Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben E. Siadari 17:11 WIB | Rabu, 30 Desember 2015

Dana Ketahanan Energi Dianggap Liar dan Picu Gejolak Sosial

Ilustrasi: unjuk rasa menentang kenaikan harga BBM (Foto: Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM -  Menteri Energi dan Sumber Daya MIneral, Sudirman Said, mengatakan pemerintah masih terus memantan dan mendengar suara masyarakat perihal pungutan Dana Ketahanan Energi (DKE) yang rencananya akan dilakukan mulai 5 Januari mendatang.Menurut dia, semakin banyak masukan, semakin kritis, semakin baik.  Karena itu akan menjadikan  pemerintah lebih prudent

Menurut pemantauan satuharapan.com, sebagian besar tokoh publik, meminta agar pungutan DKE tersebut ditunda karena yang menjadi dasar hukumnya belum jelas. Simpang siur landasan hukum dan peruntukan dana tersebut, bahkan juga terlihat di antara sesama anggota kabinet. Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, bahkan mengatakan belum melihat proposal dari Kementerian ESDM sebelum ini.

Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto, pun bahkan mengakui belum ada landasan hukum pungutan DKE tersebut dalam sidang kabinet pada 23 Desember lalu.

Tidak mengherankan bila tokoh masyarakat mencurigai kebijakan ini. Ada yang menganggapnya sebagai pungutan liar. Yang lain menyebutnya car untung dari penderitaan rakyat. Bahkan ada yang menuduhnya sebagai jebakan. Pada akhirnya, jika pemerintah ngotot melaksanakannya, dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak sosial.

Berikut ini suara dari sejumlah tokoh masyarakat yang menyuarakan pembatalan pungutan DKE:

Cari Untung dari Keringat Rakyat
(Rieke Diah Pitaloka, Anggota Komisi IX DPR RI)

Dana Ketahanan Energi tidak bisa dipungut dari uang rakyat lewat BBM karena melanggar undang-undang. Dana Pungutan Ketahanan Energi didasarkan pada pasal 30 UU Nomor 30 tahun 2007 yang berbunyi  pengembangan dan pemanfaatan hasil penelitian tentang energi baru dan terbarukan dibiayai dari pendapatan negara yang berasal dari energi tak terbarukan.

Apabila patuh terhadap UU tersebut, maka sumber dana pungutan tidak boleh lagi mengutip dari uang rakyat. Tidak boleh diambil dari penjualan BBM kepada rakyat.

Apabila Sudirman Said menilai penjualan BBM kepada rakyat merupakan sumber pendapatan negara, berarti dia sedang mengarahkan Pemerintahan Jokowi keluarkan kebijakan cari untung dan ambil untung dari rakyatnya sendiri, bukan untuk lahirkan kebijakan yang menguntungkan rakyat.

Ini Sama dengan Pungutan Liar
(Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI)

Pungutan dana energi tersebut tidak jelas dasar regulasinya. Bahkan, telah terjadi penyimpangan regulasi karena yang disebut dalam Undang-Undang adalah depletion premium, bukan memungut dana dari masyarakat.

Karena itu, bila pemerintah tetap memaksakan pungutan dana ketahanan energi bisa dikatakan sebagai "pungutan liar" kepada masyarakat karena tidak pernah diatur dalam Undang-Undang.

Dana ketahanan energi tersebut juga berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan kebijakan nonenergi, bahkan kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan ketahanan energi karena lembaga yang mengelola dana tersebut tidak jelas.

Bila masih disatukan dengan dana APBN secara umum, maka potensi penyalahgunaannya sangat besar,

Bisa Memicu Gejolak Sosial
(Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)

Dapat dipahami respon publik yang merasakan terlalu banyak jenis pungutan dari negara, baik yang resmi maupun tak resmi. Sejarah mencatat jatuh bangunnya peradaban dan kekuasaan disulut oleh beban pajak dan pungutan yang tinggi.

Secara normatif,  pungutan DKE dimungkinkan jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi maupun Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Ketahanan Energi Nasional. Namun, pungutan oleh negara sesuai Pasal 23A Undang-Undang Dasar (UUD) hanya berupa pajak atau pungutan lain yang diatur dengan undang-undang khusus.

Karena belum ada UU sebagai pelaksanaan Pasal 23A tentang pungutan bukan pajak, maka kita tunduk pada UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).
Untuk itu perlu dibuat Peraturan Pemerintah (PP) khusus sebagai aturan pelaksana dari Pasal 23A UUD. Adapun skema pungutan DKE bisa meniru konsep dana perkebunan kelapa sawit (CPO Supporting Fund) yang dipungut oleh Badan Layanan Umum (BLU).
 
Tanpa ada PP yang mengatur jenis dan tarif pungutan DKE, pungutan DKE berpotensi melanggar UUD dan UU. Hal ini akan menambah persoalan di ruang publik, ditambah kemasan isu yang seolah tak peka pada beban rakyat.

Pemerintah diharapkan memperhatikan sisi regulasi dan transparansi tata kelola agar tiadk menimbulkan dampak buruk di masa depan. Setidaknya mulai diwacanakan bahwa pungutan ini masih konsep atau ide dan bisa diterapkan jika PP terbit dan dimasukkan dalam APBNP 2016.


Pengusaha Merasa Dijebak
(Ketua Umum BPP HIPMI, Bahlil Lahadalia)

Kondisi perekonomian Indonesia saat ini sedang terpuruk. Karena itu Dana Ketahanan Energi saat ini bukanlah suatu prioritas.

Saya pikir ekonomi kita sedang lesu, itu jangan dulu diterapkan, itu bukan skala prioritas. Kalau ekonomi kita sudah membaik okelah baru bisa diterapkan. Bagi pengusaha, itu berat. Kami nggak setuju. Memang itu bagus, tapi ada caranya, ada sosialisasinya, bukan mendadak begini. Dana ketahanan energi dapat diterapkan saat kondisi ekonomi Indonesia sudah membaik. Selain itu, penerapan dana ketahanan energi perlu disosialisasikan terlebih dahulu. Caranya membuat strategi yang teratur, kondisi ekonomi kita mesti baik dulu, ada sosialisasi dulu, buat undang-undangnya dulu. Ini kan melihat harga minyak turun lalu kita dijebak.

(Dari berbagai sumber)

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home