Loading...
SAINS
Penulis: Kris Hidayat 19:33 WIB | Sabtu, 19 April 2014

Hari Air dalam Relasi Agama dan Lingkungan

Sejumlah siswa SD mengikuti penyuluhan konsep air bersih ketika peringatan Hari Air Sedunia di Jakarta, Kamis (20/3). (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Jauh sebelum penentuan tanggal 22 Maret sebagai Hari Air Internasional dan 22 April sebagai Hari Bumi Internasional, ternyata seluruh ajaran agama sudah lebih dulu menuntun manusia untuk melestarikan lingkungan. Salah satu yang kasat mata terus melestarikan lingkungan adalah agama Hindu. “Kelestarian lingkungan disuatu daerah tergantung seberapa taatnya warga daerah tersebut kepada ajaran agamanya masing-masing”, ujar seorang Dosen Hindu Sekolah Tinggi Agama Hindu, Arya Suta, Rabu (16/4) dalam acara Agama dan Masyarakat yang digelar oleh portalkbr.com.

Sebagian besar orang pasti akan setuju dengan pendapat Arya tersebut. Bagaimana tidak, semua agama, apapun itu, pasti mengajarkan umatnya untuk hidup selaras dengan alam. Contohnya kata Suta, seluruh ritual keagamaan yang dilakukan oleh Agama Hindu pasti menggunakan air sebagai medianya, “Setiap ritual agama Hindu itu menggunakan air Tirta, apa itu, yaitu air penyucian. Jadi apapun yang akan kita lakukan itu diawali dengan penyucian”. Begitu pula dengan Agama Islam yang harus berwudhu terlebih dahulu sebelum melakukan shalat, tambahnya.

Oleh karenanya kata Suta, agama, apa pun itu, dan lingkungan tidak bisa dipisahkan sendiri-sendiri, sebab kata dia, akan terjadi ketidakharmonisan apabila dalam mengelola lingkungan tidak dilandaskan pada ajaran agama. “Di dalam Weda, keseluruhan alam semesta merupakan gambaran tuhan itu sendiri, jadi merusak alam, juga melawan tuhan (bencana)”, kata dia.

Menurut Kepala Departemen Kajian dan Penggalangan Sumber Daya, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nasional, Khalisah Khalid yang akrab disapa Isa, pemanfaatan alam secara tidak seimbang yang sudah menjadi kebiasaan manusia pada saat ini, dengan alasan kemakmuran bagi umat manusia ternyata malah menjadi boomerang dan memberikan dampak yang sangat buruk bukan hanya bagi manusia namun seluruh mahluk hidup yang ada di bumi. “Data dari Pemda DKI, 75% air di Jakarta sudah mengandung Ecoli, dan itu sangat membahayakan”, ujarnya.

Sebaliknya kata Isa, kemakmuran umat manusia yang menjadi tujuan dalam pemanfaatan alam secara berlebih malah tidak pernah datang namun, kehancuran bagi bumi malah semakin mengancam dihadapan kita. Tercemarnya air,tanah, bahkan udara hampir menjadi sesuatu yang biasa pada waktu kini . Lapisan ozon yang berlubang,efek rumah kaca, matinya spesies langka, berkurangnya sumber daya alam dan yang paling menakutkan adalah terjadinya global warming yang mampu mengubah iklim dan mencairkan es kutub. “Keserakahan manusia membuat ketidak harmonisan hubungan manusia dengan alam lingkungan malah membuat manusia mendekati lubang kehancuran yang amat menakutkan,” demikian Isa.

Khusus untuk air, kata Isa, seharusnya pemerintah mengelola langsung penanganannya dan tidak diserahkan kepada perusahaan tertentu. “Air jangan diprivatisasi, sebab kemungkinan untuk mengekploitasi berlebihan salah satu sumber tersebut bisa terjadi, misalnya perusahaan air minum kemasan,” ujarnya. Begitu juga dengan perkebunan dan lain sebagainya.

Meski demikian, ternyata tidak semua masyarakat acuh dengah kelestarian lingkungan. I Gusti Agung Prana, Ketua Yayasan Karang Lestari memiliki metode sendiri menjaga kelestarian lingkungan daerahnya. Lebih dari dua dasawarsa, Teluk Pemuteran, di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng mengalami kerusakan terumbu karang dan biota laut yang parah. Akibatnya, hasil tangkapan nelayan di sana pun menjadi sangat berkurang karena kemiskinan penduduk sekitar membuat mereka lebih destruktif dalam memanfaatkan potensi laut Teluk Pemuteran. “Seharusnya, keharmonisan antara manusia dengan lingkungan tidak boleh diabaikan. Sebab kalau tidak, rugi sendiri nantinya”, kata Agung.

Agung yang dibantu beberapa kawannya telah merubah wilayah tersebut menjadi Taman Terumbu Karang yang sangat mengagumkan. Selain menjadi destinasi pilihan para wisatawan dengan keunggulan potensi lingkungan yang indah, lestari, dan menampilkan berbagai kearifan lokal, juga menjadi contoh pariwisata berkelanjutan di dunia. “Menjadi contoh dunia karena Yayasan Karang Lestari meraih dua penghargaan dari badan PBB yang bergerak di bidang pembangunan”,ujarnya.

Menurut Isa, pemuka agama sangat berperan disini. Karena kata dia, selain memberikan pengajaran yang baik kepada warga soal keterkaitan hidup berdampingan dengan alam, pemuka agama juga bisa menekan pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk cerdas dalam mengelola alam. “Misalnya, Muhammadiyah pernah mengajukan Yudisial Review terkait privatisasi air”. Meski sedang proses, setidaknya pemerintah sedikit takut kepada pemuka agama, karena kata dia, hal serupa pernah dilakukan oleh Walhi, namun di tolak mentah-mentah.

Di daerah, kata Isa, banyak pemuka agama yang terlena dengan iming-iming pengusaha untuk bisa memengaruhi masyarakat supaya menyerahkan lahannya atas nama kemaslahatan bersama. “Akibatnya, tidak sedikit masyarakat adat yang menjadi korban, mereka terusir dari tanah nenek moyangnya yang sudah terbukti bisa mempertahankan kelestaria lingkungan selama ratusan bahkan ribuan tahun”. Dia berharap, kedepannya ada sinergitas antara pemerintah, pemuka agama, dan masyarakat agar bencana tidak terus menerus singgah di Indonesia dan bahkan di dunia.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home