Loading...
INDONESIA
Penulis: Eben E. Siadari 11:04 WIB | Jumat, 08 Januari 2016

In Memoriam Farel Mangapul Parapat, Perwira Nasionalis yang Lugu

Laksda TNI Purn. Farel Mangapul Parapat (Foto: nahasonparapat.hol.es)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menjelang Sidang Umum MPR pada bulan Maret 1993, untuk keenam kalinya Presiden (saat itu) Soeharto dipastikan bakal terpilih.  Jumlah suara dari Golkar, Fraksi ABRI (kini TNI) dan Utusan Daerah sudah lebih dari 80 persen. Aman bagi Pak Harto.

Tetapi untuk posisi wakil presiden belum ada kepastian. Ada tiga kandidat yang menonjol pada saat itu. Pertama, Wapres Soedharmono yang tengah menjabat. Kedua, Prof. Dr. B.J. Habibie, the rising star, kala itu memiliki 35 jabatan termasuk sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Ketiga, Jenderal Try Sutrisno, yang kala itu menjabat Panglima ABRI.

Ditengarai, Presiden Soeharto condong pada  dua calon pertama. Dan kala itu, sabda Soeharto acap kali dipandang sama dengan titah dewa.

Namun, ABRI sebenarnya menginginkan sang panglima, Jenderal Try Sutrisno, yang menjadi wapres. Pada saat itu  tampaknya pilihan itu juga didukung oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dua partai oposisi di zaman Orde Baru (walaupun Orba tidak mengenal istilah partai oposisi). Sedangkan Golkar sudah bisa dipastikan mengikuti apa keinginan Soeharto, sebagai ketua dewan pembina.

 L.B. Moerdani yang menjabat menteri pertahanan saat itu kemudian memimpin sebuah rapat dengan para pembantu dekatnya untuk membicarakan bagaimana sebaiknya sikap ABRI. Pada rapat itu disimpulkan, ada dua cara untuk melambungkan nama Try untuk jadi wapres. Pertama, melaporkan dan meminta restu Presiden Soeharto, kedua, mengumumkan pencalonan Try tanpa meminta persetujuan presiden.

Menurut Laksda TNI (Pur) Farel Mangapul Parapat Ph.D dalam biografinya yang berjudul TNI dan Angkatan Laut yang Saya Banggakan (Penerbit Yayasan Marga Parapat 2003),  sebagian besar yang hadir memilih alternatif pertama. Banyak juga yang tidak memberikan pendapat. Hanya Parapat, yang ketika itu menjabat sebagai Dirjen Perencanaan Umum dan Penganggaran Departemen Pertahanan, memilih alternatif kedua.

Salah seorang yang hadir, yaitu Letnan Jenderal TNI Sugeng Subroto, tak bisa menahan kegusaran. Ia menuduh Parapat tidak mengerti tata krama Jawa. Namun, Parapat  kala itu  menjawab dengan lugas, “Baiklah, demi tata krama Jawa kita memilih alternatif pertama. Tetapi apabila Pak Harto menolak permintaan kita, lalu kita berbuat apa.”

Tidak ada yang menjawab pertanyaan itu.

Di akhir rapat,  Menhankam LB Moerdani memilih alternatif kedua sebagai keputusan, yaitu ABRI akan mengumumkan pencalonan Try tanpa perlu meminta restu Pak Harto. Untuk itu, Kasospol ketika itu, Harsudiono Hartas, ditugaskan untuk melakukan operasi sosial politik.  Sedangkan Parapat ditugaskan untuk menyediakan anggarannya. Dan berkat operasi sospol tersebut, tak berapa lama kemudian PPP mencalonkan Try Sutrisno sebagai wapres. Langkah yang sama disusul oleh PDI. Barulah ABRI menyatakan hal serupa. Golkar sendiri masih menunggu petunjuk presiden.

Sejarah mencatat Try Sutrisno akhirnya terpilih secara aklamasi sebagai wapres melalui Sidang Umum MPR. Sampai beberapa menit terakhir, orang masih banyak yang tidak percaya, apakah Try Sutrisno akan lolos jadi wapres mengingat Pak Harto lebih menginginkan dua calon yang lain.  Ternyata memang Try yang terpilih. Dan sebagai hadiah (sebenarnya hukuman) bagi Parapat karena telah berbicara di luar pakem,  ia menerima Surat Pemberhentian sebagai Dirjen Perencanaan Umum dan Anggaran Departemen Pertahanan dengan alasan usia sudah mencapai 60 tahun.

