan.com, Kamis, 17 April 2014, 07.00). Ini adalah selfie untuk dipertontonkan di media. Kalau kenekatan para caleg itu bisa disebut selfie politik-demokrasi dan bisa diduga ini akibat gangguan jiwa. 

Menanggapi kritik terhadap ketidaklayakan mereka, ada yang mengatakan “nanti belajar kalau sudah terpilih” atau di DPR, DPRD atau DPD. Tentu, lembaga-lembaga terhormat itu bukanlah tempat untuk belajar politik atau berpolitik. Tempat belajar yang benar dan layak adalah sekolah, perguruan tinggi, lembaga sosial-keagamaan dan partai politik.  Di lembaga perwakilan rakyat seperti DPR dan DPD atau jabatan strategis seperti Walikota-Bupati, Gubernur dan Presiden, orang tidak belajar lagi, tetapi sudah harus bekerja, berkarya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Karena ketidakmampuan mereka tetapi terpilih lalu keuangan negara dirugikan dengan membayar sejumlah orang sebagai Tim Ahli dan asisten-asistennya, yang juga lalu mengakibatkan gedung DPR-MPR-DPD harus  dibangun baru karena yang lama sudah over-capacity.      

Caleg-caleg yang mengalami gangguan jiwa dan gila serta yang berhasil menduduki kursi legislatif walaupun tidak berkualitas sebenarnya adalah produk budaya-feodal, materialis dan nepotis, dan sistem politik-demokrasi bebas terbuka serta buruknya kaderisasi dalam partai politik yang berlaku di Indonesia. Untuk mencegah menjadi gilanya ribuan caleg pra dan pasca pemilu, hendaknya pemberian bekal mental-spiritual dan kemampuan berpolitik, serta perubahan sistem politik di Indonesia perlu dilakukan. 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home