Loading...
OPINI
Penulis: Ira Indrawardana 00:00 WIB | Kamis, 15 Oktober 2015

Memaknai Seren Taun Rayagung AKUR Sunda

SATUHARAPAN.COM – Upacara adat Seren Taun merupakan upacara syukuran adat pasca panen serta memohon berkah dan perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk tahun yang akan datang. Seren Taun yang diselenggarakan oleh masyarakat AKUR (Adat Karuhun Urang) Sunda Cigugur selalu diselenggarakan pada tanggal 22 bulan Rayagung dalam perhitungan tahun Saka.

Upacara adat Seren Taun ini merupakan tradisi upacara adat masyarakat Sunda yang berupaya mempertahankan tradisi Sunda, yang dilaksanakan terutama oleh para penganut Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa komunitas adat Sunda Wiwitan. Namun demikian dalam pelaksanaannya mulai dari persiapan dan pelaksanaannya melibatkan berbagai komponen masyarakat dari berbagai daerah di Jawa Barat dan berbagai individu yang berbeda keyakinan keagamaan.

Kegiatan upacara adat Seren Taun ini pernah dilarang selama kurang lebih 16 tahun setelah pembubaran PACKU (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang) oleh Muspida setempat, yaitu baik itu oleh Pemda, Kejaksaaan Negeri, Kantor Polres dan kantor Depag serta MUI Kuningan dengan alasan bahwa upacara adat Seren Taun dianggap sebagai upacara pengikut ADS (Ajaran Djawa Sunda) yang pernah dilarang pada tahun 1964.

Padahal tradisi Seren Taun adalah tradisi kebudayaan masyarakat Sunda yang sudah ada sejak dahulu kala, bukan semata-mata merupakan tradisi bentukan baru dalam paham ADS. Pada kenyataannya pun, pelaksanaan kegiatan upacara adat Seren Taun tersebut dari mulai pra dan saat pelaksanaannya diikuti oleh berbagai penganut keyakinan keagamaan, bahkan pada puncak ritualnya dilaksanakan doa bersama oleh masing-masing perwakilan tokoh rohaniwan berbagai agama.

Apa Maknanya?

Pada hakikatnya upacara adat Seren Taun yang dilaksanakan masyarakat AKUR Cigugur ini selain wujud budaya spiritual masyarakat Sunda khususnya dalam bersyukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga sebagai “panggeuing” atau “wujud spiritual penggugah” kesadaran bagi setiap manusia yang harus saling “asih, asah, asuh” dengan sesama manusia dan semua makhluk dan ciptaan Tuhan. Selain itu juga untuk membangun kesadaran sebagai suatu bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.

Kalau kita menilik pada pemaknaan nama Gedung Paseban Tri Panca Tunggal bahwa makna penamaan gedung itu hakekat tak ubahnya seperti diri pribadi manusia sendiri. Paseban sebagai tempat “nyebakeun” atau “penyerahan” artinya seperti halnya kita sebagai manusia harus senantiasa berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tri Panca Tunggal sebagai filosofi bahwa dalam diri manusia mengandung tiga (Tri) unsur spiritual berupa sir, rasa dan pikir. Sir adalah awal mula getaran kehidupan yang menggerakan berbagai hal dalam diri manusia. Rasa adalah bentukan getaran sir sebagai tempat berbagai macam keinginan. Pikir adalah bentukan getaran sir yang menimbulkan berbagai upaya yang akan dilakukan. Panca sebagai pemaknaan bahwa adanya berbagai dorongan dari ketiga unsur tadi diimplementasikan dakam berbagai panca inderawi yang ada dalam diri manusia. Tunggal memiliki makna bahwa segala daya upaya gerak dan perilaku manusia dalam kehidupannya semata-mata dilanbdaskan pada kesadaran diri dalam ketunggalan bersama Tuhan Yang maha Esa. Sehingga pelaksanaan upacara adat Seren Taun yang selalu dilaksanakan di wilayah Paseban Tri Panca Tunggal itu diorientasikan agar setiap pelaku kegiatan upacara berupaya untuk mencapai kesempurnaan selayaknya sebagai manusia yang berkepribadian MANUSIA. Apa maksudnya?

