Loading...
OPINI
Penulis: Dr. Sri Yunanto 10:12 WIB | Rabu, 05 Juni 2013

Bahaya Partai Politik Yang Lemah

SATUHARAPAN.COM - Di tengah ramainya pendaftaran calon anggota legislatif (Caleg) untuk Pemilu 2014, berbagai diskusi politik secara gencar mengkritik  kinerja partai politik dan wakilnya di DPR. Inti dari  berbagai kritik itu menyangkut lemahnya kelembagaan partai  karena model kepemimpinannya yang oligarkis, maraknya konflik partai dan kualitas visi kadernya yang oportunis.

Berbagai kritik ini memperkuat temuan  jajak pendapat yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI, Februari 2012) yang mencerminkan pandangan masyarakat bahwa kondisi politik tidak berubah, buruk dan sangat buru  (68 persen) lebih banyak daripada yang mengatakan baik dan sangat baik (22,9 persen). Ini menandai bahwa kepercayaan publik terhadap kinerja DPR dan partai politik menurun.

Dalam negara demokrasi, partai politik merupakan institusi politik yang penting. Sebagai pemegang amanat rakyat, institusi ini  berperan dalam menyalurkan aspirasi rakyat untuk ditransfer menjadi kebijakan negara  yang nantinya diharapkan mampu memecahkan persoalan yang dihadapi oleh rakyat. Idealnya, partai politik berfungsi sebagai pengumpul kepentingan rakyat (aggregator), komunikator atau broker kepentingan rakyat kepada pemerintah dan penyelesai konflik (problem solver) yang terjadi di masyarakat.

Sayangnya saat ini wajah partai politik yang nampak di mata rakyat adalah, perilaku elitenya yang kurang memberikan cermin moralitas berdemokrasi yang baik seperti terlibat dugaan penyuapan, konflik internal partai, serta kinerja DPR dalam program legislasi juga dinilai buruk yang ditandai dengan munculnya protes atas beberapa RUU yang dibahas, dan banyak RUU yang belum tuntas dibahas.

Konflik internal, misalnya terjadi pada Partai Demokrat (PD), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), bahkan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) sudah mengalaminya pada awal kelahirannya. Dalam kasus korupsi, sejumlah kader parpol telah divonis, sedang diadili dan sedang disidik. Yang belakangan ramai dibicarakan adalah kasus korupsi yang melibatkan pimpinan PD, Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Andi Alifian Mallarangeng, dan Angelina Sondakh. Di Partai Keadilan Sejahtera,  Luthfi Hasan Ishaq diduga terlibat kasus izin impor daging sapi. Kasus ini mengharuskannya mengundurkan diri dari jabatan Presiden PKS. Partai lainnya, seperti PDI Perjuangan dan Partai Golkar tidak lepas dari kenyataan kadernya terlibat kasus korupsi. Hal-hal itu merupakan pucuk gunung es dari realitas buruknya performa partai politik.

Performa buruk partai politik ini seakan-akan membenarkan anggapan bahwa selama ini partai politik hanya berfungsi sebagai  kendaraan yang digunakan untuk mencapai kepentingan pribadi. Bentuknya bisa bermacam-macam.  Bagi orang yang tidak mempunyai pekerjaan, partai politik bisa memberi profesi baru. Bagi para pengusaha  plat merah, partai politik bisa menjadi kendaraan untuk melakukan lobi yang  menguntungkan dirinya. Bagi orang-orang yang secara hukum bermasalah, partai politik akan menjadi  pelindung politik (political shield) dari kejaran penegakan hukum.

Wajah carut marut  ini juga membenarkan kritik beberapa pengamat  dan  beberapa jajak pendapat yang dilakukan belakangan ini. Partai politik  seakan-akan sedang mangalami demarketing atau pemasaran  yang buruk. Proses pemburukan partai baik dari dalam maupun kritikan dari luar akan melemahkan kekuatan partai politik sebagai salah satu tiang penyangga bekerjanya sistem demokrasi. Layaknya organ tubuh,  melemahnya partai politik berarti fungsinya  tidak berjalan.

Apa akibatnya kalau partai politik itu melemah? Secara substantif, jika partai politik melemah, demokrasi tidak akan berjalan dengan baik. Partai politik itu seperti  setir  yang menghubungkan antara kepentingan rakyat sebagai penumpang mobil demokrasi dan pemerintah sebagai  mesin demokrasi. Kalau setir tidak berfungsi dengan baik,tidak akan mampu mengendalikan  laju mesin  ke arah tujuan penumpangnya. Mesin politik akan berjalan menuju arah yang diinginkan sendiri yang ujungnya akan menipu penumpangnya.

Jika partai politik mengalami impotensi,  jika maraknya partai politik tidak menghasilkan peningkatan taraf  kehidupan rakyat, jika tuntutan masyarakat  yang semakin marak tidak bisa  dipenuhi  oleh partai politik melalui wakilnya di DPR, jika elite partai merasa nyaman dengan terus-menerus berkelahi dan dikejar-kejar oleh KPK, kemungkinan untuk merevisi praktik demokrasi kita tidak tertutup. Karena demokrasi itu memang seperti kendaraan atau alat untuk mencapai tujuan kehidupan bersama.

Di berbagai belahan dunia, demokrasi  sebagai sistem politik memang  terbukti membawa kesejahteraan rakyat. Sementara itu di tempat lain, rakyat juga damai, sejahtera walaupun tidak punya sistem politik demokrasi. Beberapa negara minyak di Timur Tengah, Brunei Darussalam atau Singapore adalah negara yang digolongkan otoriter atau derajat demokrasinya rendah tetapi indeks pembangunan manusianya tinggi.

Bagaimana dengan kita? Apakah demokrasi cocok  sebagai sistem politik yang akan mengantarkan bangsa dan rakyat Indonesia menuju tujuan  hidupnya? UUD 45 mencantumkan bahwa sistem demokrasi sebagai sistem politik yang telah disepakati untuk dipakai. Persoalan yang terjadi di Indonesia bukan pada sistemnya melainkan  pada orangnya. Persoalannya bukan kendaraannya, melainkan sopirnya.

Tetapi belakangan ini juga muncul pendapat bahwa sistem demokrasinya juga perlu direvisi. Misalnya  kelompok organisasi Islam Muhammadiyah dan NU yang mengusulkan untuk mengembalikan  sistem pemilihan kepala daerah secara langsung ke sitem lama dimana DPRD dan Kementrian Dalam Negeri yang mempunyai kewenangan  memilih dan menetapkan kepala daerah.

Berbagai kalangan pro status quo juga merindukan sistem yang lebih menekankan kepada keteraturan (order) dan kestabilan (stability) seperti pada zaman Orde Baru. Para purnawirawan Jenderal yang terbiasa dengan politik stabilitas dan politik order juga rame-rame mendirikan atau mensponsori partai poitik. Apakah berbagai fenomena ini merupakan embrio  menuju sistem otoritariansme baru seperti pada zaman demokrasi terpimpin? Bisa jadi.

 

Penulis adalah dosen Ilmu Politik di Universitas Kristen Indonesia

Editor: Trisno S. Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home