Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben Ezer Siadari 11:54 WIB | Jumat, 01 Mei 2015

Betulkah Eksekusi Mati untuk Tutupi Kinerja Buruk Kabinet ?

Brintha Sukumaran, saudara perempuan dari terpidana mati Myuran Sukumaran ketika tiba di pelabuhan Wijaya Pura untuk mengucapkan salam perpisahan. Myuran akhirnya dieksekusi pada Rabu, 29 April dini hari. (Foto: News Corp Australia)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sejumlah media internasional, khususnya di Australia, mensinyalir sikap tegar Pemerintah Indonesia untuk mengeksekusi  delapan terpidana hukuman mati kejahatan narkoba --tujuh diantaranya warga negara asing-- bermuatan politik populis. Langkah itu diperlukan untuk  meningkatkan dukungan di dalam negeri,  di tengah anjloknya popularitas yang diakibatkan kekisruhan politik serta merosotnya kinerja perekonomian.

Senator Australia, Jacqui Lambie, termasuk yang berpendapat demikian. "Apa yang terjadi di Indonesia saat ini  menjijikkan. Presiden Indonesia memainkan seni perang. Ia bermain-main dengan anak-anak ini dan menggunakannya sebagai pion politik," kata dia, sebagaimana dikutip oleh news.com.

Jacqui Lambie menuntut pemerintah Australia mengalihkan bantuan luar negerinya sebesar US$ 50 juta ke Nepal, yang kini sedang dilanda bencana. Lambie juga ingin agar Australia memboikot Indonesia, khususnya Bali sebagai tujuan wisata.

Keadaan ekonomi Indonesia dewasa ini memang jauh dari menggembirakan. Ini semakin banyak diakui, kendati di awal pemerintahannya, Jokowi dipandang membawa harapan baru yang tinggi.

“Sangat sulit menemukan sesuatu yang positif di lapangan politik dan ekonomi di Indonesia, " kata Michael Every,  head of financial markets research pada Rabobank Group di Hong Kong.

“Semakin sulit membenarkan keistimewaan Jokowi," kata dia sebagaimana dikutip oleh Bloomberg.

Berlawanan dengan retorika optimistis yang masih tetap gencar disuarakan oleh para menteri di kabinet Jokowi, kinerja ekonomi Indonesia dalam enam bulan pertama masa pemerintahan mantan wali kota Solo itu kian memburuk. Dan itu sangat ironis, karena pemerintahan Jokowi sempat dielu-elukan sebagai penerobos kebuntuan masa lalu.

Jokowi sempat memancarkan optimisme tinggi ketika ia dengan berani memotong bahkan kemudian menghapus subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Pada tiga bulan pertama pemerintahannya, investasi asing langsung (foreign direct investment) dengan cepat meningkat, mencatat pertumbuhan 14 persen dibanding tahun sebelumnya. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah pada 7 April lalu.

Namun, optimisme tergerus seiring dengan semakin terkuaknya data tentang lemahnya kinerja kabinet Jokowi. Selain diwarnai oleh pertikaian politik di antara partai pendukungnya sendiri, sejumlah langkah yang diambil menteri-menteri Jokowi juga melukai kepercayaan investor. Peraturan Menteri Perdagangan yang melarang penjualan minuman beralkohol di mini market serta rencana Menteri Tenaga Kerja yang mewajibkan tenaga kerja asing menguasai bahasa Indonesia (untungnya rencana ini dibatalkan), menjadi sorotan dan memunculkan kekhawatiran akan nasionalisme sempit yang diusung pemerintahan ini.  

"Pesan yang didapatkan para investor dari hal ini adalah presiden belum memiliki kekuasaan politik," kata  Paul Rowland, analis politik independen berbasis di Jakarta. “Muncul tanda tanya akan kemampuannya untuk menjalankan sejumlah reformasi," lanjut dia.

Bloomberg dengan lugas  mengatakan bahwa masa bulan madu Jokowi dengan investor asing sudah berlalu. Dan, hal itu ditunjukkan oleh sejumlah data yang cukup meyakinkan. IHSG pada hari Kamis lalu jatuh ke level terendah sejak 17 Desember 2014. Rupiah telah mencatat kemerosotan nilai 4,4 persen selama tahun ini saja dan membuatnya menjadi salah satu mata uang yang paling merosot di dunia.

Investor mulai hengkang dan mengurangi portofolio investasinya di pasar modal dan pasar obligasi. Dalam sepekan terakhir pengelola dana asing diperkirakan telah menarik US$ 537 juta dari bursa Indonesia. Ketika menerbitkan obligasi pada 28 April lalu, pemerintah hanya mampu meraup setengah dari target Rp 10 triliun. Ini merupakan penjualan obligasi pemerintah paling lemah sejak Juni 2013, cermin berkurangnya kepercayaan investor.

Survei Bloomberg atas sejumlah analis juga semakin memperjelas buruknya perekonomian. Mereka memperkirakan nilai tengah kurs rupiah hingga akhir 2016 adalah Rp 13.700 per dolar AS, melemah 9 persen dari kurs yang ada saat ini. Pada saat yang sama, defisit transaksi berjalan kini sudah memasuki kuartal ke-13 pada akhir 2014 sedangkan cadangan devisa Bank Indonesia relatif terhadap Produk Domestik Bruto, tak sampai setengah dari cadangan devisa Malaysia, Thailand dan Filipina.

