Loading...
INDONESIA
Penulis: Kartika Virgianti 22:01 WIB | Kamis, 21 Agustus 2014

Indonesia Tidak Punya Basis Data Kependudukan yang Kuat

Peluncuran buku “Ketimpangan Pembangunan Indonesia dari Berbagai Aspek”. (Foto: Elvis Sendouw)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Anggota Komisi XI DPR RI, Arif Budimanta mengatakan bahwa Indonesia tidak mempunyai basis data kependudukan yang kuat, itulah yang menyebabkan banyaknya program nasional maupun daerah kacau balau, seperti pelaksanaan e-KTP, BPJS Kesehatan, sampai Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS).

Arif menilai Badan Pusat Statistik (BPS) sekalipun tidak mempunyai data yang valid mengenai jumlah orang bekerja di sektor formal dan informal.

“Jadi menurut kami, Indonesia harus punya suatu basis data yang kuat,”  kata Arif dalam acara peluncuran buku yang diterbitkan INFID bertajuk ‘Menurunkan Ketimpangan Perlu Menjadi Prioritas Pemerintahan Baru’ di Hotel Akmani, Kamis (21/8).

“Percuma kita berbicara social protection (jaminan sosial, Red), kalau data tidak diperbaiki. Berapa data jumlah masyarakat golongan miskin secara presisi (nama, alamat rumah, pekerjaan, penghasilannya berapa, dsb) yang dibiayai oleh APBN dalam BPJS Kesehatan. Bahkan saya lihat data penduduk desa di tingkat RT/RW lebih banyak erornya. Ini harus diperbaiki sebelum kita bicara social protection, pajak, insentif,” jelasnya.

Lebih lanjut Arif menjelaskan, pertumbuhan bukan sasaran akhir, tetapi instrumen untuk mendistribusikan kesejahteraan rakyat. Ketika bicara kebijakan fiskal ada dua hal, pertama penerimaan, kedua belanja, dalam arti mendistribusikan kepada rakyat untuk pemerataan. Ini harus dilakukan oleh lembaga negara yang mendapatkan uang belanja tersebut. Dengan memberikan rakyat jaminan sosial adalah salah satu bentuk pemerataan kesejahteraan rakyat.  

Arif menilai program di Jakarta seperti KJP dan KJS adalah terobosan untuk pemerataan kesejahteraan rakyat, mempersempit ketimpangan, memperkuat aset insani, sebagai value creator untuk pergerakan ekonomi dan produktivitas tunas bangsa. Maka, pada akhirnya data yang harus kita miliki.

Di e-KTP ada temuan banyak orang-orang tua yang tidak memiliki e-KTP lantaran berpikir tidak perlu karena tidak akan pindah ke manapun. Ini kesalahan karena lembaga negara kita karena tidak menggunakan sistem jemput bola untuk membuat e-KTP. Sistem yang digunakan adalah kerelaan untuk datang ke kantor kecamatan atau kelurahan. Seharusnya e-KTP dilakukan pendataan dari petugas ke rumah-rumah (jemput bola, bukan menunggu bola, Red).

Arif menyebutkan sistem informasi teknologi yang dimiliki perbankan kita sudah cukup baik. Misalnya ketika kita membuka rekening di satu cabang, jika kita pergi ke daerah manapun pasti terdeteksi kalau itu adalah tabungan kita. Bahkan sekalipun kita punya lima rekening tabungan di bank berbeda, tetap akan ketahuan.

“Jadi data harus seperti itu. Sehingga proses akumulasi data mengenai pekerjaan, informasi pribadi, aset, istilahnya know your customer. Harus ada lembaga negara yang bertanggung jawab,” urainya.

Maka, sangat penting bagi kita memperbaiki data kependudukan. Ke depan kita harus punya basis penanggung  jawab data kependudukan. Kalau tidak, reformasi perpajakan, reformasi perlindungan sosial, reformasi jaminan sosial nasional, akan sangat sulit dilaksanakan, dan pekerjaan kita hanya bisa mengira-ngira saja.

Padahal untuk suatu program misalnya jaminan kesehatan bisa mengeluarkan uang yang sangat besar di lapangan, sementara penduduk yang menjadi sasaran program masih mengira-ngira.

Kemudian setelah ada data baru diikuti dengan kebijakan. Kalau memang kita konsisten dengan kebijakan desentralisasi, harusnya urusan belanja langsung diserahkan ke masing-masing daerah, tidak perlu lagi pemerintah pusat memberikan program bantuan untuk daerah tertinggal.

Sedangkan kerja pemerintah pusat hanya perlu membangun Standart Operational Procedures (SOP), dan untuk pengawasan ada lembaga negara seperti Badan pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), tinggal membangun kinerja bersama-sama, sisanya serahkan ke pemerintah daerah masing-masing.

“Itu semua bisa kita lakukan kalau memang kita mau benar-benar melakukan yang namanya revolusi mental,” pungkas Arif.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home