Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 09:10 WIB | Rabu, 21 September 2016

Ekonomi Keugaharian Jadi Pergumulan Gereja dan Umat Kristen

Dosen Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, Martin Lukito Sinaga. (Foto: Prasasta Widiadi)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ekonomi keugaharian merupakan sebuah konsep yang saat ini masih dalam pergumulan dan berproses dalam gereja dan umat Kristen.

“Yang ideal tentang ekonomi keugaharian memang suatu pergumulan dan saya sekarang hanya mampu membuat tanda tanya, mari kita gelontorkan ini sebagai percakapan dalam gereja, yakni kita bisa membangun ekonomi Kristiani dengan keugaharian,” kata Dosen Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, Martin Lukito Sinaga, saat memberi materi di Kuliah Umum “Ekonomi (Keugaharian) Kristiani, Mungkinkah” di STT Jakarta, hari Selasa (20/9).  

Pendeta dari Jemaat Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Cijantung ini mengatakan saat ini bentuk keugaharian ini mungkin tidak disenangi oleh umat Kristen karena dengan itu, hasrat manusia modern tidak terpenuhi. Sebagai catatan keugaharian didefinisikan sebagai gaya hidup sederhana, mandiri serta armah lingkungan.

Dia memberi contoh bila seseorang ingin cepat menambah harta, biasanya orang memilih menabung di bank konvensional yang memberikan bunga tinggi, bukan dengan menerapkan pola hidup sederhana.

Di sisi lain, ia mengatakan saat ini harus ada pola kultur keugaharian yang ditanamkan gereja kepada umatnya, seperti tertuang dalam Galatia 6:2 yang berbunyi “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi Hukum Kristus.”

Berdasar kutipan tersebut, dia menjelaskan,  sesama  orang miskin atau sesama orang berkekurangan yang memiliki kelemahan boleh saling membantu meningkatkan taraf hidup ekonomi.

Contoh lain yang dia kemukakan yakni saat bertemu beberapa kelompok pemuda gereja tertentu. Saat dia menanyakan kepada sekelompok pemuda gereja tersebut akan bekerja dimana setelah menyelesaikan studi di perguruan tinggi. “Mereka menjawab ingin bekerja di perusahaan asing, mereka nggak mau jadi PNS, Polisi, atau TNI,” kata dia.

Bila ingin menerapkan semangat keugaharian, kata dia, harus mengingat semangat yang digelorakan salah satu mantan Presiden World Council of Churches (WCC) atau Dewan Gereja Dunia, Paulos Gregorios. Solusi yang tidak boleh dilupakan, menurut Gregorius, adalah konsep transfer kekayaan. “Jadi kekayaan itu harus ditransfer dari negara kaya ke negara-negara miskin, nah mungkin nggak itu ditransfer, itu persoalannya,” kata dia.

Menurut oikoumene.org, dalam sidang umumnya yang keenam, WCC menegaskan konsep diakonia dari gereja  adalah berbagi, penyembuhan dan rekonsiliasi. Konsep tersebut menuntut individu dan gereja-gereja memberikan dan berbagi sumber daya dari materi dari yang kaya untuk miskin dan untuk memungkinkan kemitraan praktis yang melibatkan banyak orang.  

Menurut Martin, semangat keugaharian juga disuarakan WCC yang mengusulkan konsep tentang garis ketamakan atau greed line. Martin mengatakan konsep tersebut berbeda dengan konsep garis kemiskinan yang sudah dikenal banyak orang di dunia, dia mendefinisikan garis atau batas ketamakan adalah konsep yang digunakan untuk mengukur jumlah kekayaan yang dimiliki seseorang dan membandingkannya dengan kondisi sosial, ekonomi, orang di sekelilingnya.

“Jadi WCC membuat garis batas ketamakan (greed line) untuk mengingatkan tentang ketamakan atau kerakusan seseorang,” kata Martin.

Martin mengemukakan konsep keugaharian terdapat dalam dokumen draft Pokok-Pokok Tugas Panggilan Bersama yang sempat dijelaskan dan dipresentasikan pada Sidang Raya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia tahun 2014 di Nias.

Dia menyatakan, dengan berdasar kepada draft tersebut spiritualitas keugaharian merupakan cara yang dikenalkan untuk menjawab tantangan globalisasi dan keserakahan. Dalam keugaharian dikenal pola dan gaya hidup sederhana, mandiri, serta ramah lingkungan. Tindakan tersebut merupakan panggilan bersama agama-agama maupun komunitas adat yang telah sekian lama menghayati hidup tersebut.

Dia menjelaskan untuk memupuk spiritualitas keugahari,  gereja-gereja hendaknya menjadi komunitas moral. “Hal ini akan terlaksana bila merujuk pada proses pemuridan yang sangat dibutuhkan sekarang,” kata dia.

Gereja bersama komunitas lainnya, kata dia, dapat mencari hal-hal apa saja yang menjadi basis kemaslahatan bersama mulai dari air minum milik umum, energi listrik milik masyarakat sampai pada infrastruktur pendidikan.   

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home