Loading...
RELIGI
Penulis: Kris Hidayat 08:13 WIB | Senin, 22 Desember 2014

Ibadah Seberang Istana: Perjuangan Ketika Cinta Kasih Mangkir

Ibadah Seberang Istana: Perjuangan Ketika Cinta Kasih Mangkir
Pendeta Margie Ririhena De Wana menyampaikan khotbah dalam Ibadah di seberang Istana Merdeka, Minggu (21/12). (Foto-foto: Kris Hidayat)
Ibadah Seberang Istana: Perjuangan Ketika Cinta Kasih Mangkir
Jemaat GKI Pos Kebaktian Taman Yasmin Bogor, jemaat HKBP FIladelfia dan simpatisan tengah beribadah.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pendeta Margie Ririhena De Wana, yang pernah melayani Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Jemaat Horeb, Jakarta Timur memimpin ibadah dua mingguan di seberang Istana Merdeka yang biasa digelar jemaat GKI Pos Kebaktian Taman Yasmin Bogor dan Jemaat HKBP Filadelfia Bekasi pada Minggu (21/12) siang.

Dalam khotbahnya di ibadah itu Pendeta Margie Ririhena De Wana menegaskan bahwa ada beragam absensi dalam kehidupan berbangsa karena mangkirnya cinta kasih antar sesama. Oleh karena itu menurutnya, jemaat perlu tetap berpengharapan dan berjuang di tengah setiap kekecewaan.  

Berikut khotbah yang dibawakan Pendeta Margie Ririhena De Wana:

Arsitek Daniel Libeskind yang membangun kembali gedung-gedung pencakar langit yang hancur akibat serangan peristiwa 11 September 2001 di New York Amerika Serikat, memberi tema rancangannya, Reflection on Absence, sebuah rancang bangun yang merefleksikan absennya kemanusiaan, sehingga menyebabkan ribuan orang yang tak berdosa meninggal dunia. Reflection on absence menggambarkan betapa mengenaskannya sebuah realitas, dimana ketika cinta kasih mangkir, maka kedurjanaan yang hadir.

Bacaan Alkitab Lukas 1:26-38, di dalamnya ada narasi penantian (adventus) yang adalah sebuah perjalanan untuk menghidupi pengharapan di tengah kehampaan, kekecewaan dan keterkejutan yang dialami.

Bayangkanlah kehampaan, kekecewaan dan keterkejutan Maria seorang perawan yang baru bertunangan, ketika mendengar malaikat berkata bahwa ia akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki.

Sebuah berita yang mengejutkan yang menampar wajahnya, menjatuhkan harga dirinya dan Yusuf tunangannya. Maria menggambarkan beragam perasaan, campuran antara kesangsian, ketakutan juga rasa malu apabila berita yang dibawa oleh Malaikat itu benar.

Dalam perasaan yang bercampur itu Maria mendapat  jawaban dari malaikat, yang menyentuh hatinya, bahwa Roh Kudus yang merupakan kuasa Allah akan dikaruniakan atasnya sehingga melalui dirinya (tubuhnya), Maria dipakai menjadi sarana kehadiran dan kelahiran Allah.

Pada sisi yang lain Injil Lukas menunjukkan pengalaman Elisabet –saudara Maria– seorang perempuan yang disebut mandul oleh masyarakat. Pengalaman Elisabet secara tiba-tiba di sini membuat Maria percaya dan belajar dari pengalaman iman sanak saudaranya.

Elisabet, sebagai perempuan mendapatkan pelabelan buruk, perempuan tak berharga karena tak mampu memberikan keturunan. Sepanjang usia perkawinannya Elisabet menghadapinya dengan kepala tertunduk karena malu, penuh dengan airmata, karena seringkali dipandang menjadi penyebab satu-satunya “malapetaka” dalam keluarga karena ketidakmampuan melanjutkan garis keturunan Zakaria.

Maria dan Elisabet adalah simbol perempuan sekaligus manusia  yang akan dan telah mengalami pengalaman-pengalaman yang tak terbayangkan sebelumnya, kegetiran dan kepahitan panjang karena tudingan buruk dari masyarakatnya untuk sesuatu yang tidak mereka lakukan.

Injil Lukas mencatat perkataan malaikat, “Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil.” Pernyataan ini seakan menjadi spirit baru yang menegaskan untuk terus berpengharapan di tengah kesangsian, kegundahan bahkan kekecewaan yang dialami. Maria berpengharapan pada Allah.

Karena itu jawaban Maria, “jadikan seusai dengan apa yang Kau ingini (Fia Voluntas Tua).” Ini adalah doa indah Maria yang bersedia untuk dipakai tubuhnya, melanjutkan karya sekalipun harus berhadapan dengan realitas yang akan menolaknya. Hal yang sama terjadi pada Elisabet yang tak kenal undur untuk terus bersama dengan Zakaria, suaminya yang pada akhirnya dapat melepaskan kegundahan itu karena dikaruniai seorang putra yaitu Yohanes pembaptis.

