Loading...
SAINS
Penulis: Ignatius Dwiana 18:45 WIB | Jumat, 14 Februari 2014

ICEL: UU PPLH Jangan Sampai Dirumahkacakan!

(Ilustrasi: whitemoose.ca)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) jangan sampai dirumahkacakan dan menjadi tidak berkutik.

Hal itu disampaikan Direktur Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Henri Subagiyo dalam diskusi ‘Demokrasi Lingkungan’, yang merupakan rangkaian Peluncuran Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia di Jakarta pada Kamis (13/2).

“Jadi jangan sampai UU itu ditonton saja, aturan pelaksananya tidak akan bisa dilaksanakan sementara kita akan terus menghadapi banyak tantangan dari sektoral, dan peraturan yang lain terus keluar, lama-kelamaan peraturan itu (UUPPLH) tidak berkutik seperti UU Pertanahan. UU Pertanahan dianggap bagus tapi didiamkan saja, pelaksanaannya didiamkan, kemudian perlahan UU yang lain menggerogotinya,” kata Henri.

Secara terpisah Henri menegaskan kekhawatirannya itu didasarkan beberapa fakta yang berkembang. Seperti tidak terintegrasinya konsep perlindungan dan pengelolaan lingkungan seperti yang diatur dalam UUPPLH.

Konsep perlindungan dan pengelolaan lingkungan dalam UUPPLH, terintegrasi dari hulu ke hilir, yang artinya sebelum dilakukan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) dituntaskan dulu perencanaan seperti inventarisasi, penetapan wilayah ekoregion, penetapan daya dukung, dan RPPLH.

Menurutnya, “Tapi kenyataannya, diawal pekerjaan belum tuntas, izin lingkungan terus saja dikeluarkan,” tegasnya.

Sebab itu, kata dia, untuk saat ini pemerintah harus berani tegas dan melakukan moratorium izin lingkungan. “Hentikan pemberian izin lingkungan sampai proses perencanaan rampung,” ucapnya.

Demokrasi Lingkungan dan Ekokrasi

Sementara itu, menyoal Demokrasi Lingkungan, Al Andang L Binawan dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STF Driyarkara) dalam pemaparannya mengatakan, lebih memilih istilah ekokrasi daripada demokrasi lingkungan. Sebab ekokrasi memiliki cakupan makna yang lebih luas ketimbang demokrasi lingkungan.

Menurutnya istilah ekokrasi, menempatkan kaitan kebersamaan manusia dan alam menjadi sangat penting, dalam satu rumah tangga sehingga tidak saling menafikan dan bisa berkembang bersama.

Dalam kesempatan itu ia sempat memertanyakan, kenyataan hukum di Indonesia, apakah masih sekadar mengelola atau sudah memberikan kemungkinan lingkungan (dalam hal ini, manusia dan semua yang ada di bumi) menjadi lebih baik?

“Kesan saya, yang terjadi sekarang masih sekadar aspek statik agar tidak tabrakan, tetapi kita tahu lingkungan Indonesia hancur-hancuran, cerminnya kita lihat saja Jakarta,” tegasnya.

Selain Direktur Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Henri Subagiyo dan Al Andang L Binawan, turut hadir pula Hakim Agung Takdir Rahmadi dan Deputi VI Bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup Ilyas Asaad dalam diskusi ‘Demokrasi Lingkungan’ini. (PR)

 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home