Loading...
SAINS
Penulis: Tunggul Tauladan 14:19 WIB | Rabu, 22 April 2015

Ekonom: Jogja Bisa Berubah jadi Comberan!

Public Lecture dan Refleksi Kritis Hari Bumi “Jogja Sold Out?” pada Rabu (22/4). Dari kiri ke kanan: Dr. Francis Wahono, Dodok Putra Bangsa, moderator, dan Aji Kusumo. (Foto: Tunggul Tauladan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Letak Yogyakarta yang berada di cekungan sangat ideal, khususnya untuk pertanian. Pasalnya, letak Yogyakarta yang dikelilingi oleh Gunung Merapi, Menoreh, dan banyak pegunungan lain, menjadikan tanah di tempat ini sangat subur. Ditambah lagi, Yogyakarta dialiri tak kurang dari tujuh sungai.

Namun, pemanfaatan tanah dan ruang yang tidak terkonsep secara baik, menjadikan cekungan tersebut terancam menjadi comberan.

Pernyataan di atas diungkapkan oleh Dr. Francis Wahono, ekonom yang menulis buku Ekonomi Hijau ketika berbicara pada acara Public Lecture dan Refleksi Kritis Hari Bumi “Jogja Sold Out?” pada Rabu (22/4) di Ruang Seminar Timur Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Gajah Mada (Fisipol UGM). Dalam acara tersebut, Romo Francis, demikian beliau biasa disapa, tak sendirian karena terdapat dua narasumber lain, yaitu Dodok Putra Bangsa (Aktivis lingkungan hidup), dan Aji Kusumo (Aktivis antipembangunan Apartemen Uttara).

Menurut Romo Francis, Yogyakarta adalah cekungan yang bisa berubah menjadi comberan jika tidak dipelihara dengan baik. Karunia yang ada di tanah Yogyakarta telah didapatkan secara alami karena di tempat ini dikelilingi oleh beberapa gunung dan dilewati banyak sungai. Karunia inilah yang membuat tanah di Yogyakarta menjadi sangat subur dan sesuai sebagai lahan pertanian.

“Jogja adalah cekungan yang bisa berubah menjadi comberan. Hal ini karena komersialisasi yang gila-gilaan dan tidak adanya penataan ruang yang baik mengancam Jogja jadi comberan,” demikian disampaikan oleh Romo Francis.

Di sisi lain, Romo Francis menilai bahwa komersialisasi yang semakin menggila di Yogyakarta dikarenakan aturan yang ada belum berpihak pada rakyat. Bahkan, Undang-undang Keistimewaan (UUK) yang telah disahkan pada 2012 silam tidak menyiratkan keuntungan bagi rakyat, melainkan hanya untuk elite atau penguasa semata.

“Menurut saya yang istimewa itu adalah kekuasaannya. Rakyat tidak dibuat istimewa. Akibatnya, pembangunan yang terlalu materialistik tersebut akan mengorbankan manusianya,” tambah Romo Francis.

Di sisi lain, Dodok Putra Bangsa menyoroti soal kolaborasi antara pengusaha, penguasa, dan intelektual. Menurut Dodok, komersialisasi yang marak di Yogyakarta terjadi karena adanya pengusaha yang memanfaatkan aturan longgar yang dibuat oleh penguasa. Di sisi lain, sebagai proses legitimasi, para pengusaha ini menggandeng kaum intelektual.

“Negara (penguasa) membela pengusaha. Sementara itu, intelektual ada di belakangnya,” kata Dodok.

Menurut Dodok, upaya yang dilakukan oleh dirinya dan masyarakat adalah jalan keluar karena berbagai sekat yang tidak memungkinkan untuk mengadu. Kekuatan massa adalah jalan terakhir yang diyakininya masih bisa dipakai untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Hal ini dikarenakan dirinya dan masyarakat mempunyai keresahan yang sama menyoal air yang semakin sulit didapatkan oleh sebagian masyarakat di Yogyakarta. Tudingan paling kuat mengarah pada komersialisasi bangunan, khususnya hotel dan apartemen yang semakin menjamur sehingga mengancam kelestarian air sebagai kebutuhan dasar manusia.

“Perjuangan bersama warga adalah limitasi terakhir, di mana air sebagai kebutuhan bersama telah terganggu,” ujar Dodok.

Aji Kusumo, aktivis lingkungan hidup yang mengadvokasi tuntutan warga ketika menolak pembangunan Apartemen Uttara, lebih menyoroti persoalan tanah di Yogyakarta yang mulai bersulih menjadi Sultan Ground (SG) atau Pakualaman Ground (PG). Menurut Aji, sejak 1984, Keraton dan Pakualaman sebenarnya sudah tidak memiliki tanah, namun hanya sebatas menguasai.

“UUK menyebutkan bahwa jika Keraton ingin memiliki tanah, maka harus mengajukan ke BPN dulu. Jadi kepemilikan tanah tidak secara otomatis. Hal ini karena sejak 1984, SG dan PG sudah tidak ada lagi,” jelas Aji.

Aji menilai bahwa jika tanah-tanah di Yogyakarta nantinya menjadi milik SG atau PG,  komersialisasi akan semakin marak terjadi. Pasalnya, pihak Keraton maupun Pakualaman mempunyai hak absolut untuk menjual tanah kepada pihak-pihat yang berminat. 

Editor : Eben Ezer Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home