Upacara adat Seren Taun selalu berpusat di tugu yang berdiri di halaman depan Gedung Paseban. Tugu itulah pusat kosmologis upacara adat, yang memiliki ikon-ikon yang sarat simbol. Ada lima ikon dengan pemaknaan sbb: (1) ikon Dua Kera yang sedang memegang mulut dan menutup kemaluan (bs.Sunda, larangan) sebagai simbol lelaki dan perempuan yang harus menjaga omongan dan kehormatan diri. (2) Buta Banaspati menyimbolkan banyak hal yang menantang dan menggoda dalam dinamika hidup. Jika orang terjebak ke dalam dinamika itu, maka si Buta hanya akan tertawa karena berhasil memperdaya manusia. (3) Gapura merupakan simbol gerbang kehidupan manusia. Saat keluar dari gapura, maka manusia akan menemui kehidupan nyata. Gapura adalah batas antara diri dengan dunia luar, antara mikrokosmos dengan makrokosmos. (4) Tugu Tiang Bendera menjadi simbol tujuan hidup sejati manusia. Tidak semua manusia berhasil mencapai tujuan itu, karena ketika melewati “gapura” dia dihadang si Buta Banaspati dengan seluruh cobaan dan godaan.

Kelima ikon itu mau mengingatkan kita untuk cermat dan senantiasa berhati-hati dalam menjalani hidup ini. Orang diminta menjaga setiap ucapan, perbuatan maupun implementasi berbagai keinginan yang timbul dari hawa nafsu dalam diri kita. Jika kita tidak waspada, maka setiap perkataan, perbuatan dan nafsu-nafsu dalam diri kita justru membuat kita terjebak ke dalam dinamika kehidupan, sebagaimana yang diinginkan si Buta Banaspati, sehingga kehilangan orientasi untuk mencapai tujuan hidup yang sejati. Pepatah Sunda mengingatkan, “nafsu nu matak kaduhung, badan anu katempuhan”. Artinya, kita hanya dapat menyesal, sementara raga inilah yang harus menanggung akibatnya. Hanya jika mampu mengendalikan diri dan mencapai tujuan sejatinya, maka kita menjadi MANUSIA, yakni Makhluk Agung Nan Unggul Sempurna Idaman Allah. Itulah tujuan ajaran Sunda Wiwitan: Manunggal kawula lan Gustina.

Bhinneka Tunggal Ika

Walau masyarakat Sunda Cigugur berbeda-beda dalam keyakinan, namun mereka memiliki pemahaman sama terhadap upacara adat Seren Taun sebagai tradisi warisan leluhur Sunda, khususnya leluhur Sunda Cigugur. Karena pemaknaan yang sama terhadap upacara Seren Taun itulah, maka warga masyarakat Sunda Cigugur merasa sadar untuk menjaga dan mempertahankan adat Sunda.

Upacara ini makin dikembangkan akhir-akhir ini, dengan dibimbing nilai budaya setempat, bahwa ”nu penting sapangartian sanajan teu sapangakuan”. Artinya ”yang penting satu pengertian meskipun berbeda pengakuan”. Prinsip ini selalu dijunjung bersama sehingga terjadi komunikasi yang efektif antar peserta upacara yang berbeda keyakinan.

Dengan prinsip itu pula dihargai pilihan-pilihan bebas individu maupun kelompok keyakinan di dalam memaknai upcara adat. Mereka bebas memaknai dan saling mengomunikasikan pemaknaan dengan kelompok lain, baik antara tokoh atau rohaniawan maupun di antara umat penghayat. Pada gilirannya setiap individu dalam masing-masing kelompok keyakinan memiliki kebebasan dalam keterlibatannya pada pelaksanaan upacara adat Seren Taun ini.

Karenanya, upacara adat Seren Taun Masyarakat Adat Karuhun Sunda Cigugur bukan semata-mata sebagai wujud upacara tradisi ritual masyarakat agraris, tetapi sarat dengan nilai dan keteguhan dalam menyadari sebagai manusia dan bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.

 

Penulis adalah Dosen Antropologi Departemen Antropologi FISIP UNPAD, sedang menyelesaikan studi S3 bidang kajian Antropologi di FISIP UNPAD


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home