***

Sikap lugu dan berterus-terang adalah sikap yang dianggap menonjol pada FM Parapat, yang di kalangan koleganya dipandang sebagai Saptamargais sejati. Terlahir sebagai orang Batak di Tarutung, 2 Februari 1933,  sejak kecil ia dididik untuk berterus terang mengungkapkan apa yang dia anggap benar.

Di dunia Timur dimana simbol-simbol masih kerap lebih penting untuk mengemukakan sesuatu daripada keterus-terangan mengungkapkan sesuatu, sikap lugu sering dianggap sebagai kelemahan. “Keluguan sering dipersepsikan oleh banyak orang sebagai suatu sifat yang tidak akan membawa seseorang sukses dalam hidupnya,” demikian komentar Ir. J.H. Simanjuntak, adik kelas Parapat semasa SMA dan aktivis Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Namun, pada saat yang sama, Simanjuntak yakin keluguan yang lebih dekat kepada kejujuran baik kepada orang lain dan terutama kepada diri sendiri, mutlak perlu dan harus terus dikembangkan.

“Kalau saja para petinggi dan birokrat kita rata-rata memiliki pola pikir dan pola tindak seperti FM Parapat, rasional dan realistis, jujur dan langsung, bukan seperti yang sering kita saksikan membiarkan masalah berlarut, bahkan diserahkan kepada berjalannya waktu, pastilah negara  dan bangsa ini sudah jauh lebih maju,” tulis Simanjuntak.

Modal keterus-terangan dan sikap lugas itu, diakui oleh Parapat,  sebagian di antaranya ia peroleh dari gemblengan perwira Angkatan Laut legendaris, John Lie, ketika dirinya masih menjadi kadet. Kala itu John Lie berpangkat mayor dan menjabat sebagai kepala penerangan Angkatan Laut.

Berpesan kepadanya John Lie pada hari itu, tatkala Parapat pertama kali diterima di Angkatan Laut, begini:

“Kalau kau betul-betul ingin menjadi kadet Angkatan Laut, yang penting kau harus jujur dan bekerja keras,”  sebagaimana dituturkan Parapat dalam biografinya.

“Angkatan Laut ini milik seluruh bangsa Indonesia, seluruh rakyat dari Sabang sampai Merauke tanpa kecuali. Tidak membedakan anggotanya apakah itu Ambon, Batak, atau orang Jawa dan lain-lain, apakah orang Islam, orang Kristen atau orang Buddha dan lain-lain, apakah orang itu cokelat, orang kuning, hitam-putih, semua sama,” kata John Lie

Oleh ajaran John Lie tentang keterus-terangan itu pula, Parapat justru pernah nyaris berbantahan dengan John Lie. Suatu hari,  ia melapor kepada John Lie yang bertindak sebagai komandan pelayaran bahwa semua perbaikan elektronik di KRI Gajah Mada sudah selesai dan siap berlayar. Atas laporan itu, John Lie mengatakan bahwa pada pelayaran berikutnya Parapat yang kala itu berpangkat letnan muda, berlayar akan didampingi oleh Letnan Rudy Kortz, seniornya.

Mendengar hal itu, Parapat sedikit kecewa karena merasa dirinya tidak dipercaya. Oleh karena itu, ia mengutarakan kekecewaannya dengan terus terang.  “Kalau Letnan Rudy Kortz harus diikutkan berlayar untuk mendampingi saya berarti Komandan tidak menaruh kepercayaan terhadap saya sebagau Perwira Elektro KRI Gajah Mada ini, dengan demikian saya mohon agar saya diturunkan dari kapal.” Lalu ia minta izin keluar dari ruangan komandan.

Keterus terangan Parapat rupanya berkenan di hati John Lie. Pada pelayaran berikutnya, Rudy Kortz tidak pernah lagi diikutkan dan pelayaran tetap berjalan dengan baik.

***

Seusai lulus dari SMA Negeri di Balige, Sumatera Utara pada tahun 1952, FM Parapat sebenarnya bercita-cita ingin jadi insinyur. Ia ingin melanjutkan sekolah ke Institut Teknologi Bandung, supaya bisa seperti Soekarno yang insinyur. Tetapi pada perjalanannya kemudian ia justru mendaftar jadi Kadet Angkatan Laut, di Pangkalan Angkatan Luat Belawan. “Saya belum pernah melihat laut,” kata dia mengenang, saat-saat dia membaca pengumuman itu dan belum tahu bagaimana caranya untuk sampai di Belawan.