Maria dan Elisabet adalah simbol manusia yang tetap sedia melanjutkan perjalanan karena ada harapan, walau mereka tak pernah tahu bila jalan hampa itu akan berakhir.

Bila sampai sekarang jemaat GKI yasmin dan jemaat HKBP Filadelfia serta para sahabat masih beribadah di depan rumah besar kita bersama Istana Merdeka, sejujurnya kita tengah mengalami beragam absensi dalam hidup berbangsa.

Itupun sesungguhnya dikarenakan negara absen untuk memberikan rasa adil bagi sebagian masyarakat yang selama bertahun-tahun telah diusir dari tempat beribadah sendiri, tempat beribadah yang secara sah dan berkekuatan hukum tetap seyogyanya digunakan untuk ruang beribadah umat. 

Kita memasuki masa advent keempat, di mana beragam peristiwa yang menunjukkan absennya cinta kasih telah mengakibatkan kekerasan terjadi di berbagai ruang. Kekerasan terhadap perempuan dan anak (khususnya kekerasan seksual) marak berlangsung di sekitar kita.

Kekerasan bersenjata di berbagai belahan dunia, bahkan di daerah paling timur dari negara kita di Paniai, sesungguhnya telah menambah daftar panjang kasus yang membuat luka bagi kita semua khususnya para korban dan keluarga korban yang terluka bahkan terbunuh dengan menggunakan senjata yang dibeli oleh uang rakyat.

Lemahnya sistem hukum dan impunitas menyebabkan hilangnya keamanan masyarakat. Berkali-kali korbanpun dipersalahkan, Itu karena dia memakai pakaian ketat, itu karena dia jalan di tempat gelap, itu karena mereka membangun gedung gereja di wilayah yang mayoritas beragama yang berbeda dan beribu alasan yang dicari-cari untuk dipakai sebagai pembenaran perilaku brutal dan kekerasan pada sesamanya manusia.

Tentu di saat-saat seperti ini, kita berharap negara menjemput para korban yang terluka selama ini, yang tersakiti dan terabaikan untuk didengar dan menemukan solusi yang terbaik sesuai dengan apa yang seyogyanya dilakukan oleh negara.

Tetapi sampai di ibadah minggu terakhir tahun 2014 di depan istana kita belum melihat itikad baik pemerintah memberikan hak bagi kita beribadah di ruang ibadah kita sendiri.

Dalam konteks seperti ini kita memasuki adventus keempat, dan saya pun meminjam tema yang diberikan Daniel Libeskind reflection on absence, di mana di tengah-tengah ruang absen itu kita mau belajar dari ibu Maria dan ibu Elisabet walau dengan ketidaktahuan bila jalan panjang penantian, kegundahan bahkan kekecewaan ini berakhir,  tetapi kita terus menjalani harapan itu “Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil.”

Ayat ini bukan untuk meninabobokan kita dan menjadi bersikap pasif, tetapi ayat yang mendorong kita untuk memasuki adventus keempat dengan aktif.

Dalam konteks kita untuk terus menyuarakan keadilan yang telah dirampas, untuk terus mendesak pemerintah agar hak kita untuk beribadah di rumah-rumah ibadah kita yang sah dapat dilakukan tanpa rasa cemas karena ancaman orang-orang yang dapat memaksakan kehendak bagi sesamanya manusia.

Tetaplah berbuat baik!

Pendeta Margie mengakhiri ibadah dengan doa syafaat bagi bangsa dan pemerintahan, serta memberkati jemaat. Namun sebelumnya Pendeta Margie membacakan kutipan kata-kata yang pernah disampaikan oleh Mother Teresa, pejuang kemanusiaan dari India:

Apabila engkau berbuat baik, orang lain mungkin akan berprasangka, bahwa ada maksud tersembunyi dibalik perbuatan yang engkau lakukan, tetapi tetaplah berbuat baik..

Apabila engkau sukses, engkau mungkin akan mempunyai banyak teman tetapi juga musuh yang iri dan cemburu, tetapi tetap berusahalah menjadi sukses..

Apabila engkau jujur dan terbuka, orang lain mungkin akan menipumu, tetapi tetaplah bersikap jujur dan terbuka.

Apabila engkau membangun sesuatu selama bertahun-tahun dan orang lain datang serta menghancurkannya dalam semalam, tetapi janganlah berhenti dan tetaplah membangun..

Apabila engkau menemukan kedamaian dan kebahagiaan di dalam hati ketika memberi, orang lain mungkin akan iri hati kepadamu, tetapi tetaplah berbahagia, kebaikanan yang kau lakukan hari ini, mungkin besok dilupakan orang, tetapi tetaplah berbuat baik. Karena pada akhirnya itu bukan soal antara engkau dan manusia, tetapi antara engkau dengan Tuhanmu.

Ia sanggup menumbuhkan benih kebaikan, cinta kasih dan keteladanan yang ditabur, bahkan ketika ia ditabur di tanah yang gersang, karena tidak ada yang mustahil dan terlampau sulit bagiNya.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home