Loading...
OPINI
Penulis: Posman Sibuea 00:00 WIB | Senin, 19 Oktober 2015

HPS dan Kedaulatan Pangan

SATUHARAPAN.COM - Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS), 16 Oktober menjadi saat yang tepat berkontemplasi bagi anak bangsa yang mengusung semangat reformasi nasional menuju masa depan kedaulatan pangan  yang lebih baik. Di tengah semangat itu kita pun dirisaukan dengan rencana pemerintah yang akan mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton dalam waktu dekat.

Rencana impor beras yang cukup beras ini sangat kontras dengan tema HPS 2015 bertajuk “Pemberdayaan Petani Sebagai Penggerak Ekonomi Menuju Kedaulatan Pangan”. Petani lokal semakin tidak berdaya ketika pasar akan dibanjiri beras impor yang sudah pasti menekan harga dan petani semakin tidak dapat untung dari usaha taninya.

Rencana membuka kembali kran impor beras mengindikasikan bahwa Indonesia tidak bisa bangkit di sektor yang seharusnya ia unggul. Kita menghuni negeri agraris yang dikenal subur dan memiliki lahan pertaniaan pangan yang sangat luas tetapi tidak memiliki nasionalisme pangan dan tidak mampu berdaulat di bidang pangan.

Untuk membangun kedaulatan pangan itu sesungguhnya bukan sesuatu yang sulit mengingat alam dan iklim di Indonesia sangat mendukung. Ketika dunia mengalami gejolak pangan, Indonesia seharusnya bisa menjadi pemasok dan pemberi makan dunia Sayangnya  pemerintah tidak mampu mengelola kekayaan sumber daya pertanian yang dimiliki dan kekuatan sumber daya manusia yang lebih dari 65 persennya berprofesi sebagai petani. Ironisnya, Indonesia malah sulit lepas dari jerat produk pangan impor, bahkan menjelang target swasembada pangan yang ditetapkan pemerintah pada 2017 mendatang.

 

Roh keberpihakan

Peringatan Hari Pangan Sedunia yang ke 35 bisa menjadi media evaluasi sektor pertanian  untuk membangkitkan ketahanan pangan yang mandiri dan beradaulat. Momentum  ini diharapkan memiliki roh keberpihakan pada petani lokal yang sudah lama mengalami proses pemiskinan karena harga pangan yang makin mahal. Sayangnya meski makin mahal, petani tetap miskin. Postur kedaulatan pangan nasional  makin mengkhawatirkan. Perubahan iklim dan alih fungsi lahan yang kian signifikan disebut-sebut sebagai biang pemicu proses perapuhan kedaulatan pangan. Kedua faktor ini pendorong penurunan produksi dan menjadi mesin pengatrol harga  yang menetaskan kelaparan dan mementuk kantong-kantong kemiskinan baru di Tanah air.

Satu hal yang acap terlupakan adalah sektor pertanian sudah terlalu lama dianaktirikan. Kehadirannya sebagai penyokong utama kebutuhan pangan masyarakat termarginalkan oleh hiruk-pikuk industrialisasi dan jasa. Kedua sektor itu –  disokong kekuatan modal berskala besar –  dianggap sebagai mesin pertumbuhan ekonomi nasional.

Sektor pertanian secara perlahan dan pasti  kehilangan taji untuk berkiprah lebih banyak dalam pembangunan ekonomi. Bangsa  yang menyandang predikat negara agraris, pemerintahnya punya hobbi ”mengimpor” segala jenis produk pangan untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Bahkan untuk beras, katup impor seolah tak pernah tertutup.

Ironis sebagai negara agraris, Indonesia selalu berhadapan dengan persoalan pemenuhan kebutuhan pangan warga. Lahan pertanian yang luas, tidak menjadi jaminan sektor pertanian bisa menjadi tulang punggung peningkatan kesejahteraan, khususnya untuk mengatrol tingkat pendapatan petani di atas garis kemiskinian.

