Loading...
SAINS
Penulis: Kartika Virgianti 17:17 WIB | Rabu, 27 Agustus 2014

Hak Siapa Harus Dilindungi, Nonperokok atau Perokok?

Para narasumber dalam seminar (dari kiri ke kanan) Wakil Pemimpin Redaksi KBR Rony Sitanggang, Pengurus Bidang Hukum dan Advokasi Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Muhammad Joni, dan Dr Irwan Julianto sebagai moderator. (Foto: Kartika Virgianti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dr Irwan Julianto, editor opini Harian Kompas yang baru menyelesaikan program doktor berkaitan dengan penanggulangan tembakau, menjelaskan ada upaya untuk menandingi Undang-Undang (UU) No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, melalui Rencana Undang-Undang (RUU) Pertembakauan dan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa merokok adalah hak asasi manusia (HAM).

Irwan, yang mengemukakan hal itu dalam acara seminar dan diskusi forum editor "FCTC vs RUU Pertembakauan" di Hotel Grand Sahid Jaya, Sudirman, Jakarta, Selasa (26/8), menduga industri rokok lewat garda depannya, mengajukan gugatan terhadap UU itu ke MK. Industri rokok menginginkan hak untuk merokok diakui sebagai HAM dan hak konstitusi sebagai warga negara. 

MK, yang waktu itu masih dipimpin Mahfud MD, kemudian berhasil meloloskan dua tuntutan Enryo Oktavian, Abhisam Demosa, dan Irwan Sofyan (perokok) terhadap Pasal 115 ayat (1) UU Kesehatan, untuk menghilangkan kata “dapat” dan merokok adalah salah satu HAM.

Dua tuntutan pun dikabulkan.

Pertama, pasal tersebut berbunyi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) antara lain: a) fasilitas pelayanan kesehatan, b) tempat proses belajar mengajar, c) tempat anak bermain, d) tempat ibadah, e) angkutan umum, f) tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan. Penjelasan pasal tersebut antara lain khusus bagi tempat kerja, tempat umum dan tempat lainnya “dapat” menyediakan tempat khusus untuk merokok (smoking area). Kata “dapat” itu dianggap ambigu, yang bisa diartikan suatu tempat tidak wajib menyediakan KTR.

Kedua, dengan dilarangnya merokok di tempat-tempat tersebut (tanpa menyediakan KTR) telah melanggar hak konstitusional dan HAM orang yang ingin merokok.

Bagi Irwan, merokok adalah hak individu. Bukan HAM.

Tempat khusus untuk merokok sebenarnya tidak efektif. Walaupun dalam gedung ada larangan merokok, pengelola tetap menyediakan ruang khusus untuk merokok, menyebabkan orang yang lewat berjarak beberapa meter pun bisa tetap menjadi perokok pasif karena bisa mencium bau dari asap rokok yang sangat berbahaya itu.

Orangtua yang merokok umumnya tidak menginginkan anaknya ikut merokok, karena itu mereka akan merokok di luar rumah. Tetapi, tanpa mereka sadari, residu rokok yang menempel di pakaian tetap akan terhirup anak-anaknya ketika mereka menggendong anak.

Merokok juga bisa menyebabkan ketimpangan sosial. Biasanya obrolan bermutu muncul ketika para perokok berkumpul. Kalau semua perokok tidak masalah, tetapi ketika ada satu saja yang tidak merokok, tentu akan sangat mengganggu. Selain ada kesempatan dan gagasan, pada sisi lain ada risiko besar bagi nonperokok.

Hak Hidup = Hak untuk Merokok?

Pengurus Bidang Hukum dan Advokasi Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Muhammad Joni, mengatakan HAM dan konstitusi bagai laut dengan air, tidak bisa dipisahkan. "Bagaimana mungkin memisahkan hak hidup dengan hak kesehatan, bagaimana mungkin bisa mengatakan kesehatan itu tidak terganggu dengan bahaya zat adiktif yang ada di dalam tembakau, dan bahkan terkandung juga zat karsinogenik (pencetus kanker)," dia menggambarkan.

Indonesia memang didesak meratifikasi perjanjian internasional Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau sering disebut Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Namun, Joni mengatakan, meratifikasi suatu konvensi internasional, bukan sekadar untuk harmonisasi norma universal menjadi norma kita, tetapi sebagai indikasi kita mengikuti syarat negara hukum.

“Negara bukan hanya sebagai penjaga malam, dalam arti hanya sebatas membuat regulasi dan mengatur. Namun, ada constitutional importance untuk melindungi hak warga, misalnya mencegah anak-anak menjadi perokok pemula. Jika FCTC tidak diratifikasi, berarti kita menunda keadilan bagi masyarakat, menunda perlindungan kesehatan,” Joni menjelaskan.

Pengajuan RUU Pertembakauan yang sudah lolos Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR RI tahun 2014 ini, dan tinggal menunggu tanda tangan presiden, merupakan pelanggaran, inkonstitusional, dalam arti bertentangan dengan UU No 36 tentang Kesehatan.

Komisi I DPR yang pernah menolak RUU Pertembakauan, sekarang menerima karena menganggap sebagai sesuatu yang dibutuhkan. Sikap DPR tersebut dianggap merupakan keberhasilan lobi industri rokok, yang tentu saja ada money politic di dalamnya.

“Upaya DPR untuk mengegolkan RUU Pertembakauan, mungkin kita bisa sebut pemaksaan kekuasaan, inkonsistensi dengan putusan MK,” ucap Joni.

Kisruh pengendalian tembakau di Tanah Air, sebelumnya juga terjadi saat Ribka Tjiptaning menjabat Ketua Komisi IX DPR pada Oktober 2010. Ia sempat menghilangkan Ayat 2 Pasal 113 UU No 36 Tahun 2009, ayat yang menyatakan tembakau adalah zat adiktif dengan dalih membela petani tembakau, sebagaimana diungkapkan sosiolog Universitas Indonsia, Imam Prasodjo.

Namun, upaya penghilangan ayat itu tidak terjadi. Seperti diberitakan banyak media massa pada waktu itu, Ribka sempat dilaporkan ke pihak Kepolisian oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Tetapi, sampai saat ini proses hukum tersebut tidak berlanjut.

UU No 36, 2009 tentang Kesehatan Pasal 113 berbunyi:

(1) Pengamanan penggunaan bahan zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.

(2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.

Seperti diketahui, Ribka Tjiptaning merupakan kader PDI-P, yang saat ini namanya disebut-sebut masuk dalam daftar calon kabinet presiden terpilih Joko Widodo untuk menduduki jabatan menteri kesehatan.

Maka perlu menjadi pertanyaan, hak siapa yang harus dilindungi, hak hidup, hak kesehatan, atau hak menikmati nikotin? "Ketika seorang anak bebas dari asap rokok di dalam keluarganya, itu baru namanya supreme rights," kata Joni.

Namun, berdasarkan putusan MK, rokok adalah produk legal, meskipun masih ada koma di sana. Berarti, saat ini rokok dianggap sama seperti air mineral dalam kemasan, pisang, biskuit. Ke depan, jika Indonesia berniat meratifikasi FCTC, akan ada aturan penjualan yang ketat dan harga yang sangat mahal, seperti dilakukan di 90 persen negara-negara dunia yang telah meratifikasi FCTC, misalnya Thailand, Inggris, Amerika Serikat, dan lain sebagainya.

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home