Loading...
OPINI
Penulis: Dr. Martin Lukito Sinaga 14:22 WIB | Selasa, 09 Juli 2013

Filsafat tentang Liburan bulan Juli

SATUHARAPAN.COM - Terkadang baik juga kalau kita memberi perhatian pada gagasan para filsuf, sekalipun kita hendak membicarakan kegiatan di bulan Juli ini: mengisi waktu luang dan liburan.

Mari kita mulai mendengarkan Immanuel Kant untuk hal itu. Baginya, mengenai kesibukan kita, yaitu menjadi orang yang pintar atau berpengetahuan adalah keasyikan manusia modern. Maka kita –dari SD sampai Universitas- rela melatih diri untuk  menjelaskan, memilah-milah, menyimpulkan lalu mendemonstrasikan. Aktivitas atau pun kerja bersekolah itu sesungguhnya sebentuk tindakan yang khusus dan eksklusif, bukan alamiah. Dalam belajar lalu bekerja, menurut Kant kita sesungguhnya hendak menegaskan penguasaan atas hal-ihwal di sekitar kita. Bekerja berarti mencoba mengetahui agar bisa menggarap dunia. Pendeknya, kata Kant, “the law is that reason acquires its possessions through work”.

Diam-diam cara hidup kita di negeri ini pun bergulir seperti itu. Orang suka mengenalkan dirinya sebagai orang yang berilmu, lalu selanjutnya sibuk bekerja demi mendemonstrasikan penguasaannya atas hidup ini. Dan tentu saja, setelah itu, sebentuk cerita dan bukti kemajuan diri dipatrikannya tebal-tebal. Dengan gelar akademis, seseorang sesungguhnya ingin tampak sebagai orang kaya. Ia mau bilang bahwa ia telah belajar siang-malam, bekerja dengan cemas lagi intens, dan dengan tangan-tangan yang berkeringat tak sabar. Meraup dunia.

Maka orang yang berilmu dan bekerja keras akan tampak sebagai orang yang tak bisa berhenti: mulai dari belajar, lalu mengerjakan tugas-tugasnya, menghitung hasil hidupnya, membangun kebesarannya, sampai membeli tanda-tanda sukses hidupnya, dan mengira puas kalau berjabatan tinggi. Tapi semua itu sebenarnya didasari pada satu tema modern yang terselundupkan ke dalam sukmanya: saya  harus mengetahui dunia, lalu menguasainya dengan bekerja keras, dan akhirnya melahapnya dengan tuntas tanpa sisa.

 

Belajar (lagi) cara Berlibur

Dalam satu Fragmen dari penyair Hölderin, dicatat momen liburan di waktu senggang secara mendalam, begini:

                        Aku berdiri damai di antara pemotong padi,

Seperti pohon elm yang rindang, sementara hidup bermain dengan manis.

Aku pun dilingkarinya,

seperti anggur dengan sekumpulan buah-buahnya.     

Konon, ungkapan bahasa Jerman dapat menjelaskan ihwal sajak Hoelderin ini dengan jitu, yaitu bahwa manusia modern yang berilmu dan bekerja keras itu melihat hidup dengan sikap Gestell –yaitu mengatur dan menguasai-, sementara langkah memasuki waktu senggang ialah dengan sikap Gelassenheit –membiarkan dan mengizinkan semua berlangsung-, lalu menemukan damai dan buah-buah kehidupan. Maka memang diajarkan bahwa dunia tidak perlu selalu diraup dan dicekau, tetapi diterima dengan rasa gratuitous; sebab ada yang turah dan terberikan dalam kelana hidup manusia.

Dalam pengertian umum –maaf saya kutip pikiran seorang Filsuf lagi,  Josef Pieper-, liburan atau waktu senggang adalah saat jeda dari kesibukan dan dari rutinitas. Ia bukan momen bermalas-malasan, tetapi –memakai asal kata Latinnya- ia momen scola, yaitu ‘luang” atau pun “rileks”. Dan dari kata scola inilah lahir kata school (dalam bahasa Inggris kita tahu semua artinya: sekolah). Jadi ia momen mempelajari dengan hati lapang makna manusia dan dunianya. Arti lainnya juga ialah leisure, yang terkait dengan sikap memberi izin dan berkenan (Perancis: leisir), agar jiwa bebas dan bisa menikmati waktu.

Maka, pada saat senggang itu sebenarnya ada aktivitas, namun aktivitasnya tidak hendak menguasai hidup dengan kerja keras, tetapi memasuki hidup dengan memperkenankan diri dibalut oleh dunia yang murah hati ini. Saat itulah manusia bisa meninjau dirinya agar jangan “diambil” oleh hasrat modern ingin berkuasa tadi, agar ia bisa bebas dari mitos menjadi kuat, sukses, makmur dan mapan. Waktu senggang ialah waktu membaca diri di hadapan kitab kehidupan ini, dan kita pun akhirnya sadar akan kemanusiaan kita yang hadir lebih karena ia terberikan dan diperkenankan, bukan karena ia meraih dengan sepenuh nalar dan kerja.

Ini mirip dengan renungan rabbi Abraham Heschel tentang hari Sabbath. Sabbath adalah waktu luang atau istirahat, sebuah momen yang bisa kita alami yang sesungguhnya meringkus keabadian itu sendiri. Saat beristirahat atau berlibur kita bertemu dengan apa yang akan diberikan Tuhan sebagai keselamatan pada kita, yaitu pesta di antara sahabat, hidup yang turah dan pemurah, dan bukan perlombaan memperbanyak pengetahuan, harta apalagi kekuasaan.

Jadi, pakailah waktu liburan dan istirahat ini, mumpung masih bulan Juli!

 

Penulis adalah dosen di STT Jakarta


BERITA TERKAIT
BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home