Loading...
EKONOMI
Penulis: Reporter Satuharapan 16:30 WIB | Minggu, 24 Juli 2016

BUMN Perlu Arah Kebijakan Lebih Jelas

Ilustrasi. Pekerja mengamati Pusat Produksi Gas Pertamina EP Gundih di Blora, Jawa Tengah, hari Jumat (22/7). Pusat produksi gas tersebut memproduksi gas sebesar 50 juta kubik per hari yang disalurkan kepada PLTGU Tambak Lorok untuk kepentingan ketahanan energi di wilayah itu. (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN( sebagai agen pertumbuhan ekonomi nasional perlu ditingkatkan, antara lain dengan menentukan arah kebijakan yang lebih jelas oleh pemerintah, kata peneliti Kementerian Keuangan Irwanda Wisnu Wardhana.

"Kita perlu mencek apakah kepemilikan pemerintah yang lebih tinggi atau mayoritas akan meningkatkan efisiensi sosial. Dan, apakah efisiensi sosial yang lebih tinggi mempengaruhi efisiensi bisnis. Manakah posisi BUMN yang sesuai amanat konstitusi," kata Irwanda dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, hari Minggu (24/7).

Dirinya yang menyelesaikan program doktor ekonomi-politik di University of Texas, Amerika Serikat telah melakukan riset atas 126 BUMN di Indonesia.  

Setelah menerapkan analisis data envelopment sepanjang 2003-2013, dirinya mengemukakan ternyata sembilan BUMN terdepan dalam efisiensi sosial dan Bank Rakyat Indonesia paling efisien dan Pelni paling tidak efisien. Sementara 11 BUMN terdepan dalam efisiensi bisnis, Pertamina paling efisien dan Inhutani paling tidak efisien.

"Tak ada bukti kepemilikan pemerintah berhubungan dengan efisiensi sosial. Sementara itu, efisiensi sosial berhubungan negatif dengan efisiensi bisnis. Tujuan sosial akan mengorbankan capaian bisnis BUMN," katanya. 

Karena itu, ia mendorong perlunya penilaian kinerja BUMN yang lebih ketat dalam efisiensi sosial, seperti anggapan umum bahwa BUMN sering menjadi sapi perah atau sinterkelas.

Peneliti kebijakan restrukturisasi pada Kementerian BUMN Endra Gunawan, mengakui dilema yang dihadapi. Sampai 2015 terdapat 118 BUMN, menyusut dibanding tahun 2011 menjadi 141 BUMN dan 2013 139 BUMN. 

"Total aset BUMN saat ini sekitar Rp 5.395 triliun, meningkat 18 persen dibanding 2014. Kenaikan aset tak hanya karena efisiensi bisnis, tapi juga revaluasi aset tetap," katanya. 

Lima BUMN dengan aset terbesar adalah PLN, Bank Mandiri, BRI, Pertamina dan BNI. Karena kondisi ekonomi makro menurun, maka pendapatan BUMN tahun 2015 mencapai Rp 1.728 triliun pun turun dibanding tahun 2014 sebesar Rp 1.932 triliun. 

Laba bersih BUMN turun dari Rp 159 triliun menjadi Rp 150 triliun pada periode sama. "Target tahun 2016 ditingkatkan, pendapatan Rp 1.969 triliun dan laba Rp 172 triliun. Sepuluh BUMN dengan laba terbesar menyumbang 80 persen total laba BUMN," jelas Endra yang juga menjabat Sekretaris Dewan Komisaris BNI. 

Penyumbang laba terbesar adalah BRI, Telkom, Pertamina, Bank Mandiri dan PLN. Sementara total kerugian BUMN tahun 2015 mencapai Rp 5,8 triliun turun dibanding tahun 2014 sebesar Rp 10,2 triliun dan 2013 sebesar Rp 32,7 triliun. 

Total setoran pajak dan dividen BUMN tahun 2015 sebesar Rp 202 triliun menurun empat persen dibanding 2014 Rp 211 triliun, tahun 2016 ditargetkan meningkat Rp 206 triliun.

Peneliti kebijakan publik CIR, Novel Ariyadi, melihat konfigurasi politik nasional turut mempengaruhi kinerja BUMN, sehingga tak optimal. "Beda dengan Tiongkok yang dikendalikan kekuatan tunggal dan dominan, sehingga arah kebijakan dan target bisnis jelas. 

Holding BUMN Singapura (Temasek) dan Malaysia (Hasanah) juga lebih efektif ketimbang Indonesia yang belum jelas," kata Novel. Alumni Lee Kuan Yew School of Public Policy, NUS itu sepakat perlunya kebijakan nasional lebih tegas tentang peran BUMN. (Ant)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home