Kesadaran mengenai pentingnya mewujudkan kedaulatan  pangan, sejak lama sudah disuarakan banyak pihak. Yang tidak sekadar berorientasi pada swasembada pangan untuk pilar pertumbuhan ekonomi, tetapi lebih jauh dari itu, yakni pemenuhan pangan memberi dampak pada aspek politik, sosial dan kedaulatan bangsa (Sibuea, 2010).

Rumusan itu tidaklah berlebihan. Pangan bisa menjadi senjata politik, manakala sebuah negara sangat bergantung pada negara lain. Pangan juga bisa menjadi pemantik kerawanan sosial, ketika kebutuhan tak tercukupi yang menetaskan  anarkis warga. Singkatnya pangan menempati posisi strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena menyangkut urusan perut.

Namun kehidupan petani di negeri  yang subur dan makmur ini menjadi potret kemiskinan yang hanya menarik dibicarakan dalam beragam seminar. Kesejahteraan hidup pahlawan kedaulatan pangan ini  terus dibalut lingkaran kemiskinan. Meski suatu daerah dikenal sebagai  lumbung beras di Tanah Air, para petaninya tidak mencerminkan layaknya petani dari daerah yang melimpah beras. Kemiskinan struktural menggilas kehidupan mereka sepanjang waktu.

 

Masih jalan di tempat

Sampai kapan masyarakat menunggu buah kebangkitan pertanian? Janji-janji pemerintah dalam teks Nawacita belum terbukti. Revitalisasi pertanian yang menjadi gerbong kedaulatan pangan seharusnya dimulai dari hal paling prinsip yakni penataan dan pembangunan berbagai sarana infrastruktur pertanian dan perdesaan mulai jaringan irigasi utama hingga jalan desa masih jalan di tempat. Kewajiban pemenuhan berbagai sarana produksi yang dibutuhkan petani, yakni benih unggul, pupuk, obat-obatan, dan alsintan masih terbengkalai. Perluasan akses kredit bagi petani  belum menjadi prioritas.

Yang menjadi menarik disimak meski petani di negara agraris ini digelari supergurem,  secara nasional mampu mengatrol laju pertumbuhan ekonomi secara spektakuler. Dalam perjalanan 70  tahun Indonesia merdeka, sektor pertanian tercatat pernah menjadi primadona dan leading sector yang mampu menjadi gerbong yang menghela pertumbuhan perekonomian sekitar 70 persen dari produk domestik bruto dan menjadi mesin pencipta lapangan kerja pada masa krisis moneter 1997.

Sektor pertanian yang dianggap berhasil ini akhirnya memunculkan persepsi bahwa pembangunan pertanian akan bergulir dengan sendirinya  (taken for granted). Persepsi keliru ini kembali meruntuhkan sektor pertanian ke titik nadir karena melupakan prasyarat pemihakan dan kerja keras seperti dilakukan sebelumnya ketika membangun fondasi pertanian yang tangguh hingga tercapai swasembada beras tahun 1984.

Pembangunan pertanian sebagai ujung tombak kedaulatan pangan  harus dimaknai untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia.  Kesadaran ini tentu mengandung implikasi bahwa semua energi dan sumber daya pembangunan, akan diarahkan untuk memajukan sektor yang satu ini guna menstabilkan harga berbagai komoditas pangan sehingga semua warga dapat akses  karena terjangkau daya beli.

Harapan dari peringatan HPS tahun ini, pemerintah harus konsisten membangun sektor pertanian untuk tidak termarginalkan arus besar modernisasi dan industrialisasi yang didukung kekuatan kapital berskala besar. Jika masyarakat terlalu lama menungggu ”godot” kebangkitan pertanian, implikasinya pemerintah gagal membangun ketahanan pangan yang mendiri dan berdaulat. Kegagalan ini akan melahirkan persoalan serius bangsa karena warganya berada di bawah bayang-bayang ancaman kelaparan yang berpotensi menurunkan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia di masa datang.

 

Penulis adalah Guru Besar Ilmu Pangan di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan. Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser).


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home