Bahaya Lebih Besar Masih Mengancam

Namun, warna muram perekonomian belum berhenti sampai di sini. Bahaya yang lebih besar kini kian dekat, yaitu ancaman  berupa melebarnya defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Para analis memperkirakan defisit APBN tahun ini sangat kecil kemungkinan dapat dibendung sesuai dengan target, yaitu 1,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Para analis memperkirakan defisit akan membengkak hingga menjadi 2,4 persen dari PDB jika tidak ada perubahan terhadap APBN. Ini sudah lampu kuning. Jokowi akan dituduh melanggar undang-undang dan bisa menuai impeachment apabila defisit APBN melewati 3 persen dari PDB, batas yang diperbolehkan undang-undang.

Ancaman defisit kian nyata mengingat penerimaan pemerintah dari sektor  minyak dan gas dipastikan akan menurun seiring dengan melemahnya harga minyak dunia. Penerimaan dari minyak dan gas menyumbang seperlima dari pendapatan Indonesia sementara harga minyak dunia anjlok sampai 40 persen, yang menyebabkan tekanannya terhadap APBN kian pasti.

"Penurunan harga minyak global memang berperan penting memampukan Indonesia memotong subsidi BBM, tetapi hal itu juga mengurangi penerimaan pemerintah," kata Andrew Wood, head of Asia risk pada BMI Research, sebagaimana dikutip oleh Reuters.

BMI memperkirakan penerimaan pemerintah dari minyak dan gas bumi akan merosot sebesar 45 persen tahun ini sementara konsultan energi  Wood Mackenzie memperkirakan penurunan pendapatan dari minyak dan gas sebesar 35 persen menjadi  US$ 35 miliar dari tahun lalu sebesar US$ 53, 8 miliar. Perkiraan Wood Mackenzie didasarkan pada asumsi harga minyak yang anjlok dari US$ 103 per barel sebelumnya menjadi US$ 60 per barrel saat ini.

Ancaman defisit lebih parah lagi apabila target penerimaan pajak tidak tercapai dan kelihatannya hal itulah yang akan terjadi. Sudah banyak analis yang mengatakan target penerimaan pajak yang ditetapkan pemerintah --Rp 1.250 triliun -- pada APBNP 2015 terlalu ambisius. Realisasi penerimaan pajak sampai tiga bulan pertama tahun ini baru mencapai 13 persen.

Ekonom Kepala Bank BRI, Anggito Abimanyu, sebagaimana dikutip oleh sejumlah media massa nasional, memperkirakan  realisasi penerimaan pajak sampai akhir tahun paling maksimal  sebesar 81 persen ,sehingga penerimaan pajak akan kekurangan Rp 220 triliun dari target. Sebagai konsekuensinya, Anggito menyarankan agar pemerintah melakukan perubahan lagi pada APBNP 2015.  

Menurut Anggito, target pajak yang ditetapkan pada  APBNP 2015 terlalu ambisius dan dilakukan saat ekonomi mengalami perlambatan. Menurut dia, secara historis tidak pernah dalam satu tahun kenaikan pajak di atas 1,5 persen dari PDB, atau pertumbuhan kenaikan pajak 5 persen di atas pertumbuhan nominal PDB. Sementara, sekarang itu penerimaan pajak diharapkan tumbuh lebih dari 30 persen. Menurut dia, ini yang   membuat pelaku bisnis ketakutan.

Keuntungan Korporasi Turun

Kekhawatiran Anggito semakin tampak nyata apabila mengamati kinerja dunia bisnis yang juga ikut melemah, antara lain karena pengaruh perlambatan perekonomian dunia. Dalam kuartal pertama tahun 2015, sebagian besar perusahaan mencatat penurunan keuntungan, yang pada gilirannya, akan berdampak pada penurunan penerimaan pajak.

Konglomerat otomotif seperti PT Astra International, perusahaan semen PT Semen Indonesia dan perusahaan manufaktur PT Indofood Sukses Makmur telah melaporkan jatuhnya keuntungan mereka pada kuartal pertama 2015.

PT Semen Indonesia mencatat penurunan laba bersih sebesar 9 persen. "Pada kuartal pertama ini permintaan jatuh secara tajam," kata Direktur Keuangan PT Semen Indonesia, Ahyanizzaman kepada Reuters. "Ini karena pelemahan ekonomi domestik maupun global," kata dia.

Indeks keyakinan konsumen yang dilansir oleh ANZ-Roy Morgan dapat menjadi gambaran lesunya sektor konsumsi, yang pada tahun-tahun lalu menjadi salah satu penghela pertumbuhan perekonomian. Menurut indeks itu, hanya   53 persen konsumen Indonesia merencanakan membeli peralatan rumah tangga pada bulan April, terendah dalam 18 bulan terakhir.

