Loading...
RELIGI
Penulis: Reporter Satuharapan 19:58 WIB | Senin, 10 Februari 2014

Berkampanye Menggunakan Simbol Kekristenan Penghinaan Besar

Boni Hargens Pengamat Politik UI. (Foto: Elvis Sendouw)

JAKARATA, SATUHARAPAN.COM - Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), Boni Hargens, mengatakan, orang Kristen tidak harus memilih calon berdasarkan agama yang sama. Memilih pemimpin apapun agamanya dan etniknya tidaklah penting.

Namun sangat disayangkan bila politis Kristen memakai simbol Tuhan sebagai alat menarik suara, dan itu penghinaan besar jika tetap dipakai dalam pemilihan umum calon leglislatif dan pemilihan presiden 2014.   

“Orang Kristen gak harus memilih Caleg beragama Kristen. Agamanya, dan etnik apapun tidaklah penting. Dan kalau orang Kristen mau menjadi politik yang benar, dia tidak berkampanye dalam gereja saja. Dia berkampanye di mana saja karena ukuranya adalah prinsip politik, dan tindakannya, bukan agamanya apa,” katanya menegaskan saat seminar dan diskusi politik Forum Umat Kristiani Indonesia (FUKRI) di GBI Mawar Saron, Jakarta Utara, Senin (10/2).

Pengamat Politik Universitas Indonesia (UI) ini mengungkapkan, kelemahan mendasar politisi Kristen. Masih ada yang menggunakan simbol kekristenan yang merendahkan dan menyederhanakan kekristusan Yesus dan itu merupakan sebuah penghinaan.

“Saya melihat ada satu kelemahan mendasar dari politik Kristen, mereka memakai simbol Kristen untuk alat menarik suara dan saya kira ini secara moral sangat buruk. Karena itu, merendahkan dan menyederhanakan kekristusan Yesus dalam simbol-simbol Tuhan dan itu penghinan besar. Politisi Kristen harus berani untuk melompat keluar dari simbol dan belajar untuk bersikap universal,” Boni menegaskan, sambil menambahkan mengurangi jumlah Golput hanya dengan memperbaiki partai politik dan elite politik.

Dalam Pemilu tahun lalu, kata Boni, memang masih banyak golongan putih (Golput). Sebenarnya itu reaksi terhadap kepentingan politik yang dianggap tidak pro rakyat. Dan ketika politik dianggap masyarakat tidak membawa perubahan maka sebagian masyarakat terlihat apatis.

“Golput itu sebenarnya reaksi terhadap kepentingan politik yang dianggap tidak pro rakyat. Ketika politik tidak membawa perubahan orang kemudian tidak mau tahu dengan politik. Apatisme dalam bentuk yang kongkret adalah Golput. Meningkatkan partisipasi pemilih mengurangi jumlah Golput hanya dengan memperbaiki partai politik dan elite politik,” dia menerangkan.

Pro Rakyat secara Total  

Lebih lanjut Boni menjelaskan, pemimpin mendatang mau itu militer, atau sipil harus orang yang mempunyai intrergritas, punya masa lalu yang baik, punya pemikiran yang bagus, dan terbukti melakukan hal yang baik untuk rakyat. Paling penting dia sudah berbuat yang terbaik untuk rakyat karena Indonesia sangat sitemik, membutuhkan figur pemimpin yang berpihak pada rakyat secara total.

“Dari berbagai survei, popularitas itu juga mencermikan pandangan masyarakat soal kualitas tadi. Jokowi yang masih terbaik. Jokowi saya kira seluruh tindakan politiknya menjadi pidato yang menarik. Dia tidak bertumpu pada kata-kata tetapi pendapat. Calon lainya juga bagus, namun mereka belum terbukti secara maksimal,” katanya.

Memang, lanjutnya, Jokowi belum ditetapkan sebagi calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), namun seharusnya para pemimpin negara belajar dari cara Jokowi.   

Yah terserah apakah Jokowi menjadi pemimpin atau tidak. Yang terpenting para pemimpin harus belajar dari Jokowi,”  kata Boni.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home