Loading...
INSPIRASI
Penulis: Daniel Herry Iswanto 01:00 WIB | Selasa, 24 Februari 2015

Belajar dari Kasus Hukuman Mati

Terpidana mati yang tidak menunjukkan penyesalan, apalagi malah mengorganisasi kejahatan dari dalam penjara, maka hukuman mati merupakan pilihan.
Eksekusi mati (Foto: istimewa)

SATU HARAPAN.COM – Reyhaneh  Jabbari, wanita Iran, dihukum gantung karena dituduh membunuh Morteza Abdolali Sarbandiseorang pria, mantan pejabat intelijen yang berusaha memperkosanyadengan menggunakan pisau lipat. Wanita kelahiran 1988 itu menyangkal membunuhnya. Ia yakin bahwa Sarbani dibunuh orang lain setelah memperkosanya. Eksekusi Jabbari dilakukan karena keluarga Sarbandi tidak bersedia memaafkan dan menerima ganti rugi.

Peristiwa itu terjadi pada 2007. Keputusan pelaksanaan hukuman mati kepada Jabbari diberikan hakim pada akhir September 2007, sedangkan eksekusi hukumannya dilaksanakan Sabtu, 25 Oktober 2014. Itu berarti Reyhaneh Jabbari telah dipenjara selama tujuh tahun. 

Keputusan hakim tersebut telah diprotes Amnesty International karena penyelidikan dan pengadilannya dianggap penuh kelemahan. Amnesty Internasional mengirimkan petisi yang didukung oleh 200.000 tanda tangan yang mengecam putusan pengadilan.  Namun, petisi ini hanya mampu menunda sementara eksekusi Jabbari yang seharusnya dilakukan April 2014.  Kelompok-kelompok HAM sebelumnya mendesak agar pemerintah menghentikan eksekusi, karena dikawatirkan pembunuh yang sebenarnya masih berkeliaran. Kalau benar demikian, bagaimana bisa pemerintah Iran mengembalikan nyawanya?

Soal hidup mati merupakan hak prerogatif Allah. Itulah alasan mengapa Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menolak hukuman mati.  Bukankah kita juga berjuang keras untuk membebaskan TKI dan TKW yang terancam eksekusi matipancung dan gantungdi luar negeri?   Pemerintah mana pun akan berjuang demi menunda dan membebaskan warganya yang terancam hukuman mati.

Menempatkan diri pada posisi terpidana, keluarga, atau bangsanya merupakan sikap yang bijak.  Bagaimana tidak? Bila terpidana tersebut hanya korban salah tangkap yang terpaksa mengaku karena tidak tahan siksa, atau melakukannya demi membela diri, tetapi kemudian menyesali diri.  Hukuman mati—yang tidak menghasilkan perubahan kualitas hidup dan lebih bernuansa balas dendam ketimbang memaafkan—lebih baik dihentikan.  Tunda eksekusi, biarkan mati sendiri!

Sedang terpidana mati yang tidak menunjukkan penyesalan, apalagi malah mengorganisasi kejahatan dari dalam penjara, maka hukuman mati merupakan pilihan.

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home