Pilihannya masuk ke Angkatan Laut ternyata tak salah. "Saya tidak pernah menyesal,” kata dia. Kariernya termasuk cemerlang. Di Akademi Angkatan Laut ia bergabung dalam Korps Elektro  (1953-1956) dengan penugasan pertama di KRI Gadjah Mada. Di Angkatan Laut yang sangat ia banggakan itu, ia antara lain pernah menjabat sebagai Asisten Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Armada Kepala Staf AL (Kasal) (1973-1976), Wakil Asisten Perencanaan Armada Kasal (1976-1978), Asisten Perencanaan Armada Kasal (1978-1982), Asisten Perencaan Umum (Asrenum) Kasal (1981-1986) dan pernah pula menjadi Direktur Jenderal Perencanaan Umum dan Anggaran Departemen Pertahanan dan Keamanan (1983-1993).

Cita-citanya menjadi insinyur tersalurkan ketika ia dikirim untuk belajar di US Naval Postgraduate School Monterey California hingga ia meraih gelar doktor dalam Electrical Enginnering (1959-1964). “Di kalangan masyarakat Batak, Parapat juga dikenal sebagai orang Batak pertama mencapai pangkat bintang dua di TNI Angkatan Laut,” kata Kolonel Laut (Pur) TNI, Sabar M. Saragih, tentang perwira yang dikaguminya itu. “Beliau tegas, disiplin, konseptor pertahanan dan anggaran,” kata dia, kepada satuharapan.com.

Namun, di atas semua itu, yang banyak diingat dari dia adalah ketekunan dan kegigihananya memperjuangkan wawasan kebangsaan. Ia sangat  tegas  menolak anasir-anasir sektarianisme dalam bernegara. Parapat yang di masa pensiunnya mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia dan Fakultas Pasca Sarjana UI, sangat rajin menyumbangkan pikiran  mengenai ketahanan nasional dan kesadaran bela negara. Bagi dia, Pancasila dan UU 1945 harus dipertahankan sebagai paham kebangsaan disamping sebagai dasar negara dengan penjabaran dalam undang-undang.

Itu sebabnya,  menjelang akhir Orde Baru, Parapat termasuk yang vokal mengungkapkan kerisauan terhadap kehadiran organisasi cendekiawan yang  memiliki anasir sektarian dan membuat sekat-sekat di masyarakat. “Untuk cendekiawan dan sarjana, kita sudah lama memiliki organisasi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), untuk apa lagi kita perlu ICMI, PIKI dan sebagainya,” kata dia suatu kali.

Parapat termasuk yang sangat kental menyuarakan kekhawatiran akan kehadiran ICMI pada masa akhir Orba, yang ketika itu sangat gencar merasuk ke birokrasi. Sampai-sampai, suatu kali ia nekad mengajukan pertanyaan langsung kepada Wapres kala itu, Sudharmono,  yang tengah berkunjung ke Dephankam. “Untuk seorang menteri, kapan dia memikirkan kepentingan warga negara Islam saja, kapan dia memikirkan kepentingan seluruh  warga negara?”

Parapat berkeyakinan bahwa setiap aparat negara harus memiliki wawasan kebangsaan dengan kadar yang sangat tinggi. Mereka harus “berpegang pada cita rasa kebangsaan yang luhur, yaitu seluruh rakyat harus merasa  senasib sepenanggungan, mempunyai kesempatan hak dan kewajiban yang sama, tanpa membedakan suku, agama, ras, atau pun asal-usul keturunan, sehingga tidak akan pernah bertindak diskriminatif,” tulis Parapat.

***

Farel Mangapul Parapat, pada hari Rabu 6 Januari 2016, menghembuskan nafasnya yang terakhir di RS Premier Jakarta, setelah dirawat sejak 1 Januari 2016. Ia akan dimakamkan pada hari Sabtu, 9 Januari 2016 di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tentang perjalanan hidupnya, dalam biografinya ia mengatakan, “Sekarang saya yakin, Tuhan yang menentukan jalan hidup setiap manusia....karena itulah saya selalu teringat dan berpegang pada ayat suci Alkitab yang saya terima pada waktu per-sidi-an, yang berbunyi: ‘Segala sesuatu akan berakibat baik bagi mereka yang mencintai Dia.’”

Selamat jalan Pak Parapat.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home