Loading...
OPINI
Penulis: Dr. Sri Yunanto 14:23 WIB | Selasa, 09 Juli 2013

Politisi Koruptor: Hantu Demokrasi

Dr. Sri Yunanto. (foto: satuharapan.com)

SATUHARAPAN.COM - Saat ini masyarakat Indonesia menunggu  Daftar Calon Tetap (DCT) anggota legislatif. Politisi yang ditetapkan nanti akan bertarung untuk memperebutkan suara di daerah pemilihan mereka. Jika mereka memperoleh jumlah suara yang cukup sebagaimana ditetapkan oleh KPU, mereka akan resmi menjadi wakil rakyat yang menduduki kursi DPR.

Bersamaan dengan proses verifikasi  bakal calon anggota legislatif, masyarakat  disuguhi oleh  drama patologi politik yang  dilakukan oleh pimpinan-pimpinan politik besar maupun kecil. Media  cetak, media elektronik, terutama TV dan media sosial secara gencar menyajikan tokoh tokoh utama, petinggi partai seperti ketua umum, bendahara partai besar dan menengah dan elit-elit lainnya beserta broker-broker politinya, terlibat kasus korupsi yang disertai dengan penyimpangan-penyimpangan moralitas yang terkait dengan  harta dan wanita.

Masyarakat yang sebenarnya antusias untuk berpartisipasi dalam demokrasi seperti menghadapi hantu menakutkan. Para koruptor politik itu seperti hantu yang menakut-nakuti masyarakat untuk memilih anggota lagislatif. Masyarakat takut yang akan mereka pilih bukan politisi ideal yang mempunyai moralitas kenegarawan yang tinggi. Masyarakat takut mereka tertipu, karena yang akan mereka pilih itu nantinya para koruptor yang menghianati dan mendzalimi mereka. Karena para politisi koruptor itu adalah perampok uang rakyat tetapi berbaju orang bijak.  Masyarakat kurang antusias menyambut DCS, sebab bagi mereka daftar itu bukanlh daftar pemimpin, tetapi daftar nama-nama yang berpotensi jadi hantu menakutkan.

Maka tidaklah mengherankan jika masyarakat kemudian lari dari hantu-hantu itu. Mereka tidak ingin melihat gambar-gambar para hantu itu, tidak akan memlihnya dalam Pemilu. Prosentase Golput yang hingga mencapai 40 persen membuktikan bahwa para kontestan yang berlaga itu layaknya hantu  demokrasi, bukan untuk didekati atau didukung. Pilihan Golput itu sebenarnya tidak hanya didorong oleh ketakutan.Bagi pemilih terdidik yang punya kesalehan tinggi, tindakan Golput merupakan tanggung jawab moral kepada dirinya dan Tuhan. Aktivis Golput nantinya tidak bisa bisa dimintai tanggung jawab apabila para politisi itu tidak berkwalitas

Dari sisi subyek korupsi yang dilakukan oleh politisi sedikitnya disebabkan oleh tiga faktor:  individu,  partai dan masyarakat. Faktor individual lebih karena ketamakaan para politisi yang sebenarnya sudah digaji tinggi oleh negara, tetapi masih mengumbar nafsu keserakahan dalam mengumpulkan harta harta haram. Faktor partai juga memberi kontribusi dalam beberapa hal, misalnya sejak awal sesorang dimasukkan dalam Daftar Calon sudah harus memberi “mahar” kepada partai. Selain itu, partai secara rahasia memberikan tugas kepada seorang politisi untuk mmecari dana partai melalui jarahan korupsi.

Bahkan ada yang mengemukanakan analisis bahwa salah  satu sasaran tersembunyi dari dibentuknya Badan Anggaran (BANGGAR)  adalah agar partai melalui wakilnya di badan tersebut bisa mengarahkan anggaran kepada proyek tertentu dan kemudian mendapatkan fee dari proyek tersebut.  Fee itu sebagain digunakan untuk membiayai kegaiatan partai, atau digunakan untuk mendanai perebutan kekuasaan di dalam partai, atau mengalir ke  kas partai untuk membiayai kegiatan partai. Sudah barang tentu retorika partai politik tidak akan mengakui tuduhan dan analisa itu. Bahkan koruptor yang menjadi anggota partai politik itu, jika menjadi tersangka atau terbukti di pengadilan, segara diberhentikan.

Faktor ketiga adalah masyarakat yang juga memberi kontribusi dalam mendorong politisi untuk melakukan korupsi. Jika diasumsikan sebagian hasil jarahan korupsi itu digunakan untuk membeli suara rakyat, maka secara tidak langsung rakyat  juga ikut menyuburkan praktik korupsi politik, karena mereka mengharap atau menyambut politisi yang akan menggunakan modal uang  sebagai kekuatan  atau investasi politik. Mereka akan mengembalikan modalnya dari korupsi yang akan mereka lakukan jika mereka memenagkan jabatan publik.

Masyarakat menjadi subjek dalam demokrasi

Selain aturan hukum yang ketat, sebenarnya masyarakat juga secara kolektif bisa  mencegah para politisi yang akan mereka pilih nantinya tidak korup. Prinsip demokrasi mengajarkan agar masyarakat menjadi subyek dari proses pencalonan, misalnya dengan  sukarela memberikan dukungan moral maupun material kepada calon legislatif yang menjadi preferensinya. Dukungan moral bisa dalam bentuk memberi masukan program partai yang diperlukan oleh masyarakat dan negara ini.

Rakyat juga bisa mengundang para calon anggota parlemen bertemu mereka, menjelaskan program mereka dan program partai jika mereka nantinya dipilih. Ada baiknya para politisi itu juga dibuatkan kontrak politik untuk berkelakuan baik dan membuat janji–janji politik yang lebih konkret. Masyarakat bisa menggunakan semanngat gotong royong untuk menciptakan politisi bersih, terutama sejak awal proses seleksinya. Dalam menyambut para politisi itu, sudah sejak awal paara pimpinan organisasi  mendeklarasikan penolakan terhadap para politisi yang akan memberikan uang kepada kelompok masyarakat, baik secara terbuka maupun tertutup.

Dukungan moral ini bisa dibarengi dengan dukungan  material, misalnya memberikan bantuan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk kampanye. Dalam hal ini, bukannya masyarakat mengharap pemberian uang dari para politisi pada saat kampanye, tetapi justru  masyarakat  secara gotong royong memfasilitasinya. Kegiatan ini bisa dilakukan, misalnya dalam kegiatan sosial keagamaan di mana masyarakat secara sukarela mengumpulkan dana untuk menyewa panggung, membeli konsumsi dan mengadakan bendera-bendera politisi yang dicalonkannya, kemudian mengundang politisi yang dianggap cocok untuk mewakili aspirasinya.

Soal yang muncul adalah sekarang ini Daftar Calon Sementara yang akan menjadi wakilnya nanti sudah terdaftar. Mereka ditetapkan oleh partai, bukan masyarakat. Mungkin saja di antara calon-calon itu ada yang sesuai dengan pilihan mereka. Jika mereka adalah politisi baik, masyarakat bisa mendukung mereka   Tetapi jika tidak ada yang dikenal, maka wajib hukumnya masyarakat mencari tahu dan mempelajari para calon tersebut, apakah meraka orang-orang baik yang akan memperjuangkan kepentingan mereka atau orang-orang yang berpotensi jahat, sebagaimana hantu yang menakutkan. Jika yang ditemukan adalah yang kedua, maka menjadi Golput sungguh wajib hukumnya.

Penulis adalah Dosen Ilmu Politik, UKI


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home