Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 14:20 WIB | Kamis, 08 November 2018

Bakteri Super Bunuh Jutaan Manusia pada 2050

Ilustrasi. Bakteri E.coli yang resisten terhadap obat sudah merupakan masalah yang signifikan di Eropa. (Foto: bbc.com)

PARIS, SATUHARAPAN.COM – Bukan hanya negara miskin yang terancam oleh resistansi antibiotik (AMR), Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memperingatkan jutaan orang di Eropa dan Amerika Utara, bisa menjadi korban bakteri super pada 2050.

Jutaan penduduk di Eropa, Amerika Utara, dan Australia, terancam oleh infeksi bakteri super yang kebal terhadap berbagai jenis obat-obatan. Peringatan tersebut dilayangkan oleh Organisasi Kerja Sama Pembangunan Ekonomi Eropa (OECD), Rabu (7/11).

OECD mewanti-wanti wabah bakteri super bisa menyebabkan "konsekuensi buruk" pada kesehatan publik dan anggaran kesehatan. Organisasi itu menuntut agar pemerintah di berbagai negara memperbaiki standar kebersihan di rumah sakit dan mengurangi penggunaan antibiotika pada pasien.

Menurut studi terbaru, sebanyak 33.000 orang meninggal dunia di Eropa pada 2015 silam akibat bakteri yang kebal obat-obatan. Dalam laporannya OECD meramalkan korban jiwa akibat bakteri super pada 2050, bisa mencapai hingga 2,4 juta orang. Adapun anggaran yang diperlukan untuk meredam wabah tersebut akan berada di kisaran 3,5 triliun Euro (Rp 5838 triliun) untuk setiap negara.

Indonesia, klaim OECD, termasuk negara yang paling rajin mengkonsumsi antibiotika untuk keperluan medis atau untuk kesehatan hewan di sektor peternakan. Akibatnya muncul jenis bakteri baru yang kebal terhadap obat-obatan yang didesain untuk membunuhnya. Bersama Brasil, Tiongkok, dan Rusia, saat ini sebanyak 60 persen infeksi bakteri di Indonesia misalnya sudah dinyatakan kebal terhadap setidaknya satu jenis antibiotika.

Fenomena resistansi antibiotik alias AMR, dikhawatirkan akan semakin mengancam jika tidak ditanggulangi secara komperhensif. "Penanggulangan AMR berbiaya lebih mahal ketimbang penyakit flu, HIV atau tuberkulosis," kata Michele Cechhini, Direktur Kesehatan Publik di OECD.

Dalam laporannya OECD, hanya fokus menganalisa ancaman AMR di negara-negara Uni Eropa, namun turut menggunakan data kesehatan negara anggota G20 seperti Indonesia.

"Resistensi tinggi akan menciptakan kondisi yang bisa berujung pada angka kematian tinggi," begitu bunyi laporan setebal lebih dari 200 halaman tersebut.

"Akibatnya, bahkan luka kecil akibat tersayat pisau di dapur, operasi kecil atau penyakit seperti pneumonia bisa mengancam nyawa." OECD meyakini laju peningkatakan infeksi AMR akan bertambah empat sampai tujuh kali lipat lebih cepat pada 2030.

AMR, memang merupakan fenomena alami yang kerap muncul akibat perubahan genetika. Namun, penggunaan berlebih antibiotika bisa mempercepat proses tersebut. Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebab itu mewanti-wanti penduduk agar menolak antibiotika tanpa arahan jelas dari dokter. Pasien juga dianjurkan tidak menggunakan antibiotika sisa milik pasien lain.

Peringatan muram OECD bukan yang pertama terkait ancaman AMR. Pada 2016 silam studi yang dibuat ekonom Inggris, Jim O'Neill, sampai pada kesimpulan bahwa kegagalan dalam menangani AMR akan menyebabkan 10 juta kematian setiap tahun dan diyakini bakal menyedot biaya hingga US$ 100 triliun pada 2050. (dw.com)

 

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home