Penjualan sepeda motor, salah satu indikator kunci sentimen konsumen, anjlok 24,7 persen pada bulan Maret dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Penjualan mobil juga turun, salah satu pemicu penurunan laba Astra International sebesar 16 persen pada Maret 2015, dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

PT Indofood Sukses Makmur Tbk, salah satu penghasil mi instan terbesar di dunia, Kamis lalu melaporkan penurunan keuntungan sebesar 37 persen. Sementara Bank Mandiri, bank terbesar di Indonesia dalam ukuran aset, hanya mencatat laba 4 persen, lebih rendah dari yang diharapkan.

Terlalu Optimistis

"Pendapatan pada kuartal pertama secara jelas menunjukkan bahwa perekonomian kita sedang mengalami perlambatan," kata Jeffrosenberg Tan,  fund manager pada  Sinarmas Asset Management, yang mengelola dana investasi Rp 6 triliun.

“Masyarakat sedikit terlalu optimistis tahun lalu," kata Divya Devesh, seorang ahli strategi mata uang di  Standard Chartered Plc di Singapura.

Para pembela Jokowi berkilah bahwa kinerja Jokowi tidak seharusnya dihitung dalam ukuran bulan. Alan Richardson, manajer investasi pada Samsung Asset Management Co berpendapat niat presiden untuk menaikkan belanja negara untuk mendanai pembangunan pelabuhan, jalan dan rel kereta, memerlukan waktu untuk diterjemahkan menjadi pertumbuhan ekonomi.

"Mengharapkan hasil dalam enam bulan tidak realistis," kata dia.

Direktur Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Juda Agung mengatakan penurunan harga saham bersifat musiman dan tidak berkaitan dengan kebijakan pemerintah maupun eksekusi hukuman mati. "Investor menunggu dan melihat kinerja finansial korporasi yang ternyata di bawah target, tetapi kita berharap PDB akan lebih kuat  pada kuartal kedua dan  investor akan kembali lagi," kata dia.

Namun, investor asing tampaknya tidak melihatnya demikian, hal yang juga diperlihatkan oleh opini yang berkembang di media-media internasional. Eksekusi hukuman mati terhadap warga negara asing tersebut, dipandang sebagai pengabaian terhadap imbauan dunia internasional yang sangat masif, mulai dari Sekjen Perserikatan Bangsa-bangsa, para kepala negara, tokoh-tokoh bisnis dunia bahkan para artis terkenal.

Para analis politik melihat eksekusi mati tersebut memperkuat kesan negatif Jokowi di mata komunitas internasional dan memperlihatkan dirinya yang cenderung lebih berorientasi ke dalam negeri dibanding pendahulunya.

"Tontonan yang mengerikan ini mungkin telah mencetak beberapa poin (keuntungan) di dalam negeri tetapi telah merusak reputasi Indonesia di luar negeri," kata Paul Rowland. Bahkan di dalam negeri sendiri, menurut dia, Jokowi telah mengabaikan permintaan komunitas Hak Asasi Manusia (HAM) yang mungkin saja jumlahnya relatif kecil namun sangat berpengaruh, dan turut berkampanye untuk pemilihan dirinya pada Pilpres yang lalu.

Kritik lain yang cukup tajam diarahkan kepada Jokowi adalah caranya menanggulangi masalah narkoba yang dianggap hanya berdasarkan keyakinan pribadi tetapi belum terbukti kebenarannya. Ia secara teratur mengutip sebuah studi menunjukkan puluhan orang muda meninggal setiap hari di Indonesia karena penggunaan narkoba, tapi kritikus mempertanyakan metodologi penelitian dan kesimpulannya.

The Economist mengkhawatirkan eksekusi mati yang berpadu dengan kebijakan luar negerinya yang nasionalistis dapat membuat Indonesia kehilangan banyak teman di komunitas internasional. Kebijakan Jokowi yang meledakkan kapal-kapal nelayan asing (dengan mengecualikan kapal nelayan Tiongkok) dan eksekusi hukuman mati terhadap warga asing, menurut The Economist, lebih mencerminkan sebagai manifestasi nasionalisme domestik ketimbang alasan-alasan lain yang dikemukakannya, seperti demi pemberantasan pencurian ikan dan pemberantasan narkoba. Secara halus, The Economist menasihati agar Jokowi jangan sering-sering mempraktikkan langkah ini, sebab bagaimana pun, peran teman dalam dunia internasional sangat penting.

Dengan alasan yang sama,  The Foreign Policy  mengatakan, kebijakan Jokowi mengeksekusi warga asing terpidana mati narkoba merupakan langkah kotor (odius) dan salah arah. Namun, ia dinilai belum terlambat untuk 'bertobat.." Dia tidak perlu jauh-jauh mencari inspirasi. Cukup dengan mengarahkan pandangan kepada Fiji, yang pada 13 Februari lalu menjadi negara ke-99 menghapuskan hukuman mati, dan meninggalkan Indonesia yang masih tetap menjadi satu dari 58 negara yang mempertahankannya. (Bloomberg/Reuters/The Economist/The Foreign Policy/The Asian Wall Street Journal/The Guardian/news.com)

Editor : Eben Ezer Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home